PNS Dilarang Komentari Calon Kepala Daerah di Media Sosial
JAKARTA, KOMPAS — Seluruh jajaran pegawai negeri sipil dilarang memperlihatkan dukungannya kepada pasangan calon kepala daerah selama pilkada serentak pada Juni mendatang.
Larangan tersebut termasuk mengomentari, mengunggah, atau hanya memberikan ”like” pada unggahan di media sosial yang terkait pasangan calon di pilkada. Hal itu diberlakukan untuk menjaga asas netralitas aparatur sipil negara.
Kepala Biro Hukum dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB) Herman Suryatman mengatakan, Menteri PANRB telah mengirimkan surat tertanggal 27 Desember 2017 kepada para pemimpin instansi, termasuk kepala daerah, agar menjaga netralitas saat pelaksanaan pilkada serentak 2018 serta pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2019.
Herman menyebutkan, surat itu sesuai dengan yang diatur dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU No 10 Tahun 2016 terkait Pilkada, PP No 42 Tahun 2014 tentang Kode Etik PNS, dan PP No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
”PNS wajib menjaga netralitas serta menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, ataupun golongan,” ujar Herman saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Sabtu (13/1).
Dalam surat tersebut, PNS dilarang menunjukkan keberpihakannya terhadap pasangan calon kepala daerah, antara lain dengan memasang spanduk atau baliho yang mempromosikan pasangan calon kepala daerah.
PNS juga dilarang menghadiri deklarasi bakal pasangan calon, baik dengan mengenakan maupun tidak atribut pasangan calon atau partai politik.
Selain itu, menjadi narasumber pada kegiatan atau pertemuan partai politik juga dilarang bagi PNS.
Untuk perilaku yang berkaitan dengan media sosial, PNS dilarang melakukan foto bersama pasangan calon kepala daerah dengan memakai simbol tangan atau gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan atau kampanye.
PNS pun dilarang mengunggah, menanggapi (”like”, komentar, dan sejenisnya) foto serta visi dan misi atau hal lain yang berkaitan dengan pasangan calon kepala daerah.
Untuk perilaku yang berkaitan dengan media sosial, PNS dilarang melakukan foto bersama pasangan calon dengan memakai simbol tangan atau gerakan yang digunakan sebagai bentuk keberpihakan atau kampanye.
”Apabila terbukti, maka dinilai melanggar asas netralitas. Pelanggaran ini masuk kategori pelanggaran disiplin tingkat sedang sampai berat, dengan sanksi mulai dari penundaan kenaikan gaji sampai dengan pemberhentian,” ucap Herman.
Secara terpisah, anggota Badan Pengawas Pemilu, Rahmat Subagja, mengatakan telah mengetahui surat yang diedarkan Menteri PANRB ke seluruh PNS itu. Menurut dia, aturan tersebut pun berlaku bagi anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwas).
”Kalau ada Panwas yang aktivitas di medsos-nya memberikan tanggapan ’like’ atau sebar posting-an tentang calon kepala daerah, itu kami anggap bermasalah dan akan kami proses,” kata Rahmat seusai menjadi pembicara dalam diskusi ”Wajah Politik Pilkada 2018” yang diselenggarakan MNC Trijaya FM di Jakarta, Sabtu.
Rahmat menyebutkan, aturan netralitas PNS juga berlaku untuk istri atau suami calon kepala daerah.
”Ini sempat jadi perdebatan, boleh sajalah, misalnya, istri mendampingi, tetapi tidak sampai panggung di mana suaminya kampanye. Boleh kalau ingin mengantar saja. Toh, yang mau dijual saat kampanye, kan, programnya, bukan keluarganya. Kalau mau pencitraan bahwa keluarganya harmonis dan baik-baik saja, ya, boleh saja,” tutur Rahmat.
Masyarakat yang menemukan tindakan pelanggaran terkait netralitas PNS dapat mengadukannya melalui berbagai jalur yang tersedia. Beberapa saluran itu antara lain dengan mengakses situs daring bawaslu.go.id, lapor.go.id, atau mengirimkan pesan singkat ke nomor 1708.
Masyarakat yang menemukan tindakan pelanggaran terkait netralitas PNS dapat mengadukannya melalui berbagai jalur yang tersedia.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bidang Hukum Partai Gerindra Habiburokhman mendukung surat keputusan Menteri PANRB tentang netralitas PNS. Menurut dia, PNS memang salah satu pihak yang paling rentan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu saat pilkada.
”Yang paling penting, PNS tidak dimanfaatkan oleh kepentingan pasangan calon tertentu, khususnya petahana,” lanjut Habib.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Demokrasi dan Pemilu (Perludem) Titi Anggraini menilai, sudah seharusnya PNS menjaga netralitasnya. Sebagai pelayan publik, PNS harus dapat menunjukkan netralitasnya dalam bentuk kata-kata dan sikap, baik saat proses pilkada maupun dalam kesehariannya.
”Netralitas aparat sipil negara itu sudah menjadi karakter institusi yang tidak boleh dilanggar,” ujar Titi.
Meski demikian, Titi berharap, aturan terkait netralitas PNS dapat diterapkan secara proporsional. Artinya, pemberlakuan aturan tersebut tidak boleh menjadikan PNS sebagai obyek politik hanya karena ditengarai berpihak kepada salah satu calon.
”Jangan sampai juga aturan tersebut memberangus sikap kritis PNS terhadap kebijakan. Mereka sebagai warga negara juga dijamin haknya dalam hal kebebasan berpikir dan berpendapat,” tutur Titi.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman menyatakan, pada pilkada serentak Juni mendatang terdapat sekitar 150 PNS yang mendaftar sebagai peserta pilkada. KPU mensyaratkan PNS yang mendaftar sebagai peserta pilkada harus membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri saat ditetapkan menjadi calon kepala daerah. (DD14)