Fredrich Yunadi, Advokat Ke-22 yang Dijerat Pasal Korupsi
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya penasihat hukum atau advokat yang diproses hukum karena terlibat kasus korupsi menunjukkan belum semua advokat menjunjung tinggi kode etik profesinya.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 22 advokat yang dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Peneliti ICW, Lalola Easter, mengatakan, para pelaku terbukti tidak menjalankan kode etik advokat.
Tiga pola korupsi yang dilakukan ke-22 advokat tersebut adalah penyuapan (16 orang), pemberian keterangan secara tidak benar (2 orang), dan menghalang-halangi penyidikan kasus korupsi (4 orang).
Sebagian besar advokat yang terlibat korupsi ditangani oleh KPK, yaitu 16 orang. Selebihnya ditangani oleh kejaksaan sebanyak 5 orang dan kepolisian sebanyak 1 orang. Advokat Haposan Hutagalung mendapat hukuman paling tinggi, yaitu 12 tahun penjara.
Berdasarkan catatan ICW, terdapat 22 advokat yang dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
”Kode etik dibuat untuk menjaga kehormatan profesi advokat,” kata Lalola saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (13/1). Ia menambahkan, pelanggaran kode etik yang dilakukan advokat menunjukkan adanya lubang dalam sistem peradilan di Indonesia.
Menurut Lalola, pelanggaran tersebut terjadi karena keinginan pelaku untuk memenangkan kliennya demi mendapatkan bonus. Oleh karena itu, sebaiknya asosiasi advokat menjaga kualitas anggotanya.
Lalola mengatakan, pelanggaran kode etik belum tentu tindakan pidana. Namun, tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pengacara pasti melanggar kode etik.
Terakhir, advokat Fredrich Yunadi dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. Menurut Lalola, tindakan Fredrich memasukkan kliennya, yakni tersangka kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto, ke rumah sakit dengan data medis yang dimanipulasi merupakan sebuah pelanggaran kode etik dan juga tindak pidana.
Laola menuturkan, Kode Etik Advokat Indonesia Pasal 7 g menyebutkan, advokat bebas menyatakan atau berpendapat di dalam sidang pengadilan secara proporsional dan tidak berlebihan. Karena itu, seorang advokat memang memiliki imunitas atau hak kekebalan hukum.
”Namun, hak kekebalan hukum tersebut hanya berlaku di dalam sidang pengadilan,” ucap Lalola.
Adapun yang dilakukan Fredrich terjadi di luar sidang dan sebenarnya juga bukan tugas seorang pengacara. Tindakan tersebut diduga bertujuan untuk menghindari panggilan serta pemeriksaan oleh penyidik KPK.
Terjadinya pelanggaran kode etik yang dilakukan advokat menunjukkan adanya lubang dalam sistem peradilan di Indonesia.
Menurut KPK, Fredrich ditahan selama 20 hari di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK. Fredrich dianggap menghalang-halangi penyidikan sehingga dikenai Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Bantahan
Saat keluar dari Gedung Merah Putih KPK seusai diperiksa, Fredrich membantah telah melakukan tindak pidana. Ia mengatakan, apa yang dilakukannya merupakan tugas dan kewajiban membela Setya Novanto sebagai kliennya. ”Saya telah difitnah,” ucapnya.
Fredrich menyebutkan, Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan pengacara tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Peraturan tersebut diperkuat dengan putusan MK Nomor 26 Tahun 2013 yang menyatakan advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana di dalam dan luar pengadilan.
”Sekarang saya telah dibumihanguskan,” ujar Fredrich. Ia menuturkan, tindakan ini dapat menghancurkan profesi pengacara.
Fredrich juga membantah telah memesan kamar untuk Setya Novanto di Rumah Sakit Medika Permata Hijau. ”Itu permainan dari KPK untuk menghancurkan saya,” lanjutnya.
Ia mengatakan baru sekali mendapat surat panggilan. ”Seharusnya penangkapan dilakukan setelah dua kali panggilan,” kata Fredrich sambil dibawa petugas KPK masuk ke mobil menuju rumah tahanan.
Itikad baik dibutuhkan
Ketua Laboratorium dan Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Febby Mutiara Nelson mengatakan, seorang advokat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata dalam menjalankan tugasnya selama ada itikad baik dari advokat tersebut. Itikad baik itu dilakukan dalam rangka untuk membela kepentingan kliennya.
Febby menyebutkan, itikad baik tersebut tidak terlepas dari aturan yang mengikat advokat, yaitu peraturan perundang-undangan dan kode etik advokat. Oleh karena itu, ketentuan hak imunitas advokat tidak dapat semena-mena diterapkan, sesuai dengan Pasal 16 UU Advokat.
Ia menjelaskan, seorang advokat yang menyuap hakim untuk kepentingan kliennya termasuk melanggar undang-undang dan kode etik. Oleh karena itu, advokat tersebut dapat diproses secara hukum dan hak imunitasnya tidak berlaku.
Febby menegaskan, tindakan pengacara yang melanggar peraturan dan etika dapat menghancurkan kariernya sendiri. ”Masyarakat semakin tidak percaya dengan profesi terkait penegakan hukum di Indonesia,” katanya. (DD08)