Penetapan Tersangka Fredrich Yunadi Bukan Kriminalisasi
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan tersangka kepada Fredrich Yunadi, mantan kuasa hukum Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dinilai sudah tepat.
Penetapan itu sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan bukan merupakan kriminalisasi profesi pengacara.
”Bukan kriminalisasi. Kriminalisasi itu merupakan tindak pidana yang tidak memiliki dasar hukum,” ucap Julius Ibrani, Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Minggu (14/1), pada konferensi pers di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta.
Julius mengatakan, penetapan Fredrich sebagai tersangka adalah tindak pidana yang memiliki dasar hukum.
Sebelumnya, Rabu (10/1), Fredrich Yunadi ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan menghalang-halangi penyidikan yang dilakukan KPK. Fredrich pun menilai penetapan itu sebagai langkah KPK untuk menghancurkan profesi pengacara.
Fredrich Yunadi ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan menghalang-halangi penyidikan yang dilakukan KPK.
Fredrich diduga melanggar Pasal 21 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001.
”Apabila melanggar UU, bisa dipidanakan,” kata Julius.
Namun, Fredrich memiliki pandangan berbeda. Ia meyakini pengacara tidak bisa dituntut secara perdata dan pidana. Ia pun menguatkan pernyataannya dengan Pasal 16 UU No 18/2003 tentang Advokat.
Hal itu pun dibenarkan Julius. UU itu menjamin advokat tidak dapat dituntut. Apalagi, putusan MK No 26/2013 pun memperkuat UU tersebut.
Unsur iktikad
Akan tetapi, kata Julius, ada unsur iktikad baik yang harus dipertimbangkan dalam peraturan itu.
Apabila tidak ingin dituntut, advokat harus menjalankan kapasitasnya dengan iktikad baik.
Apabila tidak ingin dituntut, advokat harus menjalankan kapasitasnya dengan iktikad baik. Peraturan itu pun tidak berlaku ketika yang dilakukan tidak sesuai tugas profesinya.
”Seperti seorang diplomat kan memiliki imunitas hukum. Tetapi, kalau seorang diplomat melakukan tabrak lari, ia jelas bisa dipidana karena menabrak orang bukanlah tugas profesinya,” ucapnya.
Contoh diplomat itu, menurut Julius, sama dengan kasus Fredrich. Tugas advokat adalah membela kliennya. Namun, ketika pembelaan dilakukan dengan segala cara yang melanggar hukum, maka tidak bisa dibenarkan.
Seperti dugaan, Fredrich dan dokter Bimanesh Sutarjo yang bekerja sama memasukkan Novanto ke RS Medika Permata dengan alasan sakit sehingga bisa menghindari panggilan KPK.
Hadir juga pada acara itu, peneliti ICW, Tama S Langkun. Ia mengatakan, advokat pasti memahami batasan hukum. Ketika membela tersangka, ada batas yang tidak boleh dilakukan.
Advokat pasti memahami batasan hukum. Ketika membela tersangka, ada batas yang tidak boleh dilakukan.
”Kalau harus meliputi rekayasa, pasti ada kesadaran itu perbuatan salah,” ucapnya.
Tama menilai nilai etik advokat sama seperti dokter. Ketika dokter memberi analisis medis, maka hal itu dibenarkan. Namun, ketika memalsukan data medis, dokter itu harus dipidana.
”Kalau mereka pegang teguh, pasti tidak akan terjerat. Masalahnya, mereka menerobos etik, sudah pasti akan masuk jurang pidana,” katanya. (DD06)