JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan semua partai politik peserta pemilu untuk menjalani verifikasi faktual bersifat final dan mengikat. Setiap upaya untuk menyiasati putusan MK itu, antara lain dengan menyamakan verifikasi faktual sekadar sama dengan administrasi elektronik di dalam sistem infomasi parpol atau sipol, nyata-nyata melanggar konstitusi.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari di dalam diskusi bersama dengan elemen masyarakat sipil, Kamis (18/1) di Jakarta, mengatakan, kewajiban bagi setiap parpol agar diverifikasi faktual itu menjadi inti dari putusan MK. Oleh karena itu, setiap upaya untuk mengabaikan putusan itu sama halnya dengan mengabaikan konstitusi.
”MK sudah memberikan putusan dan itu yang seharusnya dilaksanakan KPU. Tidak ada alasan bagi DPR ataupun KPU mengabaikan putusan itu, sebab hal itu menjadi tafsir konstitusional atas pelaksanaan Pemilu 2019. Apabila putusan itu tidak dijalankan, peserta Pemilu 2019 ilegal atau tidak sesuai konstitusi. Hasil Pemilu 2019 pun menjadi tidak sah,” kata Feri.
Adanya upaya DPR dan KPU untuk menyiasati putusan MK itu dengan hanya menyelenggarakan verifikasi administrasi, antara lain dengan menyamakan proses itu dengan Sipol, tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Sebab Sipol tidak sama dengan verifikasi faktual.
”Sipol itu tidak sama dengan verifikasi faktual. Sipol adalah pencatatan administrasi parpol dalam bentuk elektronik. Sipol hanya mengubah data dalam bentuk manual menjadi elektronik. Adapun verifikasi faktual adalah proses mencocokkan kebenaran antara pernyataan administrasi itu dan kenyataan,” kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, yang juga menjadi pembicara.
Menurut Titi, verifikasi faktual harus dilaksanakan dengan mencocokkan, betul atau tidak setiap parpol peserta pemilu itu memiliki kepengurusan dan kantor di setiap provinsi serta memiliki 75 persen kepengurusan di kabupaten dan 50 persen kepengurusan di kecamatan.
Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya, hal itu dilakukan KPU dengan turun langsung ke lapangan mengecek kondisi kantor dan memastikan kepengurusan parpol itu benar-benar ada.
Kalau hanya menyandarkan data parpol yang dimasukkan ke dalam Sipol, menurut Titi, KPU belum melakukan verifikasi faktual, baru melihat data administrasi semata.
Verifikasi faktual adalah proses mencocokkan kebenaran antara pernyataan administrasi dan kenyataan.
Kendati demikian, ada sejumlah cara yang bisa dilakukan oleh KPU ataupun DPR mengatasi problem biaya dan waktu sehingga verifikasi faktual itu tidak menghambat jadwal pemilu.
”Sejumlah usulan, misalnya dengan memeriksa keanggotaan parpol dengan mengumpulkan mereka ke dalam satu lokasi untuk mencocokkan keanggotaan mereka, sebagaimana pernah dilakukan untuk verifikasi calon perseorangan sebelum UU 10 Tahun 2016, bisa dilakukan,” kata Titi.
Usulan itu, lanjut Titi, tidak mengabaikan putusan MK, tetapi hanya mencari cara yang relatif memungkinkan dalam hal waktu dan pembiayaan. Sebab, pengecekan tetap dilakukan KPU dengan turun langsung ke lapangan.
Mantan anggota KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, KPU harus memiliki keberanian menolak intervensi dari pihak mana pun, termasuk DPR, dalam mengatur teknis verifikasi faktual. Sebab hal itu telah diputuskan MK.