Ada Dinamika Dahsyat di ASEAN
Cobalah lihat jadwal penerbangan ke Bangkok (Thailand), misalnya, pada 21 Januari 2018, maka akan ada 12 penerbangan langsung dalam sehari. Demikian pula ke Manila (Filipina), di hari serupa ada 4 penerbangan langsung.
Bahkan, untuk Jakarta-Singapura dan Jakarta-Kuala Lumpur, frekuensi penerbangan langsung sudah seperti antarkota di Indonesia. Sepuluh tahun apalagi 20 tahun lalu, frekuensi penerbangan tak sesering itu.
Inilah salah satu efek ”megatrend” yang sedang berlangsung dan mengubah ASEAN. Ada kecenderungan amat besar akan interaksi di ASEAN, salah satunya interaksi ekonomi.
Arti umum megatrend, ”Fenomena yang sudah menggelinding dengan implikasi luas, lintas sektoral, kuat, transformatif, dan akan mengubah cara orang, perusahaan, dan masyarakat hidup serta berbisnis dalam beberapa tahun yang panjang ke depan”. Demikian dituliskan dalam buku Global Megatrends Implications for the ASEAN Economic Community terbitan Sekretariat ASEAN tahun 2017 dan diedit oleh Profesor Simon SC Tay dan Julia Puspadewi Tijaja, seorang direktur di Sekretariat ASEAN.
Dean A Yoost (seorang ahli keuangan dunia) dan Dr DJ Peterson dalam artikel mereka tahun 2015, ”Embracing Global Megatrends” menuliskan megatrends, ”Bukan perkiraan tetapi kepastian, kejadian-kejadian dengan fakta-fakta signifikan yang telah berlangsung dan memengaruhi bisnis…”.
Interaksi ASEAN berlangsung alamiah dan tergolong skala mega. Ini mendorong mobilitas yang meningkat akibat aktivitas turisme, perdagangan, bisnis, pendidikan lintas batas, dan lainnya.
”Sehubungan dengan dampak berkesinambungan megatrend global (di ASEAN), maka penting bagi komunitas, termasuk Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) untuk beradaptasi, memperkuat arah dan memperluas cakupan…”, demikian pesan lanjutan di buku terbitan Sekretariat ASEAN tersebut.
Dengan kombinasi produksi domestik bruto 2,6 triliun dollar AS, ASEAN adalah perekonomian terbesar keenam di dunia setelah AS, China, Jepang, Jerman, dan India.
Megatrend itu walau menggelinding, perlu juga pengelolaan, demikian intinya. Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta memberikan rincian terkait pengelolaan dan pemanfaatan megratrend itu.
”Ada dua hal yang bisa dan harus dilakukan ASEAN saat ini. Pertama, meningkatkan identitas ASEAN sebagai masyarakat yang terintegrasi. Tidak semua negara di ASEAN demokratis, maka tidak akan mampu membentuk badan nasional supra seperti Uni Eropa,” kata Yose.
”Tidak perlu juga sebuah badan supra nasional karena keluarnya Inggris dari Uni Eropa memperlihatkan kelemahan badan seperti itu. Hal lebih penting saat ini adalah menumbuhkan identitas ASEAN sehingga pembentukan masyarakat ASEAN bisa mempunyai basis lebih kuat. Sebagai contoh, ASEAN perlu memikirkan bentuk paspor yang sama, memperingati Hari ASEAN, mungkin juga membuat visa bersama ASEAN (seperti Schengen di Eropa). Atau, ASEAN memperkuat kesatuan formal yang mempunyai tujuan bersama di forum internasional seperti di PBB dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), misalnya.”
Hal kedua, kata Yose, memperkuat Sekretariat ASEAN. ”Saat ini jumlah staf Sekretariat ASEAN hanya sekitar 200 orang, bandingkan dengan 20.000 staf di Komisi Uni Eropa. Ini salah satu institusi yang harus diperkuat ke depan.” Saran Yose memiliki implikasi positif yang jauh ke depan, dan lintas sektoral, tidak hanya terkait aktivitas ekonomi semata.
Sangat signifikan
ASEAN memang sangat layak memikirkan hal itu karena sudah menjadi kawasan yang signifikan dan sangat dipertimbangkan dunia, khususnya investor. Laporan McKinsey pada 24 Maret 2014 menyatakan, ASEAN telah menjadi sasaran investasi yang begitu diperhitungkan. ASEAN menjadi pusat manufaktur, dagang, dan konsumen yang terus bertumbuh.
Dengan kombinasi produksi domestik bruto (PDB) 2,6 triliun dollar AS, ASEAN adalah perekonomian terbesar keenam di dunia setelah AS, China, Jepang, Jerman, dan India. Dengan jumlah penduduk sebanyak 635 juta jiwa, ASEAN adalah pasar ketiga terbesar di dunia setelah India dan China, demikian juga dari segi angkatan kerja.
Secara kolektif, ASEAN merupakan pedagang keempat di dunia setelah China, AS, dan Jerman. ASEAN telah pula menjadi tujuan favorit investasi.
Dorongan dari kawasan
ASEAN juga berada di Asia di mana China, Jepang, dan Korea Selatan tertarik mendalami hubungan, entah itu untuk tujuan politik internasional atau ekonomi. Saat ASEAN mengalami krisis besar tahun 1997, ada Insiatif Chiang Mai dari Jepang untuk membantu ASEAN secara moneter. Bantuan seperti ini diperluas dan semakin melebar.
Harian India, The Hindu, edisi 3 Januari menuliskan, India akan memberikan ASEAN kesempatan masuk impor lebih besar ketimbang China. Kini muncul program pengembangan infrastruktur dunia bernama ”One Belt and One Road” (OBOR) inisiatif China. ASEAN masuk dalam bidikan utama OBOR.
Jauh sebelum itu, ASEAN sudah dibuat terentak. Ketika AEC pertama kali dicanangkan tahun 2003, kawasan ini tersadar China telah melejit, kontras dengan awal dekade 1990-an. Maka, oleh ASEAN, AEC didorong untuk memperkuat daya saing karena harus berhadapan dengan India dan China yang bersaing secara ekonomi.
Kebutuhan yang dirasakan ASEAN kemudian lebih dari sekadar meraih pertumbuhan, tetapi menjamin kehidupan yang lebih baik dari para warga di semua negara ASEAN, pendorong lahirnya AEC.
Terus melaju
ASEAN memang terus melejit sehingga pada 18 Desember 2017, situs Bloomberg menyebut kawasan ini sebagai yang terberkati dari segi pertumbuhan. Filipina dan Vietnam menjadi bintang.
”Investasi bisnis pada 2018 akan lebih besar,” kata Chua Hak Bin, ekonom dari Maybank Kim Eng Research di Singapura.
Indonesia, Thailand, dan Malaysia mengambil langkah untuk memperkuat ekonomi mereka pada 11 Desember 2017. Tiga negara mempromosikan penggunaan mata uang lokal masing-masing sebagai alat tukar untuk perdagangan dan investasi. Ini mengurangi ketergantungan akan dollar AS dan wujud dari relasi ekonomi yang lebih erat.
Kombinasi lapangan pekerjaan, infrastruktur makin melejitkan pertumbuhan. Myanmar kini akan jadi negara dengan pertumbuhan tertinggi pada 2018, yakni sebesar 7,4 persen.
Kediktatoran berlalu
Mong Palatino, editor Global Voices untuk kawasan Asia Tenggara dan Oseania di situs The Diplomat, 23 Februari, menuliskan, ASEAN juga dirahmati bonus politik. ASEAN yang memiliki sejarah kediktatoran telah mengalami proses demokratisasi relatif mulus. Ini merupakan bonus politik bagi ASEAN walaupun belum demokrasi dengan relatif sempurna. Masih ada Malaysia dan Kamboja yang jauh dari demokrasi.
Akan tetapi, kediktatoran parah sudah memudar dan membuat ASEAN makin melaju dengan programnya didorong bonus megatrend. Namun, berakhirnya kediktatoran di ASEAN juga memberikan pelajaran dengan melihat kasus di Indonesia dan Filipina. Dua negara ini menunjukkan, politik kondusif tidak cukup dengan menghalau kediktatoran saja.
Gerakan rakyat harus berlanjut untuk reformasi struktural dengan tujuan memakmurkan rakyat dan pemerataan. Jika tidak, demokratisasi dalam kata semata tidak akan diiringi dengan perbaikan sistem. Maka, akhir kediktatoran akan sia-sia sebab tidak mampu mencegah kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan yang masih mendominasi ASEAN.
Sosial media kini berperan menggantikan peran kekuatan rakyat, yang telah berhasil menjungkalkan kediktatoran. Ini masih relevan untuk sebuah perubahan lanjutan atas struktur politik di ASEAN.
Bukan tidak mungkin dengan ASEAN sebagai sebuah komunitas, maka tiap pemimpin atau politisi ”busuk” di setiap negara akan malu jika negaranya menjadi pengganggu bagi sesama ASEAN sebab sudah merupakan sebuah komunitas.
Inilah mungkin salah satu efek visi penguatan lebih jauh masyarakat ASEAN seperti saran Yose. Hal itu bertujuan menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang hidup, dinamis, dan dahsyat serta aspirasi warganya bersatu padu.
Inilah sebuah dinamika besar yang mungkin diam-diam sedang terjadi di ASEAN. Dengan semua dinamika ini, tanpa harus menjadi seperti Uni Eropa, bukan tidak mungkin 10 negara ASEAN memiliki kemakmuran tinggi setara Perancis, Jerman, Inggris, dan Kanada di masa jayanya.