Perjuangan Orang Mentawai Melawan Keterbatasan demi Pendidikan
Orang Mentawai di Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, sadar bahwa pendidikan adalah jalan agar mereka keluar dari ketertinggalan. Maka orangtua dan anak-anak mereka bekerja sama melawan segala keterbatasan yang ada untuk bisa mengeyam pendidikan.
Jam menunjukkan pukul 06.00 WIB, akhir November lalu saat Martina Sagulu (12) bergegas menyiapkan semua keperluan sekolahnya hari itu. Gadis asal Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, itu satu per satu memasukkan seragam sekolah, buku, dan alat tulis ke ransel berwarna hitam. Tak lupa, Martina menyelipkan sepotong sagu yang telah dibakar untuk sarapan pagi.
Memakai pakaian biasa dan bertelanjang kaki, Martina keluar dari rumah dan langsung menghampiri tiga rekannya, yaitu Alexander Sabelaket (12), Fernando Sagulu (12), dan Xaverius Sagulu (12), yang sudah menunggu. Seperti Martina, ketiga anak itu juga membawa ransel, berpakaian biasa, dan bertelanjang kaki.
Mereka kemudian berjalan beriringan meninggalkan perkampungan yang terletak sekitar 7 kilometer dari Muara Siberut, ibu kota Kecamatan Siberut Selatan itu. Belum 5 meter melangkah, embun di rerumputan jalan setapak selebar 40 sentimeter yang dilewati membasahi kaki hingga betis mereka. Namun, tak ada satu pun yang berhenti. Mereka terus melangkah karena masih ada 3 kilometer lebih lagi menuju sekolah mereka di Dusun Salappak.
Martina yang duduk di kelas V dan ketiga rekannya yang kelas IV bersekolah di Sekolah Dasar Negeri 12 Filial Salappak. Sekitar 3,5 kilometer dari Bekkeiluk. Di Bekkeiluk, sekolah dasar hanya sampai kelas III. Oleh karena itu, jika ingin melanjutkan harus ke Salappak karena di sana ada kelas IV hingga VI.
Perjalan darat selama hampir satu setengah jam memang bukan satu-satunya akses ke Salappak. Mereka sebenarnya bisa menggunakan jalur sungai dengan waktu tempuh yang lebih singkat, sekitar 30 menit. Tapi pertimbangan mengeluarkan uang atau bensin untuk membayar perahu membuat mereka berpikir dua kali.
Maka berjalan kaki jadi pilihan meski harus melewati jalan setapak berembun, licin, bahkan banjir. Sepanjang musim hujan, air Sungai Silaoinan yang melintasi perkampungan mereka meluap. Akibatnya, sekitar 1,5 kilometer sebelum sampai di Salappak, Martina dan rekan-rekannya harus melewati banjir setinggi 70 sentimeter sepanjang 2o meter.
Setiap hari seperti ini. Tidak hanya saat berangkat, tetapi juga pulang masih banjir. Tapi mau bagaimana lagi, kami harus sekolah.
Tanpa memedulikan celana dan sebagian baju yang basah, mereka mengangkat ransel tinggi-tinggi. Setelah itu, mereka berjalan pelan-pelan melewati banjir. Kondisi itu juga yang membuat mereka tidak mengenakan alas kaki saat berangkat. Sepatu mereka titipkan di rumah warga di Salappak.
”Setiap hari seperti ini. Tidak hanya saat berangkat, tetapi juga pulang masih banjir. Tapi mau bagaimana lagi, kami harus sekolah,” kata Martina yang bercita-cita menjadi seorang guru.
Begitu sampai di Salappak, mereka kemudian ke rumah tempat penitipan sepatu. Setelah mencuci muka, mereka mengenakan pakaian dan sepatu kemudian menuju sekolah. Kamis pagi itu, Martina beruntung karena meski Salappak juga dilanda banjir, tidak begitu tinggi sehingga tidak menggenangi sekolah.
”Dua minggu lalu, air sampai masuk ke dalam kelas sehingga kegiatan belajar mengajar diliburkan,” kata Mariani Satoinong (33), salah satu guru honor di SDN 12 Filial Salappak.
”Sekolah uma”
Kabupaten Kepulauan Mentawai jika ditarik garis lurus berada sekitar 200 kilometer dari Padang, ibu kota Sumatera Barat. Kepulauan Mentawai terletak di Samudra Hindia. Kabupaten Kepulauan Mentawai bisa ditempuh menggunakan jalur laut atau udara. Jalur laut menggunakan kapal cepat dengan waktu tempuh 4-5 jam tergantung cuaca atau dengan kapal milik PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP).
Sementara untuk pesawat terbang, bisa dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) dengan jadwal terbatas setiap minggu. Dengan kata lain, jalur laut menjadi pilihan utama bagi siapa saja yang akan ke Mentawai. Jalur laut juga menjadi sarana transportasi utama di pulau ataupun antarpulau.
Mentawai memiliki penduduk lebih dari 80.000 yang tersebar di empat pulau besar, yakni Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri atas 10 kecamatan dengan 43 desa.
Pendidikan lewat sekolah baru menyentuh kawasan pedalaman Mentawai, khususnya Siberut beberapa tahun setelah Mentawai memisahkan diri dari Kabupaten Padang Pariaman pada 1999. Inisiatif mendorong sekolah bagi anak-anak di pedalaman Mentawai juga bukan datang dari pemerintah, melainkan masyarakat sipil.
Koordinator Divisi Pendidikan dan Budaya Yayasan Cintra Mandiri Mentawai (YCMM), lembaga yang mendampingi dan mengadvokasi hak-hak masyarakat Mentawai, Tarida Hernawati mengatakan, pendidikan di pedalaman Mentawai dimulai dari sekolah hutan atau yang saat ini bernama sekolah uma.
Sekolah hutan, seperti namanya, memang berada di perkampungan di pedalaman hutan Mentawai. Sekolah pertama berada di Bekkeiluk, sekitar 3 jam melewati hutan dari lokasi Bekkeiluk saat ini. Sekolah tersebut berdiri pada 2004. Saat ini, sekolah tersebut sudah menjadi bagian dari SD Santai Maria milik Yayasan Prayoga yang berada di Muara Siberut, ibu kota Kecamatan Siberut Selatan.
Menurut Tarida, yang terlibat langsung mendorong sekolah uma di Mentawai bersama YCMM, sejak 2004 hingga saat ini, sudah ada lima sekolah uma di Mentawai. Selain di Bekkeiluk, sekolah uma lainnya berada di Magosi, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, kemudian di Tinambu, Desa Saliguma (Siberut Tengah), Gorotai, Desa Malacan (Siberut Utara), dan Siata Nusa Attabai, Desa Madobak (Siberut Selatan).
Seperti halnya sekolah uma di Bekkiluk yang menjadi bagian dari SD Santa Maria, sekolah uma lain juga menjadi bagian dari sekolah negeri, yakni sekolah uma Magosi ke SD Negeri 12 Filial Magosi, sekolah uma Tinambu dengan SDN 16 Saliguma, dan Attabai dengan SDN 21 Madobak.
Berbagai kendala
Aksesibilitas dengan segala ancamannya menjadi salah satu kendala bagi pendidikan di Mentawai. Kondisi itu diperparah sarana dan prasarana seperti ruang kelas, guru, dan buku yang serba terbatas.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Siberut Selatan Hijon Tasirilotik, tujuh SD termasuk filial, dua SMP, satu SMA dan satu SMK di Siberut Selatan masih kekurangan ruang kelas. Di Dusun Bekkeiluk, misalnya, kegiatan belajar mengajar yang sebelumnya memanfaatkan gereja kini berpindah ke balai pertemuan.
Di pedalaman Siberut Selatan, sekolah rata-rata hanya ada sampai SD. Jika ingin meneruskan ke SMP hingga SMA, harus ke Muara Siberut. Melanjutkan sekolah juga sebenarnya tidak mudah karena artinya orangtua harus mengeluarkan biaya tambahan untuk kos dan kebutuhan lain.
Di tengah berbagai keterbatasan itu, orang Mentawai rupanya menolak mengeluh. Mereka memilih tidak menangisi kondisi yang ada, tapi melawannya. Orangtua terus mendorong anak mereka sekolah dan anak-anak juga tidak kalah antusias.
”Sebagai orangtua, kami sudah menyadari arti pendidikan. Kami sangat mendukung pendidikan anak kami. Berbeda dengan orangtua kami yang dulu tidak mendukung karena belum mengerti. Apalagi saat itu, belum ada SMP dan SMA sehingga harus ke Padang. Belum lagi biaya mahal untuk sekolah, asrama, dan transportasi,” kata Anjelo Sapeae (50), warga Bekkeiluk yang salah satu anaknya mendapat beasiswa dan baru menyelesaikan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Sebagai orangtua, kami menyadari arti pendidikan. Kami sangat mendukung pendidikan anak kami. Berbeda dengan orangtua kami yang dulu tidak mendukung karena belum mengerti.
Menurut Anjelo yang sehari-hari berladang atau sesekali jadi tukang, meski sulit, orangtua di Mentawai mulai tidak memandang biaya demi menyekolahkan anak.
”Setiap bulan harus mengirim uang untuk anak saya yang sekarang masih kuliah di Padang serta tiga lagi yang sekolah di Muara Siberut. Tidak jadi soal, selama mereka juga bersemangat. Saya hanya ingin mereka tidak bernasib sama seperti saya yang hanya sampai SD,” kata Anjelo.
Anjelo sadar bahwa pendidikan adalah jalan bagi Mentawai keluar dari kemiskinan. Sebagai wilayah pemekaran, Mentawai hingga saat ini menjadi satu dari tiga wilayah di Sumatera Barat yang masuk kategori 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) selain Pasaman Barat dan Solok Selatan.
Sejauh ini, perjuangan Anjelo berbuah manis. Anak-anaknya tetap masuk empat besar di sekolah masing-masing. Sama seperti Martina yang sejak kelas I sampai kelas V tetap menempati peringkat pertama di kelasnya.