Kartu Kuning dari Rakyat yang Muak dengan Korupsi
TUNIS, SABTU — Situasi di Tunis, ibu kota Tunisia, dan beberapa kota lain di negara itu, hingga Sabtu (13/1) masih tegang, sehari menjelang peringatan tujuh tahun kejatuhan Presiden Zine El Abidine Ben Ali.
Ketegangan terjadi setelah polisi kembali menangkap 150 orang lain, termasuk sejumlah pemimpin oposisi lokal, Jumat (12/1) waktu setempat, saat petugas ingin meredakan unjuk rasa hari kelima di ibu kota Tunis.
Penangkapan terbaru itu menambah jumlah orang yang telah diciduk aparat, mencapai hampir 800 orang, yang memicu kekhawatiran tentang adanya tindakan sewenang-wenang aparat.
Ratusan orang melambaikan kartu-kartu kuning dan menuntut pemerintah menolak kenaikan harga barang kebutuhan pokok dan pajak.
Massa rakyat itu marah dengan langah-langkah penghematan yang didorong pemerintah, termasuk paket kenaikan pajak yang berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok.
Massa rakyat Tunisia menentang langkah-langkah penghematan yang didorong pemerintah, termasuk paket kenaikan pajak yang berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok.
Lebih dari 200 pemuda berkumpul di Tunis menyusul seruan kampanye Fech Nestannew (Apa yang Kita Tunggu?) untuk melakukan demonstrasi besar menentang keputusan pemerintah tersebut.
”Rakyat menginginkan Undang-Undang Keuangan dicabut” dan ”Rakyat sudah muak dengan Trabelsi gaya baru”, teriak pengunjuk rasa merujuk nama Belhassen Trabelsi, saudara kandung Leila Ben Ali, istri dari presiden terguling Zine El Abidine Ben Ali.
Korupsi merupakan momok bagi rakyat Tunisia. Mereka khawatir angin perubahan yang berembus sejak tujuh tahun silam yang ditandai dengan tumbangnya kekuasaan otoriter Ben Ali justru tidak membawa perubahan pada perbaikan kesejahteraan rakyat.
Justru sebaliknya, rakyat melihat pemerintahan Perdana Menteri Youssef Chahed mulai menyusahkan rakyat, dan sebagian besar politisi hanya mengurusi kepentingannya, kekuasaan dikhawatirkan tidak lagi untuk melayani kepentingan rakyat, dan mulai korup.
Ben Ali selama 23 tahun berkuasa justru berkubang pada kasus-kasus korupsi dan praktik nepotisme yang menggurita sehingga kekayaan negara banyak beralih ke tangan keluarganya.
Ben Ali selama 23 tahun berkuasa justru berkubang pada kasus-kasus korupsi dan praktik nepotisme yang menggurita sehingga kekayaan negara banyak beralih ke tangan keluarganya.
Belhassen Trabelsi adalah pemilik Cactus, rumah produksi televisi; hotel bintang lima Karthago le Palace, yang menghadap Laut Mediterania di Gammarth.
Gammarth merupakan kawasan permukiman kelas atas di Tunisia berupa vila yang ditempati orang kaya dan elite pendukung Ben Ali. Dia berbagi saham di radio Mosaique FM.
Nepotisme yang menggurita itu melibatkan juga Shaker El Materi, menantu laki-laki Ben Ali; Behlahessen Trabelsi, saudara laki-laki Lella; Imeo Trabelsi, keponakan istri pertama Ben Ali; Cyrine Ben Ali, anak perempuan Ben Ali; Marwan Ben Mabrouk, suami Cyrine Ben Ali; dan Kais Ben Ali, keponakan Ben Ali.
Kartu kuning untuk pemerintah
Ratusan orang juga menggelar unjuk rasa antipemerintah di kota Sfax, sekitar 200 kilometer di selatan Tunis. Mereka memprotes kenaikan harga kebutunan pokok.
Pemerintah mengatakan, meski aksi protes masih berlangsung, aksi berkurang menjelang peringatan kejatuhan Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada 14 Januari 2011.
”Unjuk rasa telah menurun dan tak ada kerusakan, tetapi tadi malam polisi menangkap 150 orang sehingga total ada 778 orang ditangkap,” kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Khelifa Chibani, Jumat waktu setempat.
Dalam aksi terbaru, ratusan orang mengangkat kartu-kartu kuning dan meneriakkan slogan-slogan antipemerintah.
Dalam aksi terbaru, ratusan orang mengangkat kartu-kartu kuning dan meneriakkan slogan-slogan antipemerintah.
Kartu kuning itu adalah simbol peringatan rakyat bahwa Tunisia bisa menjadi kacau jika pemerintah tak menangani ekonomi rakyat dengan baik.
Gelombang aksi terbaru diawasi ketat polisi anti-huru-hara dan tentara yang jumlahnya telah ditingkatkan untuk mengawasi kantor-kantor pemerintah di ibu kota.
Selain menyerukan agar pemerintah mencabut Undang-Undang Keuangan, massa demonstran juga menyerukan, ”Rakyat sudah muak dengan korupsi gaya baru.”
”Kami percaya bahwa dialog dan reformasi masih mungkin dilakukan,” kata Henda Chennaoui dari kelompok kampanye Fech Nestannew.
Kami mempunyai tuntutan yang sama, yakni segera atasi masalah-masalah konkret, seperti krisis ekonomi dan tingginya biaya hidup.
”Kami mempunyai tuntutan yang sama yang telah kami utarakan selama bertahun-tahun, yakni segera atasi masalah-masalah konkret, seperti krisis ekonomi dan tingginya biaya hidup,” katanya.
Demonstrasi hari Jumat terjadi menjelang ulang tahun ketujuh penggulingan Ben Ali pada 14 Januari 2011.
Kejatuhan Ben Ali berawal dengan sebuah revolusi rakyat yang dimulai dari protes pertama pada 18 Desember 2010 setelah seorang pedagang miskin Mohamed Bouazizi membakar diri.
Bouazizi, pedagang kaki lima, membakar diri pada 17 Desember 2010 sebagai protes terhadap penyitaan barang dagangannya. Ia dilecehkan dan dihina seorang pejabat kota dan ajudannya.
Berkat kesuksesan protes di Tunisia, gelombang kerusuhan menjalar liar ke Aljazair, Jordania, Mesir, Yaman, dan terakhir hingga menyebabkan perang berkepanjangan di Suriah.
Terjadi juga di negara-negara lain dengan unjuk rasa terbesar dan paling terorganisasi terjadi pada apa yang disebut sebagai ”hari kemarahan” dan biasanya itu jatuh setiap setelah shalat Jumat.
Terkait gelombang unjuk rasa terbaru di Tunis dan beberapa kota lain di Tunisia, Perdana Menteri Youssef Chahed menuding oposisi telah mempertajam perbedaan pendapat dengan terus menganjurkan lebih banyak protes.
Ia mengecam kekerasan dan perusakan yang dilakukan pengunjuk rasa. ”Kapan pun ada gesekan sosial di Tunisia, para perusak terlihat,” ujarnya.
Penegasannya itu pula mendorong aparat menangkap sejumlah pemimpin oposisi lokal di Tunis, Jumat (12/1).
Barisan Popular, salah satu kelompok oposisi, mendesak pemerintah lebih baik fokus pada solusi masalah yang dihadapi pemuda Tunisia.
Seorang juru bicara dari PM Chahed dalam sebuah pernyataan mengatakan, para pemrotes adalah ”preman berusia antara 17 tahun dan 21 tahun yang tidak terpengaruh oleh dampak hukum keuangan”.
Sementara Hamma Hammami, pemimpin Barisan Popular, mengatakan, ”Hari ini kami bertemu dengan partai-partai oposisi lain untuk berkoordinasi dengan gerakan selanjutnya, tetapi kami akan tetap berada di jalan dan meningkatkan protes sampai regulasi keuangan yang tidak adil dibatalkan.”
Telah terjadi kemarahan sosial yang sangat kuat terhadap kelas politik yang makin berjarak dengan rakyat dan karena tututan demonstrasi belum direspons serius oleh pemerintah.
Unjuk rasa kerap terjadi di negara yang sering disebut contoh sukses Musim Semi Arab itu.
Pakar politik Hamza Meddeb mengatakan, ada ”kemarahan sosial yang sangat kuat” terhadap ”kelas politik yang makin berjarak dengan rakyat” dan karena tuntutan demonstrasi belum direspons serius oleh pemerintah.
Sampai saat ini, 21 petugas keamanan terluka. Tak ada laporan korban jiwa tambahan selain satu orang tewas akibat ditembak di tengah unjuk rasa di Tebourka, Senin (9/1).
Pemerintah telah mengerahkan selain polisi, juga tentara, setelah aksi pembakaran kantor polisi di Thala.
Tentara juga disebar di kota-kota lain, seperti Sousse, Kebeli, dan Bizert, untuk menjaga kantor-kantor pemerintah agar tak menjadi sasaran amuk massa.
Hingga berita ini diturunkan pada Sabtu (13/1), situasi di sejumlah kota besar di Tunisia masih tegang. (AFP/REUTERS/AP)