JAKARTA, KOMPAS — Pusat kesehatan masyarakat sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan primer memikul beban yang banyak. Selain menjadi pelaksana program kesehatan dasar, puskesmas juga menjadi pelaksana pencapaian target standar pelayanan minimal kepala daerah. Namun, kapasitas puskesmas sangat beragam akibat tidak meratanya sumber daya.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ridwan Thaha, Senin (15/1), mengatakan, banyak program kesehatan dibebankan kepada puskesmas. Sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, puskesmas juga harus mencapai target indikator Kapitasi Berbasis Komitmen. Ketika Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) digulirkan Kementerian Kesehatan, petugas puskesmas pun dipacu untuk turun aktif ke masyarakat.
Banyak program kesehatan dibebankan kepada puskesmas.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas, tenaga di puskesmas minimal terdiri dari dokter atau dokter layanan primer, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, ahli teknologi laboratorium medik, tenaga gizi, dan tenaga kefarmasian.
Akan tetapi, kenyataannya pada 2016 saja ada 35,5 persen puskesmas dengan dokter melebihi standar dan 24,6 persen puskesmas justru masih kekurangan dokter. Sementara untuk bidan, ada 70,4 persen puskesmas dengan jumlah bidan berlebih dan 20,53 persen masih kekurangan bidan.
Puskesmas Kenjeran di Kota Surabaya, Jawa Timur, contohnya, dalam sehari menangani 100-150 pasien. Mereka dilayani oleh 3 dokter umum, 3 dokter gigi, 8 bidan, dan 5 perawat. Satu dokter bisa menangani hingga 100 pasien per hari. Dari keenam dokter tersebut, 3 orang adalah dokter pegawai negeri sipil dan 3 dokter lainnya tenaga kontrak.
Untuk mengurangi beban, disiapkan dua puskesmas pembantu, yakni di Kelurahan Bulak dan Kelurahan Kedungcowek. Setiap hari ada sekitar 50 pasien yang berobat ke puskesmas pembantu tersebut.
Di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kepala Puskesmas Kedungmundu Turi Setyawati mengatakan, jumlah pasien terus meningkat sejak Jaminan Kesehatan Nasional diimplementasikan. Dalam sehari, kunjungan pasien 200-250 dari sebelumnya sekitar 150 pasien. Padahal, tenaga kesehatan hanya terdiri dari 6 dokter, 7 perawat, dan 8 bidan. Mereka bertugas di Puskesmas Kedungmundu dan di empat puskesmas pembantu.
”Selain sebagai tenaga medis, mereka merangkap jabatan sebagai staf puskesmas yang kerap rapat ke dinas serta tim penyuluh untuk edukasi keliling,” katanya.
Di Kabupaten Asmat, Papua, masyarakat antusias mendapatkan layanan kesehatan di puskesmas. Namun, tenaga kesehatan di puskesmas masih kurang. Tingginya masalah kesehatan di setiap distrik sulit diatasi jika hanya ada satu dokter atau satu bidan di setiap puskesmas.
Puskesmas di wilayah kerja padat penduduk juga menghadapi kendala. Pasien yang membeludak menyebabkan kunjungan keluarga terkendala. Kepala Satuan Pelayanan Medik Puskesmas Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, Yuli Harida mengatakan, dalam sehari, pasien yang berkunjung bisa mencapai 200 orang, belum termasuk anak balita yang akan diimunisasi.
Bantuan terlambat
Untuk memperkuat kapasitas anggaran puskesmas, pemerintah memberikan bantuan operasional kesehatan (BOK), yakni bantuan biaya operasional non- gaji untuk pelayanan promotif dan preventif, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana (KB), gizi, imunisasi, dan kesehatan lingkungan. Namun, faktanya, dana BOK sering kali terlambat. Di Kota Semarang, hal itu menyebabkan tenaga kesehatan menggunakan uang pribadi untuk kegiatan promotif dan preventif sebelum dana BOK cair.
Sri Lestari, dokter di Puskesmas Bandarharjo, Semarang Utara, mengatakan, hingga kini dana BOK bulan Oktober-Desember belum cair. Puskesmas Bandarharjo mendapatkan dana BOK Rp 486 juta pada 2017 dan akan meningkat menjadi sekitar Rp 592 juta pada 2018.
”Kalau nunggu dana dari dinas kesehatan tak pernah tepat waktu. Solusinya, tenaga kesehatan dan puskesmas harus patungan untuk membiayai kegiatan promotif dan preventif, dan baru diganti saat dana cair,” ujarnya.
Di Kalimantan Tengah, Kepala Puskesmas Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Rustam Effendi mengatakan, dana BOK yang sekitar Rp 400 juta per tahun kadang terlambat turun. (KRN/IDO/SYA/ADH/FLO/DD18)