JAKARTA, KOMPAS — Dalam kehidupan sehari-hari, musik tidak selalu hadir dalam bentuk pertunjukan. Peristiwa musikal, dengan bentuk musik tradisi, tanpa sadar bisa dialami melalui ritual atau upacara adat. Kesadaran terhadap gejala musikal atas kehidupan sehari-hari diperlukan dalam upaya pelestarian musik tradisi.
Etnomusikolog Rizaldy Siagian mengatakan, peristiwa musikal sangat banyak terjadi sehari-hari. Dari yang paling dekat, ia mencontohkan dengan kegiatan keagamaan. ”Ketika membaca ayat-ayat dalam Al Quran itu, kita sedang melantunkan nada-nada. Tetapi, kita tidak menyadari dan menganggapnya sebagai sebuah musik,” kata Rizaldy, saat diskusi Kompas yang bertema ”Jelajah Alat Musik Tradisional” di kantor harian Kompas, Jakarta, Kamis (11/1).
Diskusi itu dihadiri sejumlah praktisi yang aktif berkecimpung di dunia musik tradisi. Mereka adalah etnomusikolog dari Universitas Sumatera Utara, Irwansyah Harahap; pegiat seni dan musik tradisi Joko S Gombloh; musisi dan komponis Vicky Sianipar; serta musisi dan pegiat seni Ayu Laksmi.
”Hal yang terjadi seperti dalam mengaji itu sangat banyak dalam keseharian. Tetapi, kita tidak menerjemahkan hal itu sebagai musik. Peristiwanya pun juga bukan dilihat sebagai peristiwa musikal, tetapi upacara keagamaan atau ritual,” kata Rizaldy.
Irwansyah Harahap memiliki pandangan serupa atas persoalan itu. Ia mengamati musik masih diilhami sebagai ekspresi kultural. Adapun yang termasuk dalam ekspresi itu adalah ritual, perayaan, ataupun upacara adat dan keagamaan.
”Musik sebagai ekspresi kultural ini contohnya sangat banyak,” kata Irwansyah. Ia mencontohkan dengan gondang di Sumatera Utara. Pada Kompas (14/9/2013) disebutkan, gondang bermakna sakral bagi orang Batak. Gondang digunakan untuk menerjemahkan doa-doa manusia kepada Tuhan (Debata) dalam ritual umat Parmalim.
”Di konteks itu, tentu yang dilakukan oleh pelaku musik adalah pemujaan. Mereka tidak merasa sedang bermusik,” ujar Irwansyah.
Irwansyah menambahkan, musik terletak di alam pikiran. Hal yang menjadi penentu apakah suatu hal itu disebut sebagai musik atau tidak adalah pikiran pribadi si pendengar. Ia menjelaskan, ketika peristiwa musikal yang dialami si pendengar itu dikenalnya sebagai sebuah ritual, musik dianggap sebagai sebuah aktivitas spiritual.
Dalam pelestarian musik tradisional, Irwansyah menyatakan pentingnya melihat musik dan alatnya bukan sekadar sebuah obyek. Musik, bagi dia, harus dilihat secara holistik, mulai dari prateks (alat musik), teks (musik), hingga konteksnya (masyarakat pelaku musik tradisional).
”Jangan sekadar melihat musik dari elemen musiknya. Tiga hal itu penting bisa digunakan untuk memahami bagaimana posisi musik dalam kehidupan masyarakat,” kata Irwansyah.
Seni dan musik tradisional
Lono Simatupang, antropolog dari Universitas Gadjah Mada, dalam bukunya Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya (2013), menyampaikan, seni adalah refleksi dari kehidupan sehari-hari. Hal yang membedakan keduanya adalah kontekstualisasi seni sebagai sebuah tontonan atau pertunjukan.
Secara umum, musik masih dipahami sebagai sebuah pertunjukan atau tontonan. Hal itu ditunjukkan dalam upaya pelestarian musik tradisi yang dilakukan dengan menggubah lagu-lagu tradisional atau menggunakan alat musik tradisi dalam penciptaan lagu.
Kelompok musik yang melakukan praktik seperti itu adalah Suarasama, Svara Semesta, Kua Etnika, dan masih banyak lagi. Mereka menggabungkan antara musik tradisional dan modern. Penggabungan kedua jenis musik tersebut disebut dengan kontemporarisasi.
Joko S Gombloh, pegiat seni dan musik tradisi, mengatakan, dalam praktiknya, musik yang dipandang sebuah produk seni itu mengandung unsur politik-ekonomi yang kuat. Joko menyatakan, terjadi komodifikasi atas musik tradisional sehingga kepentingannya terkesan sekadar berjualan.
Joko tidak menyalahkan hal itu karena turut menjadi bentuk usaha pelestarian musik tradisional. Akan tetapi, ia berpendapat, konteks kultural dari musik tradisional itu terlepas. Pemaknaan musik tradisional yang awalnya sebagai musik pengiring ritual atau upacara adat diberi pemaknaan baru menjadi sebuah produk seni yang dipertontonkan.
”Penggabungan antara musik tradisional dan modern ini menjadi salah satu alternatif pelestarian musik tradisional itu. Musik tradisional digubah dengan konteks masa kini,” kata Joko. ”Tetapi, musisi harus paham betul konteks dari musik tradisional yang digubah agar publik juga tidak salah kaprah.”
Vicky Sianipar adalah salah satu musisi dan komponis yang giat melestarikan musik tradisional. Tujuan Vicky melakukan hal itu untuk mengenalkan musik tradisional kepada generasi muda.
”Biar tidak hilang, generasi muda harus tahu musik-musik tradisi. Sementara itu, selera mereka belum tentu cocok dengan aransemen asli dari musik tradisional,” kata Vicky.
Vicky menggubah lagu-lagu tradisional dengan gaya yang lebih modern dan populer, tetapi masih memberikan unsur-unsur musik tradisional. Vicky mengakui, memang unsur musik tradisional tidak terlalu kuat. Namun, ia meyakini, dengan apa yang dilakukannya itu membuat anak-anak muda justru belajar dan bertanya-tanya tentang musik tradisional.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Ayu Laksmi, musisi dan pegiat seni. Ayu memproduksi lagu baru dengan aransemen gabungan antara unsur musik tradisional dan modern.
Unsur tradisi diberikannya melalui permainan alat musik tradisional dan langgam-langgam khas Jawa, Bali, dan Sunda yang mewarnai lagunya. Namun, langgam-langgam tersebut tidak dimainkan secara sakelek. Langgam-langgam itu berkomunikasi dengan musik modern melalui tabuhan drum, petikan gitar, dan alat musik modern lainnya.
”Saya belajar musik secara otodidak. Musik yang saya ketahui dari awal adalah musik modern. Tetapi, saya ingin mengeksplorasi bunyi-bunyi dan musik Nusantara. Jadi, setidaknya saya bisa mengenalkan bahwa ada musik Indonesia dengan memasukkan unsur-unsur tradisi,” kata Ayu. (DD16)