Stok Beras di Jakarta Stabil, tetapi Harga Naik
JAKARTA, KOMPAS — Persediaan beras di Jakarta pada Senin (15/1) masih stabil. Namun, harga beras masih melonjak.
Menurut Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo Adi, untuk menjaga kestabilan cadangan beras di Jakarta, jumlah persediaan di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) harus ada antara 25.000 hingga 30.000 ton.
“Hingga hari ini, stok beras di gudang masih memenuhi jumlah tersebut,” kata Arief.
Arief mengatakan, persediaan beras tersebut didapat dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Ia menambahkan, tidak ada beras impor yang didatangkan ke PIBC.
Meskipun persediaan tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat di Jakarta, yaitu 2.500 ton per hari, tetapi harga beras masih naik.
Sejak Desember 2017, harga beras naik Rp 2.500 per kg, yaitu beras premium sebesar Rp 12.500 per kg, medium sebesar Rp 11.800 per kg, dan Bulog sebesar Rp 8.900 per kg.
Ahli Ekonomi dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengkritisi kebijakan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) yang mengimpor beras dan menaikkan harga.
Seharusnya Bulog menyediakan pasokan beras 2,5 juta ton sejak tahun 2017, sehingga tidak perlu mengimpor.
Sebagai mantan Ketua Bulog, ia menyayangkan ketidaksiapan Bulog mengatasi berkurangnya pasokan beras dari Jawa.
“Seharusnya Bulog menyediakan pasokan beras 2,5 juta ton sejak tahun 2017, sehingga tidak perlu mengimpor,” kata Rizal saat meninjau PIBC. Rizal menyayangkan Bulog yang hanya menyediakan 58 persen dari jumlah tersebut.
Rizal juga menyayangkan kebijakan Bulog yang menyimpan beras di gudang selama empat hingga lima tahun.
Akibatnya, beras itu tidak diminati oleh masyarakat karena kualitasnya yang buruk. Kompas berusaha menghubungi pihak Bulog untuk menanggapi kritikan tersebut, tetapi belum mendapat jawaban.
Beras Bulog kurang diminati
Sejumlah pedagang di PIBC mengatakan, beras dari Bulog tidak diminati pembeli karena warnanya yang kuning dan cenderung kusam, serta bentuknya yang tidak utuh.
Asong (70), pedagang beras di PIBC mengatakan, sejak kemarin tidak ada pembeli beras dari Bulog.
Pedagang beras lainnya di PIBC, Uwi (46) sengaja tidak menyediakan beras Bulog karena tidak ada pembeli yang tertarik. Ia hanya menjual beras kelas medium dan premium.
Kenaikan beras berpengaruh pada pedagang nasi. April (40), pedagang nasi di Tebet, Jakarta Selatan mengatakan, kenaikan harga beras menyebabkan dia harus menaikkan harga lauk pauk dan sayur sebesar Rp 1000 per porsi.
Ia menggunakan beras medium dan tidak mau menggunakan beras Bulog karena warnanya yang kusam.
Hal serupa dikatakan Makmun (47), pedagang nasi di Rawamangun, Jakarta Timur. Ia tidak mau menggunakan beras Bulog karena tidak ingin kehilangan pelanggan. Untuk menutupi kenaikan harga beras, ia mengurangi jumlah lauk.
Strategi berbeda dilakukan Sri (36), penjual nasi uduk di Buaran, Jakarta Timur. Ia mencampur beras Bulog dengan kelas medium untuk menghilangkan baunya yang kurang sedap atau apak.
Sobirin (52) pedagang beras di Pasar Rawamangun, Jakarta Timur mengatakan, sebagian besar pembeli beras Bulog merupakan pedagang nasi.
Menurut Sobirin, pembeli tidak tertarik karena warnanya yang kusam dan hancur bentuknya, serta baunya kurang sedap.
“Pembeli beras Bulog biasanya mencampurkannya dengan kelas menengah untuk menyamarkan bentuk dan baunya,” katanya.
Simanjuntak (70), warga Rawamangun tidak mau menggunakan beras bulog karena pera atau tidak pulen ketika dimasak. Ia hanya mau menggunakan beras kelas medium untuk kebutuhan keluarganya.
Di Pasar Rawamangun, harga beras Bulog sebesar Rp 9.300 per kilogram, beras medium Rp 12.000 per kilogram, dan beras premium Rp 13.000 per kilogram.
Manajemen stok bermasalah
Kebijakan dari Bulog mengimpor beras yang menyebabkan harga beras naik dinilai sebagai bentuk manajemen stok yang buruk.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi mengatakan, jika Bulog mengimpor beras pada 2010 hingga 2017, maka dapat mengurangi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 300 triliun.
Menurut Hizkia, kenaikan harga beras impor terjadi karena negara pengekspor memanfaatkan kebutuhan beras di Indonesia yang mendesak. Ia juga menyayangkan tindakan bulog yang menahan beras hingga empat sampai lima tahun, sehingga rusak dan kurang enak untuk dikonsumsi.
Hizkia juga mengkritisi pihak yang menaikkan harga beras. “Jika stok di PIBC masih tercukupi, seharusnya pasokan beras di pasar tidak kurang, sehingga harga beras tidak akan melonjak,” katanya. (DD08)