Upah Layak Jurnalis Masih Sulit Terpenuhi
JAKARTA, KOMPAS-- Upah layak bagi para jurnalis, khususnya di Jakarta masih sulit terealisasikan. Persaingan media yang kian ketat serta minimnya pemasukan dari iklan menjadi beberapa faktor yang membuat para jurnalis semakin sulit mendapat upah yang layak.
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, merilis data mengenai penetapan upah layak jurnalis pemula di Jakarta sebesar Rp 7.963.949 pada tahun 2018. Jumlah ini meningkat dari tahun 2016 sebesar Rp 7.540.000 dan pada tahun 2015 sebesar Rp 6.514.400.
Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar menjelaskan, upah layak ini akan sulit terealisasikan. Faktanya, upah jurnalis pemula di Jakarta masih sekitar Rp 3,1 juta hingga Rp 6,4 juta.
"Di tengah kondisi industri pers sekarang, tampaknya upah ideal ini cukup berat terealisasikan. Pemasukan dari iklan semakin sedikit. Padahal, menurut data yang dirilis beberapa lembaga, jumlah belanja iklan bertumbuh," ungkapnya di Kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Senin (15/1).
Ia menjelaskan, banyak media yang memberikan diskon besar untuk biaya pemasangan iklan, sehingga jumlah belanja iklan perusahaan meningkat, tapi pemasukannya tidak bertambah.
"Selain itu antarsesama media kan juga bersaing untuk mendapatkan iklan. Sejumlah media memberikan harga murah untuk iklan, supaya sekadar ada pemasukan ke medianya," tuturnya.
Selain itu, media saat ini juga bersaing dengan perusahaan internasional dan media sosial seperti Facebook, Google, Youtube. Djauhar menambahkan, kecenderungan iklan lebih banyak masuk ke perusahaan internasional tersebut.
"Padahal, sejumlah berita yang ada di media sosial ini berasal dari media massa nasional. Media massa nasional mengeluarkan biaya besar untuk memberi upah reporternya, sedangkan media sosial ini tidak perlu membayar upah reporter," katanya.
Djauhar menjelaskan, saat ini industri media memang sedang mengalami pasang surut, khususnya media cetak. Sejumlah media cetak berusaha bertahan di tengah gempuran media online yang jumlahnya semakin banyak
"Kemudian, para jurnalisnya dituntut multitasking, harus bisa banyak hal seperti foto, video, dan menulis. Beberapa wartawan cetak juga harus mengisi berita untuk kanal online-nya, padahal hal ini tidak sebanding dengan peningkatan upah mereka," jelasnya.
Djauhar menjelaskan, industri media saat ini cenderung multiplatform, dan ini memakan biaya operasional yang besar. Dewan Pers berharap, jumlah media nantinya bisa mengerucut dan fokus pada platform utamanya.
"Dewan Pers bersama konstituen dan pelaku industri media sudah menetapkan standar perusahaan pers, yang mewajibkan perusahaan pers memberikan upah pada pekerja media suuai dengan UMP minimal 13 kali dalam setahun," tuturnya.
Dewan Pers bersama konstituen dan pelaku industri media sudah menetapkan standar perusahaan pers, yang mewajibkan perusahaan pers memberikan upah pada pekerja media suuai dengan UMP minimal 13 kali dalam setahun
Ia menerangkan, masih ada sejumlah media yang belum mampu menetapkan standard ini. "Beberapa media masih memberi upah kepada wartawannya secara honorer, tergantung berita yang dimuatnya. Ini bisa mempengaruhi kualitas berita dan produk jurnalis yang dibuat. Selain itu, wartawan bisa menyalahgunakan profesinya untuk memeras narasumber jika hal ini terjadi," kata Djauhar.
Menanggapi hal ini sulitnya upah layak ini terealisasi, Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim menerangkan, sejumlah industri media memang masih belum fokus untuk meningkatkan kesejahteraan wartawannya.
"Beberapa perusahaan media terfokus untuk mengembangkan industri bisnis lain, sehingga terkadang fokus mereka tidak hanya untuk media," kata Ahmad saat dihubungi, Senin.
Ahmad menjelaskan, sejumlah media seharusnya bisa memberikan transparasi pemasukan perusahaan kepada para wartawannya. Kemudian, ia juga menekankan mengenai pentingnya serikat pekerja para jurnalis.
"Dengan berserikat, para jurnalis bisa memperjuangkan hak-haknya kepada para pemilik media dan punya daya tawar untuk masalah upah ini," jelasnya.
AJI Jakarta merilis data, upah membuat upah layak ini ada beberapa komponen yang diperhitungkan seperti kebutuhan sandang pangan, tempat tinggal kosan, dan kebutuhan lain seperti internet, transportasi, dan pulsa. Selain itu ada juga biaya untuk langganan koran dan belanja buku yang diperhitungkan untuk menetapkan upah layak sebesar Rp 7.963.949 ini.
Sulit tercapai
Beberapa jurnalis di sejumlah media menuturkan, upah layak akan sulit tercapai. Mereka harus bisa bertahan dengan gaji perbulan di kisaran Rp 4 juta hingga 5 juta rupiah.
Ilman Sudarwan, wartawan Bisnis Indonesia menjelaskan, saat ini ia menerima gaji pokok sebesar Rp 3,4 juta dengan tunjangan Rp 1,2 juta tiap bulannya. "Jumlah ini dirasa masih kurang untuk memenuhi sejumlah kebutuhan, khususnya untuk tabungan saya. Saya baru sekitar 4 bulan bekerja di Bisnis Indonesia," ungkapnya.
Dengan upah layak sekitar Rp 7 juta ini, wartawan bisa menjadi lebih idealis dan tidak menerima amplop dari narasumber.
Ia menuturkan, kebutuhannya cukup banyak untuk biaya transportasi dan pulsa. Menurutnya, dengan upah layak sekitar Rp 7 juta ini, wartawan bisa menjadi lebih idealis dan tidak menerima amplop dari narasumber.
Setyo Aji, wartawan CNN Indonesia mengungkapkan, dalam sebulan, gaji pokoknya kisaran Rp 4 juta. Ia baru dua bulan bekerja di CNN Indonesia. "Pengeluaran dalam sebulan sekitar Rp 2 juta hingga Rp 3 juta untuk makan, transportasi, serta paket internet," ungkapnya.
Ia belum tahu, apakah upah layak yang ditetapkan AJI Jakarta bisa terpenuhi di tempatnya bekerja. Namun, ia merasa masih tercukupi dengan kisaran gaji tersebut.
Rivi Satrianegara, wartawan CNBC Indonesia menuturkan, total upah sebulan bisa mencapai Rp 5 juta. Sehari-harinya ia bekerja sekitar 10 jam dalam sehari. "Kalau menurut saya, jika ada media yang memberikan upah sekitar Rp 3,4 juta hingga Rp 4 juta sih masih belum layak rasanya. Karena rata-rata jurnalis itu lulusan S1 dan beban kerjanya cukup berat," ungkap Rivi.
Ihya Ulum, wartawan Katadata.co.id menerangkan, dalam sebulan ia bisa mendapatkan sekitar Rp 4 juta dari upah bekerjanya di kantor. Pengeluaran terbesarnya yaitu untuk uang kos sekitar Rp 1,3 juta per bulan. "Memang harus berhemat dengan gaji segitu. Menurut pendapat saya, jika jurnalis mendapat upah layak, mereka bisa bekerja secara profesional dan produk jurnalistik yang dihasilkan tentu bisa lebih baik," tuturnya. (DD05)