Mereka dibawa dan tiba di Rumah Sakit Agats, ibu kota Asmat, Kamis pukul 13.00 WIT. Kelimanya langsung dirawat di instalasi gawat darurat. Kelima anak itu sangat kurus dan terdapat bintik-bintik hitam di wajah.
Sebelumnya, kasus campak dan gizi buruk ditemukan di delapan distrik (setingkat kecamatan), yakni Swator, Aswi, Akat, Fayit, Pulau Tiga, Kolf Braza, Jetsy, dan Siret. Sebanyak 67 anak balita di antaranya meninggal dunia. ”Dengan bertambahnya 5 pasien, total penderita gizi buruk yang dirawat di RS Agats saat ini ada 14 anak balita, sedangkan penderita campak yang dirawat 9 orang,” kata Direktur RS Agats Riechard Mirino.
Sementara itu, tenaga medis Satuan Tugas Asmat dari Kementerian Kesehatan mulai diterjunkan ke sejumlah kampung yang terserang campak dan gizi buruk, Kamis pagi. Menurut Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kemenkes dr Achmad Yurianto, Kemenkes juga mengirim obat dan vaksin meliputi BCG untuk tuberkulosis, DPT-HB-HIB, serta vaksin campak.
Menurut Achmad, salah satu penyebab gizi buruk di Asmat adalah sanitasi lingkungan yang kurang baik. Banyak warga yang tinggal di rumah panggung tidak memiliki penampungan tinja. Tim medis akan memberikan imunisasi, pengobatan penyakit menular, juga penyuluhan gizi dan kesehatan.
Kapolda Papua Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar yang meninjau Asmat berpendapat, puskesmas keliling bisa menjadi solusi untuk memastikan seluruh warga Asmat mendapat pelayanan kesehatan. ”Kami siap mendukung program pelayanan kesehatan di pedalaman Asmat. Salah satunya menerjunkan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat untuk mengajak warga mengimunisasi anaknya secara lengkap,” tutur Boy.
Polda Papua dan sejumlah badan usaha milik negara serta Badan Amil Zakat Nasional mengirim bantuan berupa makanan, obat-obatan, susu, dan tenaga medis ke Asmat. Kamis, tim dari Keuskupan Agats dipimpin Suster Aloysia Tenaa OSU berangkat ke Distrik Pulau Tiga untuk mengantar bantuan dan melayani anak-anak yang sakit. Mereka akan bertugas selama satu minggu di Kampung Nakai, Atat, As, Au, dan Kapi.
Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito mengatakan, keuskupan bersama Pemkab Asmat memberi perhatian lebih pada proses pendampingan setelah masa tanggap darurat. ”Ada banyak hal yang perlu dibenahi, terutama menanamkan cara hidup sehat dan mengoptimalkan bahan makanan di kampung sebagai bagian dari mengupayakan ketahanan pangan,” katanya.
Tidak berjalan baik
Sistem informasi dan pelaporan masalah kesehatan dari daerah ke Kemenkes tidak berjalan baik. Sering laporan tidak menggambarkan persoalan di lapangan dan tidak dianalisis. Idealnya, jika ada masalah kesehatan terekam dalam pelaporan, segera ditindaklanjuti.
Pembina Wilayah Provinsi Papua di Kemenkes Usman Sumantri dan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Anung Sugihantono mengatakan itu secara terpisah.
Pastor John Djonga, tokoh agama di Papua, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis, mengatakan, kejadian luar biasa campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat bukan satu-satunya tragedi. Sepanjang Mei-Desember 2017, 68 orang di Distrik Saminage, Kabupaten Yahukimo, meninggal akibat gizi buruk. November 2017, 41 bayi di Kabupaten Paniai meninggal karena gizi buruk.
Menurut John, gizi buruk terjadi seiring minimnya ketersediaan makanan pokok. Ribuan pohon sagu dibabat untuk ditanami tanaman lain di antaranya padi dan kelapa sawit.
Peneliti Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cahyo Pamungkas, mengatakan, perubahan fungsi hutan sagu menjadi sawah atau perkebunan kelapa sawit menjauhkan masyarakat dari ekologi dan akar budayanya.
Masyarakat tidak bisa lagi menanam dan memakan sagu. Pembabatan hutan menyebabkan masyarakat tidak bisa berburu. Rusa, misalnya, sudah menghilang dari habitatnya. (FLO/FRN/JOS/HAR/INA/ADH/DD01)