Pertumbuhan Ekonomi Paling Realistis 5,1 Persen
JAKARTA, KOMPAS – Komite Ekonomi dan Industri Nasional bersama Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia melampaui target Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara 2018 sebesar 5,4 persen. Bahkan, diperkirakan bisa mencapai 5, 7 persen. Namun, hal itu dinilai tidak realistis.
Pada tahun 2017, realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05 persen. Jumlah itu tidak mencapai target APBN yang dipatok 5,1 persen. Sedangkan, pada 2018, target pertumbuhan adalah 5,4 persen. Naik 0,35 persen dari pertumbuhan sebelumnya.
Optimisme ditunjukkan oleh Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arief Budimanta. Pada acara perkumpulan CEO, Rabu (17/1), di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Arief mengatakan, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5, 7 persen dengan peningkatan ekspor dan investasi. Sementara, Darmin optimistis pertumbuhan di atas 5,4 persen.
“Itu terlalu berlebihan optimismenya. Untuk mencapai target 5,4 persen saja susah,” ucap Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira, saat dihubungi Kompas, Rabu (17/1).
Pertumbuhan ekonomi yang paling realistis adalah 5,1 persen, naik 0,5 persen dari 2017. Untuk potensi tertingginya hanya mencapai 5,2 persen
Menurut Indef, pertumbuhan ekonomi yang paling realistis adalah 5,1 persen, naik 0,5 persen dari 2017. Untuk potensi tertingginya hanya mencapai 5,2 persen. Jumlah itu jauh dari target APBN maupun KEIN dan Darmin.
Bhima mengatakan, pertumbuhan 5,1 persen setelah melalui perhitungan perkiraan kenaikan konsumsi rumah tangga 5 persen, investasi 6 persen, dan ekspor 5-7 persen. Tiga pendukung utama pertumbuhan itu masih belum maksimal.
Ekspor
Terutama, kata Bhima, adalah permasalahan net ekspor yang sangat tipis, hanya 0,67 persen. Pada 2017, ekspor naik mencapai 16,22 persen dibanding tahun sebelumnya. Namun, impor juga ikut naik sebesar 15,6 persen.
Meskipun neraca perdagangan surplus 11,84 miliar Dollar AS, tertinggi sejak 2015, pertumbuhan persentase net ekspor yang kecil menjadi perhatian.
“Tidak bisa hanya melihat kenaikan ekspornya atau surplus neraca perdagangan, tetapi harus diperhatikan net ekspornya. Net ekspor tipis memicu pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan. Karena ekspor merupakan penggerak pertumbuhan. Kekhawatirannya 2018 bisa defisit net ekspornya,” ucap Bhima.
Hal berbeda diucapkan Arif. Menurut dia, target pertumbuhan ekonomi bisa tercapai dengan kenaikan ekspor 5,85 persen. Namun, hal itu harus diikuti dengan kenaikan investasi sekitar 6-7 persen.
Sedangkan, menurut Darmin, Indonesia memiliki peluang ekspor lebih tinggi pada tahun ini. Hal itu karena ekonomi dunia yang sedang membaik. “Kita punya kans itu,” ucapnya.
Meski tidak sebesar Thailand dan Malaysia, peranan ekspor sejumlah 20 persen pada produk domestik bruto (PDB) dinilai cukup mengantar Indonesia ke target pertumbuhan.
“Masalahnya apakah kita bisa memanfaatkannya atau tidak? Negara-negara seperti China, Uni Eropa, dan India sedang mengalami pertumbuhan yang baik,” tuturnya.
Geliat ekspor itu terekam pada rilis terbaru Kementerian Perdagangan. Selama 2017, peningkatan kinerja ekspor Indonesia terlihat antara lain ke China naik 41 persen, ke India naik 40,4 persen, dan Spanyol naik 27,4 persen.
Program pemerintah
Untuk mendorong ekspor, Darmin mengatakan, pemerintah akan memprioritaskan industri yang dinilai potensial. Jumlah industri itu kemungkinan hanya empat sampai tujuh. “Untuk industri apa saja, masih dirahasiakan,” ucapnya.
Intinya, industri yang jadi fokus adalah makanan dan minuman, perikanan, baja, dan pertambangan. Darmin mengucapkan, Indonesia tidak memiliki banyak waktu. Untuk itu, dia menawarkan KEIN untuk duduk bersama kementerian terkait.
Kalau melihat data Kemendag, produk potensial nonmigas yang ekspornya tumbuh signifikan adalah besi baja 83,3 persen, bubur kayu 55,2 persen, bahan bakar mineral 42,5 persen, serta karet 42,5 persen.
Dari segi peranan, yang terbesar masih tetap minyak kelapa sawit mentah (CPO). CPO dengan kode terharmonisasi dalam sektor lemak dan minyak hewan atau nabati. Sektor ini berperan 15,01 persen dari total ekspor, dengan jumlah 22,97 miliar dollar AS.
Menurut Darmin, dengan fokus pada beberapa industri unggulan, akan mampu memperbaiki catatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Harapannya pertumbuhan mampu bergerak dari lima persen. “Negara lain saja sudah bisa enam sekian,” kata Darmin.
Tahun politik
Pertumbuhan ekonomi sampai 5,7 persen diperkirakan KEIN karena melihat hadirnya tahun politik. Aktivitas politik dinilai mampu mendorong konsumsi rumah tangga. “Ada kampanye dan Pilkada otomatis mendorong konsumsi,” ucapnya.
Menurut Arif, konsumsi rumah tangga yang menyumbang 56 persen peranan terhadap PDB dapat menyokong pertumbuhan ekonomi. Pada 2017, data BPS, konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,93 persen pada triwulan III. Capaian itu lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,01 persen.
Tahun politik memang mampu meningkatkan pertumbuhan. Akan tetapi, sumbangan untuk pertumbuhan hanya 0,1-0,2 persen. Bila 2017 pertumbuhan 5,05 persen, maka potensi tertinggi 2018 hanyalah 5,25 persen.
Untuk itu, Arif yakin konsumsi rumah tangga dapat kembali bergeliat. Apalagi, tahun ini terdapat dua perhelatan politik besar. Pada Juni 2018 akan dilakukan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 wilayah, meliputi 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Dua bulan setelahnya, tahapan awal pemilihan presiden (pilpres) untuk pencalonan kandidat dimulai.
Menurut Bhima, tahun politik memang mampu meningkatkan pertumbuhan. Akan tetapi, sumbangan untuk pertumbuhan hanya 0,1-0,2 persen. Bila 2017 pertumbuhan 5,05 persen, maka potensi tertinggi 2018 hanyalah 5,25 persen. Itupun dengan syarat pertumbuhan net ekspor dan investasi.
Hal berbeda diucapkan ekonom, Lana Soelistianingsih. Menurut dia, tahun politik tidak akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. ”Investasi pasti ada perbaikan, tetapi tidak bisa dipungkiri investor akan sedikit khawatir menghadapi tahun pemilu,” katanya (Kompas, 3/1). (DD06)