Pembangunan kekuatan Angkatan Laut dengan penggantian alutsista patut diimbangi dengan pengembangan teknologi terkini. Jangan membeli apalagi memakai alutsista berteknologi yang sudah usang atau tertinggal.
Pertempuran di samudra pada masa depan tidak akan lagi melibatkan kekuatan armada besar tetapi sistem persenjataan berteknologi canggih dengan dampak mengerikan.
Tepat 56 tahun lalu, dalam Pertempuran Laut Aru di selatan Kaimana, Papua Barat, kapal perang Belanda menenggelamkan KRI Macan Tutul.
Komodor Yosaphat Soedarso, asisten operasi KSAL, dan 24 krunya gugur. Sebanyak 53 kru Macan Tutul selamat tetapi ditangkap dan sempat dijadikan tawanan perang oleh Belanda.
Oleh pemerintah, peristiwa itu ditetapkan sebagai Hari Dharma Samudra yang pada Senin (15/1) diperingati jajaran AL lewat upacara dan tabur bunga dari KRI Makassar di Selat Madura, Jatim.
Turut hadir pada peringatan tersebut di Selat Madura adalah dua kru Macan Tutul yang masih hidup yakni Pelda (Purn) Soeparman dan Pelda (Purn) Andrian.
Sebelum pecah Pertempuran Laut Aru, tiga KRI yakni Macan Tutul, Macan Kumbang, dan Harimau menjalankan misi rahasia Operasi Trikora untuk membebaskan Irian (nama lama Papua) dengan pendaratan ke Kaimana.
Namun, misi itu gagal sebab ketiga KRI dipergoki pesawat dan kapal perang Belanda yang diyakini lebih canggih dan bersenjata.
Dalam pertempuran itu, Soedarso memimpin Macan Tutul memberi perlawanan kepada kapal Belanda demi menyelamatkan Macan Kumbang dan Harimau.
Kedua KRI itu memang selamat tetapi harus ditebus dengan tenggelamnya Macan Tutul dan gugurnya Soedarso beserta sebagian anak buah kapal.
KSAL Laksamana Ade Supandi mengatakan, misi rahasia Operasi Trikora dijalankan lewat skema gerilya laut. Dalam masa sekarang, strategi itu mungkin sudah tidak bisa dijalankan.
Teknologi alutsista berkembang pesat sehingga hampir mustahil pergerakan kapal perang tidak diketahui. Perang laut tidak akan seperti dahulu di mana kapal-kapal berhadapan dan saling menghancurkan.
“Banyak dimensinya. Ada pertempuran di dalam laut, atas laut, darat, bahkan siber,” ujar Ade seusai tabur bunga. Untuk itu, pembangunan alutsista AL harus mengikuti perkembangan teknologi sehingga KRI yang dimiliki siap memenuhi tuntutan perang berbagai dimensi tadi.
Ade mengingatkan, KRI adalah fondasi AL. Jika suatu negara tidak memiliki kapal perang, maka mustahil ada AL.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia dituntut memiliki AL yang kuat dan canggih. Peperangan di masa depan berpotensi terjadi secara mendadak.
Suatu insiden kecil misalnya di perbatasan bisa memicu peperangan sehingga alutsista yang dimiliki harus dapat merespons dengan cepat dan tepat.
Mengenang peristiwa Pertempuran Laut Aru, Soeparman mengingatkan, para prajurit untuk setia terhadap Pancasila, UUD’45, NKRI, dan sumpah prajurit.
Soeparman merasa amat beruntung dapat lepas dari maut pertempuran di Laut Aru saat malam itu. Selanjutnya, Soeparman tertangkap, ditawan hampir setahun, dan dibebaskan oleh misi diplomatik di era Presiden Soekarno.
“Saya berharap generasi sekarang tidak melupakan jasa para pahlawan yang ingin Indonesia tetap berdiri,” katanya.