JAKARTA, KOMPAS — Setelah terpilih sebagai anggota Dewan Organisasi Maritim Internasional (IMO), Indonesia harus semakin aktif dalam mengimplementasikan konvensi IMO dan meningkatkan keselamatan pelayaran dan lingkungan. Dengan demikian, keinginan untuk menjadi poros maritim dunia juga akan semakin terwujud.
”Sidang IMO ke-30 akhir tahun lalu telah memilih Indonesia di urutan ke-8 anggota Dewan IMO Kategori C periode 2018-2019. Terpilihnya Indonesia menuntut tanggung jawab yang besar untuk meningkatkan keselamatan maritim dan meyakinkan dunia bahwa kita pantas menjadi poros maritim dunia,” kata Direktur Perkapalan dan Kepelautan Junaidi, yang mewakili Direktur Jenderal Perhubungan Laut, dalam evaluasi sidang IMO ke-30 dan menyiapkan pemilihan anggota Dewan IMO periode 2020-2021.
Junaidi mengatakan, ada tiga hal yang menjadi fokus kerja selama dua tahun ini. Yang pertama, bagaimana Indonesia melindungi lingkungan lautnya dari pengeboran minyak lepas pantai. Kedua, menyiapkan keselamatan di particulary sensitive sea areas (PSSA) di Selat Sunda dan Selat Lombok serta voluntary pilotage service (VPS) layanan kepanduan. Ketiga, menyiapkan keikutsertaan dalam sidang-sidang IMO tahun 2018 agar peran dan kualifikasi Indonesia sebagai anggota dewan semakin meningkat.
Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Hubungan International Dewa Made Satrawan mengatakan, keaktifan Indonesia di IMO akan membuka mata global posisi Indonesia yang sangat strategis. ”Saat ini 70 persen perdagangan diangkut melalui laut. Dari 70 persen ini, yang 75 persen ada di Asia Pasifik dan 40 persennya melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Oleh karena itu, posisi Indonesia sangat penting dalam lalu lintas laut dunia,” kata Dewa.
Dengan memiliki ALKI di wilayahnya, maka Indonesia harus melengkapi alat navigasi dan perambuan yang kuat di alur pelayaran itu. ”Ada 19 aturan internasional yang berlaku di ALKI. Kita harus mengacu standar IMO untuk mengatur keselamatan di sana. Tidak hanya itu, kita juga memanfaatkan standar-standar IMO untuk memperkuat NKRI, konektivitas, infrastruktur transportasi laut, dan daya saing industri serta pelayanan jasa maritim,” kata Dewa.
Dan, tambahnya, semua perbaikan aturan dan pelaksanaan di lapangan yang berdasarkan standar IMO harus dilaporkan kepada IMO. Pelaporan itu bisa dengan intervensi atau dengan informasi tertulis. ”Misalnya, kedatangan kapal-kapal besar yang mulai meningkat frekuensinya di Pelabuhan Tanjung Priok harus dilaporkan. Dengan pelaporan itu, industri dunia akan melihat dan memanfaatkannya,” kata Dewa.
Dia mengatakan, target yang harus dicapai tahun 2018 adalah diterimanya traffic separation scheme (skema jarak antarkapal) dan mandatory ship reporting (keharusan kapal melapor) di Selat Sunda dan Selat Lombok. Selain itu, mewujudkan penetapan PSSA di Gili Trawangan Lombok dan Nusa Penida, Bali, serta meningkatkan voluntary pilotage ships (jasa pemanduan kapal) di Selat Malaka dan Selat Singapura dengan menggunakan pandu Indonesia.
Sementara Utusan Khusus Menteri Perhubungan untuk IMO Laksamana (Purn) Marsetio mengatakan, Indonesia harus membawa masalah ALKI ke IMO. Selama ini Indonesia dikatakan memiliki tiga ALKI. Namun, setelah Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia, ALKI yang berada di perairan perbatasan dengan Timor Leste itu tidak bisa lagi dikatakan milik Indonesia.
”Indonesia memiliki tiga ALKI. ALKI ketiga berada di wilayah Timor Leste dan terbagi tiga, yakni ALKI 3A, 3B, dan 3C. Harus dibahas bagaimana penyelesaiannya,” kata Marsetio.