Becak Menjadi Angkutan Lingkungan karena Kontrak Politik
JAKARTA, KOMPAS — Rencana perubahan becak menjadi angkutan lingkungan diawali dari kontrak politik yang telah ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta 2017. Kini, pengemudi becak berharap keberadaannya dilindungi pemerintah.
Kontrak politik tersebut ditandatangani pihak Anies dengan aktivis yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Urban Poor Consortium (UPC), dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya. Kontrak politik tersebut terkait dengan penataan kampung, pedagang kaki lima, dan keberadaan becak di DKI Jakarta.
Kontrak politik tersebut ditandatangani pihak Anies dengan aktivis yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Urban Poor Consortium (UPC), dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya
Koordinator JRMK Jakarta Eni Rochayati mengatakan, permasalahan mengenai perubahan becak menjadi angkutan lingkungan menjadi salah satu tuntutan dalam kontrak politik yang ditandatangani Anies pada 8 April 2017 di Kampung Muka, Kelurahan Ancol, Jakarta Utara. ”Kontrak politik tersebut mulai ditindaklanjuti sejak Oktober 2017,” kata Eni saat dihubungi di Jakarta, Rabu (17/1).
Eni mengatakan, JRMK mengusulkan becak menjadi angkutan lingkungan karena tidak menyebabkan polusi. Ia menolak stigma negatif pada becak yang menyebabkan kemacetan di DKI Jakarta.
Ia menjelaskan, becak dibutuhkan masyarakat kalangan bawah dan dapat menjangkau permukiman yang padat. Selain itu, becak dapat melayani orang sakit karena pengemudi becak selalu berada di becaknya selama 24 jam. ”Pengemudi yang tinggal di becaknya dapat menjaga permukiman tersebut dari tindak kejahatan,” kata Eni.
Eni menyayangkan keputusan pemerintah yang menangkap pengemudi dan membuang atau menghancurkan becaknya. Menurut Eni, seorang pengemudi becak tidak ingin kehilangan pekerjaannya karena untuk mempertahankan hidup dan menghidupi keluarganya.
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (RCUS) Elisa Sutanudjaja mengatakan, sebagian besar pengemudi becak telah berusia di atas 40 tahun. Mereka tidak dapat mempelajari hal baru untuk mencari nafkah.
Elisa mengatakan, kontrak politik tersebut tidak akan membuat Anies melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2007. Pasal 29 Ayat 2 menyatakan, gubernur dapat mengizinkan kendaraan bermotor/tidak bermotor menjadi sarana angkutan umum.
Sebagai angkutan lingkungan, becak tidak akan keluar dari jalur operasional atau rute yang telah ditetapkan. Secara umum, rute tersebut tidak akan menjangkau jalan protokol atau jalan utama yang menjadi pusat keramaian lalu lintas. ”Kami telah membuat kajian dalam menyusun kontrak politik tersebut dan menggunakan ahli transportasi, tetapi saya tidak dapat menjelaskannya sekarang,” kata Elisa.
Sejak 1997
Usaha perlindungan terhadap pengemudi becak telah diusahakan Urban Poor Consortium (UPC) sejak awal berdiri, yaitu tahun 1997. Koordinator Advokasi UPC Gugun Muhammad mengatakan, kontrak politik hanya sebagai salah satu bagian dari usaha pembelaan agar becak dilindungi di DKI Jakarta.
Gugun mengatakan, pembelaan tersebut didasari atas cara pandang pada becak yang salah. ”Selama ini, pemerintah membela alat transportasi yang menyebabkan ketergantungan dan menimbulkan masalah baru,” katanya.
Ia mencontohkan, ojek daring telah menyebabkan masalah baru di mana orang berlomba-lomba membeli mobil dan motor baru sehingga menambah jumlah kendaraan di DKI Jakarta. Bahkan, sejumlah orang membeli beberapa mobil untuk disewakan kepada orang yang ingin menjadi pengemudi ojek daring.
Gugun mengkritik kebijakan pemerintah terdahulu, di mana mereka selalu menganggap becak sebagai sumber kemacetan. Mereka berusaha menghilangkan becak tanpa memberikan solusi kepada pengemudinya. Bahkan, kebijakan Sutiyoso yang plinplan menumbuhkan permasalahan baru pada pengemudi becak.
Berdasarkan data yang diolah Litbang Kompas, becak mulai dihapuskan di DKI Jakarta sebagai angkutan umum sejak tahun 1970 pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. Usaha penghapusan tersebut berlanjut pada masa kepemimpinan Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, dan Sutiyoso.
Mereka menghapuskan becak karena pengemudi becak merupakan pekerjaan yang tidak manusiawi (eksploitasi manusia atas manusia). Becak dianggap simbol ketertinggalan kota dan salah satu sumber kemacetan, serta pengemudi becak sering tidak menaati peraturan lalu lintas.
Peraturan daerah
Sebagai usaha pemerintah menghapuskan becak di DKI Jakarta, mereka membuat peraturan daerah tentang ketertiban umum. Berdasarkan Perda No 11/1988, per 31 Maret 1990 becak dilarang beroperasi di DKI Jakarta. Selama tahun 1989-1990, sekitar 20.000 becak dimusnahkan dengan cara dibuang ke Teluk Jakarta untuk dijadikan rumpon atau tempat tinggal ikan.
Perda tersebut direvisi menjadi Perda No 8/2007. Peraturan tersebut masih digunakan hingga sekarang. Salah satu isinya menyatakan larangan terhadap becak beroperasi di DKI Jakarta.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Matthew Michele Lenggu, mengatakan, proses penyusunan perda tersebut dilakukan secara sepihak dan tidak melibatkan masyarakat. Padahal, sesuai dengan UU No 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, harus ada aspirasi dari masyarakat.
Matthew mengatakan, pemerintah harus membuat regulasi dan kebijakan baru yang terkait dengan pelarangan becak di DKI Jakarta. Elisa menyetujui pembentukan regulasi baru tersebut yang dapat melindungi pengemudi becak di DKI Jakarta, termasuk syarat-syarat yang harus dipenuhi pengemudi becak.
Peneliti Institut Studi Transportasi, Deddy Herlambang, tidak menyetujui adanya becak sebagai alat transportasi di DKI Jakarta. Ia berpandangan, melihat situasi jalan perkampungan di DKI Jakarta yang sempit akan menyulitkan pengemudi becak mengoperasikan kendaraannya. Keberadaan mereka akan mengurangi ruang bagi pejalan kaki yang akan melintasi jalan yang dilalui.
Dari sisi keadilan, becak tidak dikenai pajak seperti alat transportasi lainnya. ”Mereka sama-sama mendapatkan keuntungan dari bidang transportasi, seharusnya juga diperlakukan sama,” kata Deddy.
Gugun menyetujui jika ada regulasi yang mengatur pajak pada becak. Namun, ia menuntut pelayanan dari pemerintah dalam melindungi pengemudi becak.
Juki (70), pengemudi becak yang ditemui di Jalan Raya Kampung Gusti, Kelurahan Penjagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, senang apabila Anies memberikan izin pada becak dapat beroperasi di permukiman. Ia telah dua kali ditangkap petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP) selama lebih dari 20 tahun ia mengemudikan becak.
Selama ditangkap, ia menganggur dan mencari pinjaman untuk membeli becak lagi. Juki membeli becaknya di Tangerang dengan harga Rp 800.000. Dalam sehari, ia mendapatkan penghasilan Rp 70.000 hingga Rp 100.000. Namun, terkadang ia tidak mendapatkan penumpang. (DD08)