Pengembangan Usaha Rintisan Terhambat Urusan Modal
Ekonomi digital akan terus berkembang pada 2018. Pertumbuhannya semakin cepat terasa. Di sisi lain, pengembangan usaha rintisan digital ternyata terkendala dari sisi permodalan.
Industri digital memang makin tumbuh ditopang pertumbuhan kelas menengah yang lebih banyak terhubung internet serta munculnya usaha kecil menengah berbasis digital.
Menurut Asosiasi E-Commerce Indonesia (iDEA), tahun 2016 ada 24,7 juta orang Indonesia membeli produk secara daring, yang jumlahnya setara 9 persen dari total populasi. Tahun 2017, transaksi e-dagang diperkirakan naik 30-50 persen dari tahun sebelumnya.
Anggota Dewan Penasihat iDEA Daniel Tumiwa menekankan betapa pertumbuhan e-dagang dapat menopang perekonomian Indonesia. Meski diingatkannya, aturan pajak bagi edagang harus diterapkan baik kepada pemain lokal maupun asing untuk menjadi pemasukan negara.
Sejauh ini, berdasarkan data dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Pusat Statistis (BPS), industri ekonomi kreatif pada 2015 menyumbang Rp 852 triliun terhadap pendapatan domestik bruto. Tahun 2016, nilainya Rp 922 triliun atau 7,44 persen dari PDB.
Pemerintah Indonesia pun menargetkan negara ini menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di kawasan ASEAN pada 2020.
Bagaimana caranya? Di antaranya adalah dengan mendorong pelaku UKM untuk terus memperluas jangkauan dengan cara digital, seperti menjual produk-produknya secara daring.
Mendirikan usaha rintisan harus disadari tidak mudah. Apalagi, ide-ide yang ada di kepala anak-anak muda tidak selalu mudah diwujudkan. Mengapa? Karena dapat saja tidak layak secara bisnis atau layak secara bisnis, tetapi minim modal.
Karena dapat saja tidak layak secara bisnis atau layak secara bisnis, tetapi minim modal.
Lembah kematian
Seperti bisnis lain, ada masa-masa sulit yang harus dilewati pada tahap awal. Pada periode awal, bahkan tidak banyak usaha rintisan yang selamat melewati siklus yang disebut lembah kematian karena tidak berhasil mendapatkan pendanaan.
Di sisi lain, bagi investor, mendanai sebuah usaha rintisan digital juga berisiko tinggi. Investor pun mengenal beberapa tahapan saat mendanai usaha rintisan, yang memiliki risiko-risiko berbeda.
Tahap awal atau tahap pengembangan (seed) merupakan tahapan krusial bagi sebuah usaha rintisan. Pada tahap ini, ada lembah kematian. Dan, jika usaha rintisan tersebut tidak selamat, dia akan mati dan terkubur di lembah kematian tersebut.
Jika selamat dari lembah kematian, usaha rintisan itu akan menarik para angel investor, yang memberikan modal dengan imbalan kepemilikan saham. Para angel investor ini menanamkan modal saat usaha rintisan berada di tahap awal (early stage). Risiko yang ditanggung investor masih besar meskipun tidak sebesar di tahap sebelumnya.
Setelah itu, usaha rintisan akan memerlukan pendanaan tahap A, B, dan C. Tahapan seri A, B, dan C ini seperti anak tangga yang membuat usaha rintisan semakin matang dan semakin siap untuk melakukan penawaran saham kepada publik di bursa.
Secara lebih rinci, pendanaan seri A berkisar antara 2 juta dollar AS dan 15 juta dollar AS (antara Rp 26 miliar-Rp 195 miliar) walau nominalnya dapat lebih besar lagi. Para pemodal ventura masuk dalam tahap ini, sedangkan angel investor biasanya tidak terlalu banyak berperan.
Pada tahap selanjutnya, di pendanaan seri B, visi pemodal ventura sudah lebih jelas. Bisnis rintisan menjadi lebih besar. Dana yang disetorkan 7 juta dollar AS-10 juta dollar AS.
Pendanaan tahap selanjutnya adalah seri C. Suntikan dana pada tahap ini adalah untuk pengembangan bisnis, bahkan mengakuisisi perusahaan lain. Karena risiko sudah berkurang seiring semakin jelasnya operasional perusahaan dan penjualan, investor pada tahap ini semakin beragam, tidak terbatas pada pemodal ventura saja.
Investor seperti hedge fund, bank investasi, perusahaan private equity biasanya masuk menjadi investor pada tahap ini.
Menawarkan saham
Ketika usaha rintisan semakin mapan, penjualan semakin baik, operasional sudah memenuhi berbagai persyaratan, tidak tertutup kemungkinan usaha rintisan tersebut menawarkan sebagian sahamnya melalui penawaran umum di bursa.
Usaha rintisan yang telah melepaskan saham di Bursa Efek Indonesia adalah MCASH dan Kioson (MKNT). Berdasarkan informasi, ada sebuah usaha rintisan lain yang memberi jasa finansial teknologi pada bidang investasi juga siap melepas saham di BEI.
Usaha rintisan lain yang menjual saham ke bursa dan membuat pendirinya kaya raya adalah Facebook, Twitter, Alibaba, dan Uber China.
Hal lain yang menarik dicermati adalah soal valuasi dari usaha rintisan. Valuasi ini dihitung berdasarkan beberapa hal, seperti besaran pasar juga prediksi keuangan ke depan.
Tahap valuasi penting lainnya adalah ketika sebuah usaha rintisan mencapai nilai lebih dari 1 miliar dollar AS yang disebut unicorn. Istilah unicorn pertama kali diperkenalkan Aileen Lee, seorang venture capital.
Unicorn adalah makhluk khayalan yang melambangkan sesuatu yang jarang ditemukan, seperti juga usaha rintisan yang benar-benar sukses. Sementara itu, decacom merupakan istilah yang mengacu pada usaha rintisan yang nilainya 10 miliar dollar AS dan hectacom merupakan usaha rintisan dengan valuasi di atas 100 miliar dollar AS.
Menurut data TechCrunch, pada Maret 2017 terdapat 223 unicorn. Di antaranya adalah Uber, Xiaomi, Pinterest, Snap, dan Airbnb. Di Indonesia, hingga saat ini ada empat perusahaan unicorn, yaitu Go-Jek, Bukalapak, Tokopedia, dan Traveloka.
Mencari pendanaan
Usaha-usaha rintisan saat ini telah berjumlah ribuan. Memang tidak semua usaha rintisan layak investasi. Banyak pula usaha rintisan yang tidak berhasil melewati lembah kematian karena berbagai hal, antara lain kurang pendanaan.
Masalah pendanaan ternyata menjadi salah satu kendala pengembangan usaha rintisan walaupun aliran dana untuk usaha rintisan sebenarnya semakin banyak.
CBS Insights memaparkan, pada 2015 aliran dana untuk investasi di usaha rintisan Asia Tenggara mencapai 1,719 miliar dollar AS. Tahun 2016, naik menjadi 3,09 miliar dollar AS dan tahun 2017 mencapai 6,4 miliar dollar AS.
Dari dana investasi itu, ada dana 2,9 miliar dollar AS masuk ke Indonesia. Yang ternyata, lebih sedikit dibandingkan dana yang mengalir ke Singapura, sebanyak 3 miliar dollar AS.
Wakil Ketua II Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) Donald Wihardja mengatakan, konglomerat Indonesia sebenarnya berpotensi mendanai usaha rintisan.
”Tetapi mereka banyak yang belum mengerti, belum siap menyuntikkan dana ke start up,” kata Donald.
Saat ini, Amvesindo membentuk jaringan angel investor yang nantinya melihat peluang investasi pada usaha rintisan. Selain itu, Amvesindo juga memiliki Next Indonesian Unicorn (Nexticon) untuk memperkenalkan usaha-usaha rintisan berprospek bagus kepada para calon investor sehingga dapat menjadi unicorn-unicorn selanjutnya.
Amvesindo telah pula menyusun data usaha rintisan, seperti riwayat pendanaan dan peringkat, sehingga para calon investor lebih mudah melihat potensinya.
Saat ini, pendanaan usaha rintisan lebih banyak pada tahap awal, seri A, seri C, dan ketika usaha rintisan menjadi unicorn. Sementara itu, investasi pada seri B sangat sedikit sekali. Padahal, perusahaan rintisan tidak berkembang jika tidak disuntik dana pada seri B.
Tahun ini, semoga ekosistem digital Indonesia semakin baik sehingga usaha rintisan mendapatkan lebih banyak pendanaan agar dapat berkembang dan menopang perekonomian. Semoga.