JAKARTA, KOMPAS — Pelegalan becak sebagai angkutan lingkungan dinilai tidak tepat jika dilakukan demi pemenuhan kontrak politik karena hanya menguntungkan segelintir orang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu memikirkan kepentingan masyarakat yang lebih besar dalam membuat kebijakan.
Pada berita Kompas, Kamis (18/1), becak direncanakan menjadi angkutan lingkungan karena kontrak politik Anies Baswedan sebelum menjabat Gubernur DKI Jakarta. Anies menandatangani kontrak politik itu bersama para aktivis dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Urban Poor Consortium (UPC), dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya pada 8 April 2017. Koordinator JRMK Jakarta Eni Rochayati mengatakan, kontrak politik itu ditindaklanjuti mulai Oktober 2017.
Pengamat tata kota Yayat Supriatna menjelaskan, seharusnya suatu kebijakan dikeluarkan dengan alasan obyektif, bukan tuntutan kontrak politik. ”Kalau ini pendekatan pembuatan kebijakan itu berdasarkan kontrak politik atau terkait dengan janji-janji, bisa saja sesuatu yang diharamkan bisa diperbolehkan kembali,” kata Yayat, saat dihubungi, Kamis (18/1).
Kalau ini pendekatan pembuatan kebijakan itu berdasarkan kontrak politik atau terkait dengan janji-janji, bisa saja sesuatu yang diharamkan bisa diperbolehkan kembali.
”Becak menjadi haram secara hukum karena ada peraturan yang melarangnya,” kata Yayat. Pelarangan becak diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, pada Pasal 29 Ayat 1 dan Pasal 62 Ayat 3 dan 4. Dalam perda tersebut, segala perakitan hingga pengoperasian becak, yang ditujukan sebagai angkutan umum, dilarang.
Yayat menambahkan, becak sudah tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Saat ini, masyarakat menginginkan layanan transportasi yang cepat dan murah. Hal itu tidak ditemukan pada becak. Becak masih menggunakan tenaga kayuh dan kecepatannya hanya 10-20 km per jam. ”Di era kecepatan, becak yang dilegalkan sebagai angkutan itu menjadi pertanyaan,” kata Yayat.
Pengamat transportasi dari Institut Studi Transportasi, Dedy Herlambang, menyatakan, apabila nantinya Pemprov DKI Jakarta tetap melegalkan becak, hal itu menjadi tindakan irasional. ”Kebijakan itu bisa dikatakan mengada-ada. Aneh juga. Irasional juga,” kata Dedy. ”Saat ini, transportasi sudah modern. Kita sudah memikirkan integrasi transportasi umum lewat MRT (mass rapid transit) dan LRT (light rail transit). Kenapa kembali ke becak?”
Pada berita Kompas (16/1), Anies menyatakan, penataan becak dilakukan demi memenuhi prinsip keadilan agar Jakarta turut memberikan ruang bagi masyarakat kecil yang masih memerlukan becak untuk transportasi. Ia juga berkata akan mengatur kehadiran becak sehingga tak memperumit lalu lintas Jakarta sekarang.
Namun, di sisi lain, Dedy mempertanyakan tentang pihak mana yang mendapatkan keadilan mengingat becak tidak dikenai pajak. ”Kalau mau ditinjau dari kasus kesetaraan dan keadilan, keadilan yang mana? Justru tidak adil bagi kita yang menggunakan jalan dan bayar pajak,” ujar Dedy.
Saat ini, becak masih beroperasi di Jakarta. Salah satunya di sekitar Pasar Teluk Gong, Penjagalan, Jakarta Utara. Sekitar enam becak berbaris menunggu penumpang di seberang pasar itu. Setiap becak lebarnya sekitar 1,5 meter. Laju becak pun sangat pelan mengingat kendaraan itu masih mengandalkan kayuhan pengemudinya untuk melaju.
Beberapa kali terlihat mobil, truk, dan sepeda motor melambat lajunya ketika melewati jalan di depan Pasar Teluk Gong karena ada becak yang melintas juga di jalan itu. Lebar jalan itu hanya sekitar 3 meter. Becak memakan 1 meter badan jalan. Sementara itu, mobil dan truk berlebar 1,5 meter hingga 2 meter.
Kendaraan-kendaraan bermotor pun membunyikan klaksonnya dengan kencang karena tidak sabar melaju. Namun, pengemudi becak tak mengacuhkan bunyi klakson mengingat kecepatan mereka memang terbatas.
Permintaan dan penawaran
Yayat menyarankan Pemprov DKI Jakarta mempertimbangkan asas permintaan dan penawaran dalam rencananya melegalkan pengoperasian becak. Ia mengkhawatirkan kembalinya para pengusaha dan pengemudi becak dari daerah ke Jakarta karena mereka diberi ruang beroperasi.
”Sekarang ini paling konsumen becak adalah ibu-ibu. Para pengemudi becak mangkal-nya juga di pasar. Seberapa banyak itu mereka butuh jasa becak itu perlu dikaji terlebih dahulu,” kata Yayat.
Pada Kompas (18/1), Yayat meminta pihak Pemprov DKI menengok kembali saat becak menjadi celah urbanisasi baru pada zaman Gubernur Sutiyoso. Saat itu, kebijakan bertujuan mengatasi krisis ekonomi. Namun, tanpa adanya pengawasan dan pengelolaan yang jelas, hal itu justru mengundang juragan dan pengayuh becak datang ke Jakarta.
Secara terpisah, Dedy menyampaikan pendapat yang sama dengan Yayat. Pelegalan becak dapat menghasilkan arus urbanisasi baru dan berpotensi menambah penuh jalanan yang ada.
”Jakarta akan menjadi tempat migrasi baru bagi pengayuh becak. Itu kacau lagi. Kita seharusnya mengurangi kepadatan jalan, tetapi ini malah ditambah dengan pelegalan becak,” kata Dedy.
Kepala Bidang Transportasi dan Angkutan Jalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta Massdes Arouffy mengatakan, saat ini kebijakan tentang pelegalan becak sedang dipersiapkan rumusan teknis pelaksanaannya. Sebelumnya, Anies mengatakan, becak hanya boleh beroperasi di perkampungan (Kompas, 16 Januari 2018).
Tak peduli
Darno (67), pengemudi becak, menyatakan, kebijakan diperbolehkannya mereka beroperasi lagi belum tentu memengaruhi bertambahnya pendapatan mereka. ”Hanya dalam menarik becak itu merasa lebih aman. Soalnya, tidak perlu takut buat digaruk lagi. Tetapi, kalau soal pendapatan, itu belum tentu berpengaruh,” kata Darno.
Darno menambahkan, pikiran seperti itu muncul setelah jumlah pelanggannya menurun sejak kemunculan ojek daring di Jakarta. Sebelum ada ojek daring, ia bisa mengangkut penumpang hingga 20 kali. Jumlah pelanggannya berkurang lebih dari separuhnya saat ini.
”Sekarang, saya bisa dapat 10 tarikan sehari itu sudah sangat beruntung,” ujar Darno. Dalam sehari, ia bisa membawa pulang Rp 50.000-Rp 70.000 ketika sedang banyak pelanggan. Namun, sepanjang siang itu, Darno baru mendapatkan dua penumpang.
Sarwoto (65), pengemudi becak, mengalami hal serupa dengan Darno. Sarwoto hanya bisa memperoleh Rp 50.000-Rp 60.000 paling banyak dalam sehari. Ia tak memedulikan tentang kebijakan mengenai pelegalan becak.
”Kalau penumpangnya juga tidak bertambah. Ya legal atau tidak legal, tidak ada pengaruhnya,” kata Sarwoto. (DD16)