Sampai tahun 1994, pemilik radio masih dibebani pajak. Pemilik radio wajib melapor dan membayar pajak ke kantor pos. Waktu itu, pajak per radio Rp 3.000. Para pemilik radio harus cermat menyimpan bukti pembayaran pajak karena pemerintah daerah sering kali menurunkan tim ke rumah warga untuk memeriksa kepatuhan membayar pajak.
Pajak radio mulai diberlakukan pada tahun 1965. Bentuk radio yang saat itu berukuran besar memungkinkan petugas dengan mudah mendata siapa saja pemilik radio. Apalagi, kala itu, radio masih menjadi barang mewah. Banyak pemilik rumah yang menempatkan radio di ruang tamu. Selain menjadi pajangan, radio juga menjadi alat informasi dan hiburan seluruh keluarga.
Teknologi terus berkembang. Dari radio yang berukuran besar dan berat, muncul model radio baru, yang dikenal sebagai transistor. Ukurannya jauh lebih kecil, ramping, dan mudah dibawa ke mana-mana. Antena radio yang awalnya tinggi menjadi ramping dan bisa dilipat.
Pernah ada masa ketika orang piknik menenteng radio. Sambil duduk-duduk di taman menggelar tikar, mereka mendengarkan radio.
Pajak radio mulai digugat, dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan. Mereka yang menggugat berpendapat, radio bukan lagi barang mewah. Lagi pula, pengenaan pajak radio tak sesuai dengan program pemerintah untuk mencerdaskan bangsa. Pajak radio juga menimbulkan ketidakadilan. Rakyat di kampung dengan mudah terkena operasi petugas kelurahan, sementara di rumah-rumah warga berpagar tinggi, petugas sulit mendata pemilik radio. Belum lagi biaya untuk membayar petugas, mungkin tak sebanding dengan perolehan pajak radio yang ditargetkan.
Di DKI, DPRD setuju penghapusan pajak radio, Agustus 1994. Namun, secara menyeluruh, pajak radio baru dicabut pada Mei 1998 melalui instruksi menteri dalam negeri kepada para kepala daerah. Tak hanya pajak radio, total ada 73 jenis pajak yang dinyatakan dicabut. Pajak anjing, pajak burung walet, pajak kandang babi, pajak pengumpulan penyu, dan pajak rumput laut pun ikut dihentikan. (RET)