Ironis, Harga Beras Mahal di Lumbung Pangan
Di tengah gencarnya upaya pemerintah meningkatkan produksi padi, harga beras di pasaran justru melambung. Stok gabah dan beras di sejumlah penggilingan padi menipis. Ironisnya, gelojak harga beras itu juga terjadi di sejumlah daerah yang selama ini menjadi lumbung pangan nasional. Salah satunya di Provinsi Lampung.
Di sejumlah pasar tradisional di Bandar Lampung dalam beberapa hari terakhir, harga beras medium berkisar Rp 10.500-Rp 12.500 per kilogram. Adapun harga beras premium lebih tinggi dari Rp 13.000 per kg.
Harga beras yang meroket itu membuat Buang Sufli (60), warga Bandar Lampung yang sehari-hari bekerja sebagai petugas kebersihan dan tukang rongsok, terpaksa mengurangi jumlah beras yang dibelinya. Kenaikan harga beras membuatnya hanya mampu membeli 5 kg beras medium seharga Rp 12.000 per kg.
”Biasanya, bisa beli 10 kilo, tetapi karena harga naik belinya dikurangi. Uangnya dibagi-bagi untuk beli yang lain,” ujarnya, saat ditemui di Pasar Tugu, Bandar Lampung, Rabu (10/1).
Meski mengaku tak punya uang banyak, Buang Sufli juga enggan membeli beras operasi pasar yang dijual Perum Bulog Divre Lampung. Alasannya, beras operasi pasar itu keras dan tidak enak dimakan. ”Kalau yang saya beli ini berasnya pulen, dimakan pakai sambal juga enak,” ujarnya.
Nanda (25), pedagang beras di Pasar Tugu, Bandar Lampung, menuturkan, cadangan beras di agen semakin menipis. ”Selain harus menunggu seminggu, jumlahnya juga berkurang. Agen biasanya kirim 2 ton beras, tapi hari ini hanya kirim 1 ton. Beras lagi susah,” ujar Nanda.
Tokonya sempat bekerja sama menjual beras Perum Bulog. Dia pun mengakui pernah menerima keluhan konsumen terkait kualitas beras. Menurut dia, biasanya konsumen hanya membeli beras Perum Bulog untuk beras campuran dan dikonsumsi pribadi. ”Pedagang nasi uduk dan rumah makan tidak mau beli beras operasi pasar,” katanya.
Ketua Operasi Pasar Perum Bulog Divre Lampung Joko Tri Septanto mengatakan, pihaknya bersama dengan tim dari Kementerian Perdagangan terus memantau kegiatan operasi pasar di Kota Metro. Dari hasil pantauan tim Bulog, respons masyarakat terhadap kegiatan operasi berjalan dengan baik.
Hal itu didasarkan pada data Perum Bulog Divre Lampung yang telah menggelontorkan 3.700 ton beras pada operasi pasar tahap I yang berlangsung pada 28 November hingga 31 Desember 2017. Jumlah itu lebih tinggi daripada target yang ditetapkan pemerintah sebelumnya, yakni 3.000 ton beras. Meski demikian, harga beras di pasaran tidak kunjung stabil.
Bahkan, pada operasi pasar tahap II, Perum Bulog Lampung menggelontorkan 6.000 ton beras hingga 31 Maret mendatang. Pada operasi pasar tahap II ini, beras dijual Rp 8.200 per kg, atau lebih murah dibandingkan harga yang ditetapkan oleh pemerintah pusat Rp 8.500 per kg.
Tak Beroperasi
Stok gabah yang semakin menipis juga membuat sejumlah usaha penggilingan padi di Lampung berhenti beroperasi untuk sementara. Saat ini, ada sekitar 30 penggilingan padi di Lampung yang berhenti beroperasi sementara karena kehabisan bahan baku gabah.
”Kalaupun ada, jumlahnya hanya 20 ton di setiap penggilingan,” kata Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi ) wilayah Lampung Midi Iswanto.
Dia pun meminta agar pemerintah melakukan verifikasi ulang terhadap data produksi padi di Lampung tahun 2017. Pasalnya, data produksi padi yang diklaim berlimpah itu bertolak belakang dengan kondisi di lapangan. ”Kami meminta data itu divalidasi kembali. Karena kalau produksi padi melimpah, kami tidak akan kesulitan barang,” katanya.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Lampung, berdasarkan Aram II, produksi gabah kering giling (GKG) Lampung tahun 2017 mencapai 4,3 juta ton. Jumlah itu meningkat sekitar 300.000 ton GKG dari produksi tahun 2016 yang mencapai 4 juta ton. Tingginya produksi beras itu menjadikan Lampung sebagai salah satu lumbung pangan nasional di luar Jawa.
Jumlah produksi padi Lampung tahun 2017 setara dengan 2,5 juta ton beras. Dengan jumlah tersebut, Lampung semestinya memiliki suprlus beras sekitar 1,5 juta ton.
Pasalnya, mengacu pada data konsumsi beras masyarakat, kebutuhan beras untuk konsumsi 9,8 juta penduduk Lampung hanya sekitar 913.886 ton per tahun. Jumlah itu berdasarkan data konsumsi beras per kapita per tahun sebanyak 92,4 kilogram untuk setiap penduduk.
”Keberhasilan” pemerintah dalam meningkatkan produksi padi juga kerap digaungkan pada acara panen padi di sejumlah kabupaten di Lampung. Seperti yang disampaikan Sekretaris Daerah Lampung Sutono saat menghadiri acara panen padi yang dihadiri Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di Kabupaten Lampung Timur, Jumat, 10 November 2017.
Sutono mengatakan, pemerintah Lampung terus berupaya meningkatkan produksi padi di Lampung dengan menambah luas sawah melalui program cetak sawah. Selama tiga tahun terakhir, ada sekitar 20.000 hektar sawah baru yang sudah dicetak dan mulai ditanami padi.
Menteri Pertanian juga mengatakan, produksi padi nasional cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Bahkan, dia sempat menyinggung tentang peluang ekspor padi organik ke sejumlah negara di Eropa dan Amerika, salah satunya ke Belgia dan Amerika Serikat.
Verifikasi lapangan
Menyikapi permasalahan ini, Perpadi Lampung melakukan verifikasi untuk memastikan berapa jumlah gabah yang masih ada di tingkat petani. Pihaknya juga meninjau alur distribusi gabah yang keluar dari Lampung ke sejumlah daerah.
Menurut Midi, dugaan bahwa ada yang ”keliru” dengan data produksi padi di Lampung ini juga terlihat dari data serapan Perum Bulog Lampung. Tahun 2017, Perum Bulog Lampung hanya mampu menyerap 88.605 ton beras. Jumlah itu hanya 61,47 persen dari target 144.135 ton yang ditetapkan pemerintah.
Rendahnya serapan beras oleh Perum Bulog dipengaruhi beberapa hal, antara lain sejumlah mitra kerja penggilingan yang kesulitan memenuhi standar dan keterbatasan ruang gudang penyimpanan Bulog. Selain itu, menjelang akhir November, Perum Bulog tidak lagi dapat membeli gabah atau beras dari petani karena harga jual di pasaran jauh lebih tinggi dibandingkan harga pembelian yang ditetapkan. Beras juga sulit didapat dari petani.
Supriadi, salah satu pengusaha penggilingan padi di Lampung, mengatakan, kenaikan harga beras di pasaran tidak menguntungkan pengusaha padi. Pasalnya, saat ini, harga gabah di tingkat petani Rp 6.000-Rp 6.500 per kg. Sementara itu, ongkos untuk memproduksi beras medium Rp 2.200-Rp 2.500 per kg. Dengan asumsi itu, harga jual beras medium di penggilingan akan lebih dari Rp 9.000 per kg. Sementara pedagang beras dibatasi dengan aturan harga eceran tertinggi.
Padahal, menurut Syahrudin (60), petani di Desa Wono Kriyo, Kecamatan Gading Rejo, Kabupaten Pringsewu, Lampung, melonjaknya harga gabah dan beras saat ini juga tidak menguntungkan petani kecil seperti dirinya. Pasalnya, saat ini, sebagian petani sudah tidak memiliki cadangan gabah di rumah. Gabah yang dipanen saat ini sudah habis terjual beberapa bulan lalu. Tingginya harga beras justru membuat Syahrudin tidak kesulitan membeli beras untuk anak dan istrinya.
Permasalahan perberasan di Lampung ibarat benang kusut yang sulit diurai. Pertanyaan yang belum terjawab, siapa sebenarnya yang diuntungkan atas kondisi ini? Yang jelas, melonjaknya harga beras di salah satu daerah lumbung padi nasional merupakan ironi bagi Syahrudin dan jutaaan keluarga petani kecil lainya di Lampung.