Obat di RS Agats Menipis
Stok obat di Rumah Sakit Agats menipis. Bantuan mulai mengalir ke Asmat. Pemerintah pusat diminta mendampingi pemda terkait tata kelola pemerintahan dan pemanfaatan dana otonomi khusus.
AGATS, KOMPAS — Persediaan obat untuk menangani komplikasi penyakit para pasien campak dan gizi buruk di Rumah Sakit Agats, Kabupaten Asmat, Papua, menipis. Penyakit tersebut antara lain tuberkulosis, malaria, dan radang paru.
Persediaan obat untuk radang paru dan malaria menipis. Bahkan, cairan tuberculin untuk tes tuberkulosis (TB) habis.
”Tanpa tuberculin, kami kesulitan mendeteksi TB pada anak yang terserang gizi buruk dan campak,” ujar Direktur RS Agats Riechard Mirino di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Rabu (17/1).
Kabupaten Asmat dilanda kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk sejak Oktober 2017. Sejauh ini, KLB telah merenggut 67 nyawa anak-anak.
Saat ini, 9 anak penderita gizi buruk dan 13 anak penderita sakit campak dirawat di RS Agats. Lima dari 9 penderita gizi buruk memiliki gejala dan diduga TB. ”Penderita gizi buruk dan campak sulit sembuh jika penyakit komplikasi yang dideritanya tidak ditangani optimal,” kata Riechard.
Dokter spesialis anak dari Markas Besar TNI yang membantu di RS Agats, Rachmanto, mengatakan, kasus gizi buruk dan campak di Asmat berbeda dengan di daerah lain. Mereka juga mengalami komplikasi radang paru, malaria, dan TB. ”Penyembuhan pasien perlu waktu lama dan terapi komprehensif,” kata Rahmanto.
Turun ke kampung
Rabu pukul 08.00 WIT, delapan tim mulai terjun ke 19 distrik di Asmat. Setiap tim terdiri dari 2-3 dokter umum dari Mabes TNI serta 1 tenaga kesehatan dan staf Pemkab Asmat.
”Saya yakin kegiatan pengobatan dan imunisasi di 19 distrik tuntas dalam 10 hari. Warga yang dengan gizi buruk dan campak segera dirujuk ke RS Agats,” kata Bupati Asmat Elisa Kambu.
Di Jakarta, Kepala Bidang Penerangan Umum Pusat Penerangan TNI Kolonel (Inf) Bedali Harefa mengatakan, penanggulangan campak, difteri, dan gizi buruk akan dilaksanakan selama sebulan. Tahap pertama selama 10 hari dilaksanakan Pusat Kesehatan TNI dan Kesehatan Angkatan serta Kemenkes. Tahap kedua dilanjutkan Kesdam XVII/Cendrawasih bekerja sama dengan dinas kesehatan pemda setempat sampai tahap ketiga.
Sementara itu, bantuan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) berupa obat-obatan, multivitamin, bubur instan, biskuit, dan susu seberat 200 kilogram tiba di Agats. Menurut rencana, paket kedua bantuan DKK akan didistribusikan dari Mimika ke Agats, Kamis (18/1).
Sekretaris Daerah Pemkab Asmat Bartolomeus Bokoropces mengapresiasi bantuan pembaca Kompas melalui DKK. Selain itu, bantuan dari sejumlah lembaga, seperti Polda Papua dan PT Freeport Indonesia, juga tiba.
Di Pelabuhan Pomako, Mimika, Rabu malam, 11 ton bantuan untuk Asmat siap dikirim menggunakan Kapal Motor Tatamailau. Bantuan dijadwalkan tiba di Agats, Kamis pagi.
Perwira Seksi Logistik Kodim 1710 Mimika Kapten (Cpl) Markus Helaha mengatakan, bantuan itu berupa susu, makanan bayi, dan makanan orang dewasa siap santap dari Mabes TNI, Kemenkes, serta beberapa pemda setempat. Adapun bantuan obat sudah dikirim menggunakan helikopter pada Rabu pagi.
Sementara itu, jaringan masyarakat diaspora Indonesia berniat membangun tiga sekolah berasrama di Papua, yaitu di Nabire, Merauke, dan Jayapura. Tiga sekolah itu ditargetkan beroperasi pada Juli 2018.
”Kami prihatin dengan yang terjadi di Asmat. Kami baca Kompas soal itu. Terlepas dari berbagai persoalan di Papua, kami memilih membenahi pendidikan,” kata Presiden Indonesian Diaspora Network-Global Herry Utomo, Selasa, di Jakarta.
Perlu pendampingan
Di Jakarta, peneliti Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Pamungkas mengatakan, pemerintah pusat belum mendampingi pemerintah daerah di Papua sejak daerah itu berstatus sebagai daerah otonomi khusus (otsus) pada 2003. Pengawasan penggunaan dana otsus belum optimal.
Menurut Cahyo, peluang penyelewengan terbuka karena pemda di Papua belum memiliki kemampuan tata kelola pemerintahan yang mumpuni. Meski menggunakan sistem pemerintahan modern, para pemimpin masih memosisikan diri sebagai kepala suku. Mereka merasa tidak bertanggung jawab untuk menyejahterakan masyarakat. Anggaran dari pemerintah pun dianggap sebagai milik pribadi. ”Akuntabilitas masih susah didapatkan dari pemda,” ujarnya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono mengatakan, mekanisme pengawasan dana otsus serupa dengan pengawasan APBD, dilakukan DPRD dan inspektorat daerah. Dari pemerintah pusat, pengawasan dilakukan oleh BPK.
Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional 18 Jayapura Kementerian PUPR Ostman Harianto Marbun mengakui, pemerintah belum memiliki infrastruktur jalan darat di Asmat. Pembangunan jalan di Asmat memerlukan biaya besar karena wilayahnya didominasi rawa. (FRN/FLO/JOS/EDN/RYO/SUT)