Ombudsman: Ada Gejala Malaadministrasi dalam Isu Stok Beras Nasional
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia menemukan enam gejala malaadministrasi dalam isu stok beras nasional. Pemerintah diminta untuk mengejar pemerataan stok beras dan berhenti memberikan informasi yang kurang tepat.
Dalam konferensi pers, Senin (15/1), di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai menyatakan, ada enam gejala malaadministrasi yang mereka temukan dalam isu beras nasional. Enam gejala malaadministrasi itu ialah penyampaian informasi stok beras yang tidak akurat kepada publik, impor yang tidak mengindahkan prinsip kehati-hatian, penyalahgunaan kewenangan, penggunaan kewenangan untuk tujuan lain, prosedur yang tidak patut, dan adanya konflik kepentingan.
Amzulian mengatakan, dari hasil monitoring yang dilakukan oleh 31 kantor perwakilan Ombudsman RI di tingkat provinsi pada 10-12 Januari 2018, didapatkan kesimpulan stok beras yang ada di seluruh Indonesia tidak merata. Tidak meratanya stok beras disebabkan ada daerah ysng mengalami surplus beras, tetapi cadangan berasnya tersedot untuk memenuhi kebutuhan beras di daerah lain yang belum memasuki masa panen.
”Wilayah Indonesia timur menjadi sentral stok beras. Sulawesi Selatan, misalnya, menjadi penyelamat provinsi lain. Jawa Timur stoknya bagus, tetapi tersedot ke Kalimantan,” katanya.
Wilayah Indonesia timur menjadi sentral stok beras. Sulawesi Selatan, misalnya, menjadi penyelamat provinsi lain. Jawa Timur stoknya bagus, tetapi tersedot ke Kalimantan.
Ombudsman RI juga melihat adanya gejala penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan pemerintah. Hal itu berkaitan dengan mekanisme impor beras khusus yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Di tengah situasi harga beras yang melambung, Kemendag memutuskan untuk mengimpor 500.000 ton beras dari luar negeri. PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) didapuk sebagai importir.
Penunjukan PT PPI itu oleh Ombudsman RI dinilai tidak sesuai dengan Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 yang menyatakan Perum Bulog sebagai lembaga yang bertugas mengimpor beras. Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, menilai, impor beras semestinya dilakukan Perum Bulog yang lebih berpengalaman.
Dari hasil monitoring yang dilakukan oleh 31 kantor perwakilan Ombudsman RI di tingkat provinsi pada 10-12 Januari 2018, didapatkan kesimpulan stok beras yang ada di seluruh Indonesia tidak merata.
”Saya menyatakan, ini sangat serius. Hati-hati agar jangan dilanggar. Apakah PPI punya sertifikat standar untuk mengimpor beras? Kalau itu dicederai, maka akan merusak pergaulan internasional. Dampaknya bisa meluas ke mana-mana,” ujar Alamsyah.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebelumnya mengatakan, penunjukan PT PPI sebagai pengimpor beras khusus sebanyak 500.000 ton itu sudah dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah (Kompas, 13/1). Impor itu menggunakan dana komersial PT PPI, bukan dana negara. Selain itu, pemerintah juga menghindari tudingan beras impor dioplos dengan stok beras lama jika impor dilakukan oleh Perum Bulog.
Pemerataan
Atas temuan itu, Ombudsman RI merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengejar pemerataan stok beras nasional. Pemerintah, kata Alamsyah, harus punya rencana meningkatkan stok yang kredibel. Tujuannya agar Perum Bulog memiliki kewibawaan dalam memengaruhi psikologi pasar. Langkah impor beras sebaiknya juga dilakukan untuk meningkatkan cadangan beras dan tidak untuk langsung didistribusikan ke pasar.
Alamsyah menambahkan, Ombudsman meminta pemerintah untuk menghentikan pembangunan opini-opini tentang surplus beras dan perayaan panen yang berlebihan karena akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.
”Faktanya, stok beras pas-pasan dan tidak merata,” kata Alamsyah.
Alamsyah mengatakan, Ombudsman telah menyampaikan catatan tindakan korektif atas ketidaksesuaian informasi soal stok beras kepada Kementerian Pertanian (Kementan). Selain itu, Ombudsman juga akan menjalin komunikasi lebih lanjut dengan Kemendag dan Kementan. (DD10)