Pemerintah Daerah Diminta Lebih Peka
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah diminta lebih peka dalam menangani masalah sosial, terutama kesehatan, seperti yang terjadi di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Krisis kesehatan yang terjadi selama bertahun-tahun di sejumlah daerah ternyata belum dapat dihentikan. Kasus terbaru mengenai krisis kesehatan di Kabupaten Asmat, Papua, menjadi bukti nyata pemerintah daerah kurang tanggap.
Sebanyak 61 anak meninggal selama empat bulan terakhir (Kompas, 15/1). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), prevalensi kasus gizi buruk di Kabupaten Asmat meningkat. Pada 2017, angka prevalensi naik sebesar 14,3 persen dari 7,3 persen pada 2016.
Sementara itu, secara keseluruhan prevalensi kasus gizi buruk di Papua naik dari 5,7 persen pada 2016 menjadi 5,8 tahun 2017.
Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes Doddy Izwardi di Jakarta, Senin (15/1), menyatakan, angka kasus gizi buruk Papua sebenarnya telah turun pada periode antara tahun 2015 dan 2016. Namun, angka tersebut malah naik pada periode antara tahun 2016 dan 2017.
”Data yang ditemukan di lapangan harusnya berani dilaporkan ke pejabat yang lebih tinggi karena setiap kasus kekurangan gizi memiliki intervensi yang berbeda. Ini bergantung pada kemauan pemerintah daerah,” kata Doddy.
Ia menyatakan terkejut dengan lonjakan jumlah kasus. Kemenkes telah berkomunikasi melalui telepon untuk mengingatkan mengenai peningkatan jumlah kasus gizi buruk di Papua sejak beberapa bulan lalu.
Menurut Doddy, gejala mengenai kejadian luar biasa (KLB) juga dapat diperkirakan melalui indikator yang lain selain dari jumlah kasus. Misalnya, dari kemudahan masyarakat mendapatkan bahan makanan bergizi dan kenaikan harga barang.
Adapun Kabupaten Asmat terdiri dari 23 distrik atau kecamatan yang memiliki 224 kampung. Hanya tersedia 16 puskesmas di pusat distrik untuk melayani sekitar 113.000 orang. Dari 16 puskesmas itu, tidak sampai 10 dokter yang bertugas. Sisanya merupakan tenaga mantri dan perawat.
Selama ini, penderita campak tak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal, seperti imunisasi, sehingga rentan terkena penyakit yang berasal dari virus. Seperti yang diberitakan sebelumnya, kebanyakan orangtua penderita campak jarang membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi akibat jarak dari kampung ke puskesmas yang jauh dengan waktu tempuh berkisar 2-12 jam menggunakan kapal.
”Fasilitas kesehatan dan infrastruktur itu berpulang ke otonomi daerah. Kemenkes hanya mendukung penguatan kapasitas,” kata Doddy.
Pemerintah pusat juga telah berupaya membantu layanan kesehatan di Papua, di antaranya melalui program wajib kerja dokter spesialis (WKDS) dan Nusantara Sehat. WKDS merupakan upaya pemerintah dalam pemerataan dokter spesialis, terutama di daerah terpencil perbatasan dan kepulauan. Sementara program Nusantara Sehat bertujuan menguatkan pelayanan di daerah terpencil dengan pemerataan tenaga medis.
Menteri Kesehatan Nila Djuwita Anfasa Moeloek mengatakan, pemda perlu bergerak terlebih dahulu dalam menangani masalah gizi buruk dan campak. Hal ini karena Papua merupakan daerah dengan otonomi khusus (otsus) (Kompas, 13/1).
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Asmat telah menerjunkan tim terpadu untuk memberikan bantuan kesehatan dan makanan di tujuh distrik sejak Selasa pekan lalu hingga Sabtu. Ketujuh distrik itu adalah Swator, Aswi, Fayit, Pulau Tiga, Kolf Braza, Jetsy, dan Siret.
Pemerintah pusat melalui Kemenkes menurut rencana akan segera mengirimkan bantuan makanan dalam bentuk paket makanan tambahan pemulihan (PMT-P) melalui dua jalur transportasi. Jalur pertama sebesar 1-2 ton, sedangkan jalur dua sebesar 3 ton. Saat ini, koordinasi masih terus dilakukan. Selain itu, Kemenkes akan mengirim dua tim yang terdiri dari tenaga medis pada Senin (15/1) dan Selasa (16/1) untuk gelombang pertama. Satu tim terdiri dari sedikitnya 10 orang.
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos Harry Hikmat menyatakan, Kemensos juga akan mengirim bantuan paket makanan pada Minggu (14/1), malam. Bantuan paket makanan terdiri dari 8.000 paket makanan kaleng siap saji.
Selain dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain juga mengirimkan bantuan. Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, mengirimkan bantuan berupa obat dan makanan melalui koordinasi dari Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Sabtu (13/1).
Otonomi khusus
Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi yang memiliki otonomi khusus di Indonesia. Keistimewaan tersebut dijamin dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001. Dalam Pasal 1b UU No.21/2001, Provinsi Papua berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, krisis kesehatan yang terjadi di Kabupaten Asmat sepatutnya bukan menjadi bahan perdebatan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas masalah itu.
”Akan tetapi, masalah pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang terjadi selama ini menunjukkan upaya pemda belum berhasil,” ujar Robert.
Elite birokrat lokal belum bisa membuktikan komitmen mereka dalam mengabdi kepada masyatakat. Masalah di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur merupakan kejadian yang sudah terlalu sering terjadi selama bertahun-tahun.
Ia menyarankan, sudah saatnya bagi pemerintah pusat meninjau kembali pembagian anggaran yang harus dikelola oleh pemda setempat. Pemerintah juga diminta segera membuat target kinerja yang harus dipenuhi pemda, baik itu pemerintah provinsi, pemerintah kota, maupun pemkab. Tindakan itu diperlukan untuk menjamin masyarakat memperoleh akses dan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas.
Selain itu, ujarnya, pemerintah perlu segera mengubah cara berpikir untuk membangun fasilitas kesehatan secara melalui tingkatan di Papua. Kejadian luar biasa (KLB) akibat wabah penyakit yang terjadi menunjukkan bahwa provinsi yang terkenal dengan burung cendrawasih itu memerlukan tindakan yang berbeda dibandingkan tempat lainnya.
”Tidak perlu membangun rumah sakit yang bagus di kota saja, tetapi juga di daerah terpencil,” kata Robert. Hal itu dinilai lebih efektif untuk mendekatkan layanan publik kepada masyarakat terpencil karena karakter penyakit di Papua cenderung untuk berkumpul dalam satu titik. (DD13)