Komik, Industri Potensial yang Belum Dilirik
JAKARTA, KOMPAS — Komik belum dianggap sebagai hal penting dalam industri kreatif di Indonesia. Padahal, Marvel Comics mampu meraup jutaan dollar AS hanya dari karakter komik.
Kesadaran untuk menumbuhkan industri komik pun diperlukan. Apalagi, banyak komikus lokal bekerja di Marvel karena tidak ada industri di Tanah Air.
Di Amerika Serikat, Marvel menciptakan karakter fiksi, Captain America, melalui komik pada 1941. Pahlawan super itu sengaja diciptakan Joe Simon dan Jack Kirby untuk meningkatkan semangat patriot tentara di medan perang. Komik itu pun laku keras.
Setelah 75 tahun, pada 2016, Marvel meraih 408 juta dollar AS. Capaian itu berasal dari film Captain America: Civil War. Semua penghasilan itu berawal dari karakter komik. Sebuah karakter mampu menghasilkan jutaan dollar AS melalui komik, film, dan penjualan aksesori.
Komikus Marvel asli Indonesia, Sunny Gho, mengatakan, industri komik belum mampu hidup di Indonesia. Komik belum dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam industri kreatif.
”Itu alasan saya ke Marvel karena di sini susah hidup dari komik,” ucapnya saat diwawancarai pada acara Marvel Creative Day Out, Jumat (12/1) di Universitas Bina Nusantara (Binus), Jakarta Barat.
Menurut Sunny, ia sebenarnya ingin mengembangkan komik dalam negeri. Namun, hal itu sulit terwujud dalam waktu dekat. Untuk itu, ia belajar terlebih dulu di Marvel sebelum membawa ilmu itu kembali ke Tanah Air.
”Banyak yang mencoba menembus tembok industri ini, tetapi belum bisa. Ini memang pekerjaan rumah kita. Industri ini tidak bisa dibangun semalam. Marvel saja membangun dari zaman perang,” ucap pria yang mengabdi kepada Marvel selama 8 tahun lebih.
Meski demikian, Sunny menilai industri komik mulai menunjukkan geliatnya. Itu terlihat dari komik lokal yang muncul tahun 2009 berjudul Garudayana. Kini sudah ratusan judul komik lokal yang hadir. ”Kemajuan kita sudah seribu kali lipat,” katanya.
Geliat pada komik lokal juga dirasakan Rektor Institut Kesenian Jakarta Seno Gumira. Seno melihat komik-komik lokal saat ini telah berkembang.
Jenis komik sudah banyak yang menggunakan pendekatan pribadi. Komikus tidak lagi mengarah pada budaya Jepang atau Barat. Mereka berani tampil dengan budaya Indonesia, seperti wayang.
Menurut Seno, pasar pembaca komik juga masih besar. ”Lihat saja kalau ke toko buku. Pasti komik Jepang tersedia di tempat yang besar. Ada Naruto, One Piece, dan lainnya. Itu membuktikan pembaca komik masih banyak,” ucapnya.
Belum ada dukungan
Sayangnya, komik lokal jarang mendapat tempat di toko buku. Seno mengatakan, toko di Indonesia hanya mementingkan untung dan rugi. Hal itu berbeda dengan Jepang.
Di Jepang, komik lokal didukung toko buku. Dukungan toko buku itu untuk menguatkan budaya. ”Mereka berpikir mempertahankan budaya. Beda sama kita,” kata Seno.
Untuk itu, komikus lokal membutuhkan dukungan. Baik dari pengusaha toko buku maupun pemerintah yang saat ini dinaungi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Dukungan yang dimaksud adalah promosi. Peran untuk membantu peningkatan industri sangat dibutuhkan, apalagi sedang ada geliat.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Bekraf Ricky Josep Pesik mengatakan, para komikus lokal masih sangat independen. Hal itu membuat tidak ada asosiasi yang menyatukan kebutuhan komikus. ”Kami jadi tidak tahu kebutuhan mereka sebenarnya apa?” ucapnya.
Ricky menilai, apabila ingin ada campur tangan Bekraf, komikus seharusnya memiliki wadah. Kalau tidak, akan repot karena kepentingannya akan berbeda-beda.
Selain itu, komik juga belum menjadi prioritas Bekraf. Hal itu karena pemerintah menilai pasar komik yang belum besar. Ricky melihat Indonesia masih terlalu jauh untuk mengikuti Jepang dan AS.
Salah satu dukungan hanya pada acara Popcon Asia. Acara yang diselenggarakan Agustus lalu di Jakarta Convention Centre itu menampilkan buku dan karakter komik dari sejumlah negara. ”Paling baru ini saja pengembangan komik untuk melihat pasarnya,” ucap Ricky.
Bakat lokal
Selain Sunny, ada juga komikus lain yang bekerja untuk Marvel, antara lain Ario Anindito, Miralti Firmansyah, dan Yasmine Putri. Komikus tersebut menjadi andalan komik Marvel.
Ario, pada 2014, ikut mengerjakan serial komik Wolverine. Ia kerap memunculkan kekhasan Indonesia pada karyanya. Di komik Secret Empire, ia menaruh logo Macan Cisewu pada pedang karakter Deadpool.
Macan Cisewu adalah patung yang sempat heboh di internet. Patung macan bermuka lucu yang berada di Jawa Barat itu akhirnya disingkirkan.
”Sedih saja karena dihancurkan. Saat itu saya berpikir untuk mengabadikannya. Karena tidak sensitif dan mengganggu jalan cerita, saya masukkan saja ke komik,” ucap Ario.
Bakat-bakat komikus lokal itu diakui Editor in Chief Marvel Comics, CB Cebulski. ”Gaya mereka cukup unik. Sangat berbeda dengan gaya yang sudah ada, lebih detail. Terlihat mereka tidak meniru siapa pun,” ucapnya, saat hadir di Binus.
Meski begitu, kata Cebulski, keunikan itu juga harus diseimbangkan dengan jalan cerita yang ada pada komik Marvel. Tujuannya agar cerita bisa tetap relevan bagi pembaca.
Hal itu pula yang disarankan Sunny kepada komikus Indonesia. Sunny mengatakan, komikus harus bisa mengetahui keinginan pembaca. Biasanya pembaca ingin sebuah hal yang relevan dengan zaman.
Relevansi antara kehidupan dan jalan cerita komik selalu membawa Marvel pada kesuksesan. Seperti Captain America yang hadir pada Perang Dunia II. Karakter itu sengaja dihadirkan sebagai bentuk propaganda. Tujuannya membuat warga AS bersemangat mengabdi dalam perang.
Hal yang sama terjadi pada komik Jepang, Astro Boy. Komik ini merefleksikan kondisi sosial pada 1960-an. Karakter dibuat sengaja untuk mengkritik dunia industri yang sedang marak diperbincangkan.
Menurut Sunny, komikus lokal harus mengembangkan situasi sosial yang ada di masrayakat. ”Harus ada kepekaan penulis cerita untuk sadar sedang ada isu yang relevan. Kalau hanya dibuat keren saja, tidak akan ada yang baca,” ucapnya
Hal itu dinilai Sunny merupakan cara utama untuk membangun industri komik Tanah Air. ”Harus relevan dengan pembaca dulu,” katanya. (DD06)