Optimisme Ekspor di Tengah Maraknya Isu Bilateral
Minyak kelapa sawit mentah masih menjadi komoditas utama ekspor pada 2018. Hal itu diyakini karena adanya peningkatan produksi dan ekspor. Namun, kelapa sawit menghadapi tantangan dari maraknya isu bilateral di negara utama tujuan ekspor.
Tantangan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) datang dari negara tujuan utama, seperti Uni Eropa. Sebelumnya, pada Maret 2017, Parlemen Eropa mengaitkan CPO dan produk biodiesel berbasis sawit pada isu seperti deforestasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan pekerja. Laporan itu pun menimbulkan persepsi negatif dan menyulitkan ekspor CPO ke Eropa.
Padahal ekspor Indonesia bertumpu pada komoditas CPO. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sumbangan terbesar ekspor berasal dari lemak dan minyak hewan atau nabati yang merupakan produk CPO, dengan 15,01 persen.
“Ya ada pengaruh sedikit, tetapi lambat sekali. Secara keseluruhan kalau dilihat tidak berdampak pada pertumbuhan CPO. Uni Eropa politiknya memang sangat kuat dan konsisten,” ucap Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Togar Sitanggang, Selasa (16/1), saat ditemui di Kantor GAPKI, Jakarta.
Meski begitu, isu bilateral Uni Eropa itu tidak mendampak secara langsung. Pada 2017, data GAPKI menyebutkan, peningkatan ekspor minyak kelapa sawit cukup signifikan, dari 25,1 ke 31 juta ton. Peningkatan ini merupakan pemulihan, setelah capaian 2015 menurun pada 2016.
Dari jumlah ekspor itu, kontribusi terbanyak berasal dari China, India, dan Uni Eropa. Togar mengatakan, Uni Eropa merupakan salah satu pasar CPO terbesar.
Mereka tinggal pilih, mau mentingin politik apa pengorbanan harga. Kalau lebih milih politik, ujung-ujungnya mereka bisa inflasi
Togar mengatakan, isu tersebut tidak akan menggoyangkan ekspor ke Uni Eropa. Apalagi, harga minyak kelapa sawit dan turunannya, paling murah berada di Indonesia. “Mereka tinggal pilih, mau mentingin politik apa pengorbanan harga. Kalau lebih milih politik, ujung-ujungnya mereka bisa inflasi,” ucap Togar.
Menurut Ketua Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia, Benny Soetrisno, CPO tidak akan mengalami masalah pada 2018. Ia mengatakan, CPO Indonesia memang yang paling murah. Negara lain pun akan mempertimbangkan hal itu.
Namun, untuk memastikan kelancaran ekspor. Benny mengharapkan Kementerian Perdagangan mampu bergerak cepat untuk melobi Uni Eropa. Apalagi, mereka memiliki usaha asuransi dan jasa. “Bisa dibuat perjanjian, saling bertukar keuntungan dengan Uni Eropa. Jangan diam saja,” tegasnya.
Bea cukai
Hal berbeda dilihat oleh pengamat ekonomi Lana Soelistianingsih. Menurutnya isu lingkungan dan kesehatan membuat CPO akan bergerak lambat. Apalagi, setelah kenaikan bea cukai di India.
Di India, penyaluran ekspor CPO dan turunannya dipersulit. India menerapkan kenaikan tarif bea masuk pada Agustus 2017. Jumlah kenaikan tarif bea masuk produk CPO dari 7,5 persen menjadi 15 persen dan tarif bea masuk produk olahan CPO dari 15 persen menjadi 25 persen.
Kenaikan itu untuk melindungi industri sawit di India. Akibat dari kenaikan, Indonesia akan bersaing harga dengan eksportir lain, seperti Malaysia. Padahal, pengenaan tarif tentu berdampak pada harga jual produk yang sebelumnya sudah terbebani bea keluar di dalam negeri.
Melihat kondisi India, Togar tak ambil pusing. Menurunya, kebijakan sawit memang untuk menjaga pasar lokal mereka. Namun, kebijakan itu selalu fleksibel.
Kebijakan itu diberlakukan hanya saat produksi dalam negeri India cukup. Sedangkan bila kekurangan, bea itu akan diturunkan kembali. “Selaku hukum ekonomi, kalau panen tidak bagus ya pasti diturunkan, semudah itu,” kata Togar.
Untuk itu, GAPKI optimistis tahun depan CPO dan turunannya masih akan menjadi penyumbang terbesar ekspor. “Tahun depan masih sama, targetnya terus meningkat. Apalagi, kondisi ekonomi China dan negara lain sedang membaik,” ucap Togar.
Togar mengatakan, pertumbuhan ekonomi China yang mulai bergerak pada 2017 cukup membantu. Untuk itu, ia menargetkan pertumbuhan lebih tinggi pada tahun ini. Hal itu dikarenakan China sebagai negara tujuan utama diperkirakan mencapai pertumbuhan ekonomi 6,8-7 persen.
Keyakinan pertumbuhan ekspor sawit juga dikarenakan produksi yang meningkat. Pada 2017, produksi meningkat 17 persen, dari 34,5 ke 42 juta ton. Menurut Togar, tahun ini diperkirakan produksi meningkat 10-15 persen karena curah hujan yang masih tinggi.
Sebelumnya, kemarau panjang sempat mengakibatkan produksi pada 2016 mengalami penurunan. “Tetapi 2017 sudah pemulihan. Dan 2018 akan lebih tinggi lagi dilihat dari curah hujan,” ucap Togar.
Dampak kebijakan
Secara umum CPO memang tidak terganggu kebijakan. Akan tetapi, biodiesel, produk olahan CPO mengalami penurunan dalam ekspor. Penurunannya pun sangat signifikan, dari 370.000 ton menjadi 160.000 ton.
Hal itu diakui Togar karena isu proteksionisme Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Sejak awal 2017, otomatis ekspor menuju AS terkait biodiesel dihentikan.
Selain biodiesel, batubara yang merupakan produk pertambangan juga mengalami penurunan ekspor. Pada 2017, jumlah ekspor 364 juta ton, lebih rendah 2 juta ton dari 2016.
Padahal sektor pertambangan merupakan salah satu penyumbang terbesar ekspor dengan 24,3 miliar dollar AS atau 14,39 persen dari total ekspor. Pertambangan mengalami kenaikan signifikan, 33,71 persen dari 2016.
Ternyata, hal itu dikarenakan dampak kebijakan pemerintah China. Mereka memroyeksikan pengurangan batubara sejumlah 74 juta ton sampai pada 2019. China berencana mengalihkan penggunaan ke gas alam.
Direktur Eksektuf Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan, kebijakan itu memang cukup berpengaruh pada pertumbuhan ekspor. Namun, bila dilihat, ekspor cenderung stagnan.
Hendra menambahkan, yang bisa dilakukan adalah mencari pasar lain. Seperti saat ini, ekspor yang cukup besar datang dari Vietnam. “Mereka sedang ingin membuat proyek listrik besar-besaran, seperti Indonesia dengan proyek 35.000 Mega Watt,” tuturnya.
Bahkan, menurut Hendra, pengusaha Vietnam sudah datang ke kantor APBI. Kedatangan tersebut untuk memastikan, pasokan batubara mencukupi proyek listriknya.
Meskipun di tengah maraknya isu bilateral negara tujuan ekspor. Lana mengatakan, pertumbuhan ekspor akan mencapai 10-12 persen tahun ini. Pertumbuhan itu tidak akan sebesar 2017, saat ekspor naik 16,22 persen dari tahun sebelumnya.
Penyebab pertumbuhan itu diindikasi karena kenaikan harga minyak mentah dunia. Pada Desember 2017, harga minyak dunia naik dari 59,34 dollar AS per barel ke 60,90 dollar AS per barel. "Kenaikan minyak mentah akan memengaruhi kenaikan harga komoditas juga," ucap Lana. (DD06)