JAKARTA, KOMPAS — Meskipun pemerintah menyatakan tidak lagi menyubsidi harga premium, ternyata sebenarnya tetap ada subsidi yang dinikmati konsumen premium. Hanya, subsidi tersebut tidak lagi dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi dari kantong PT Pertamina.
Rapat dengar pendapat DPR dengan pemerintah dan Pertamina pada Kamis (18/1) memutuskan harga bahan bakar minyak (BBM), termasuk premium, tidak akan naik hingga 31 Maret 2018 meskipun harga minyak dunia terus melonjak. Dengan demikian, sampai tanggal tersebut, Pertamina akan menanggung beban subsidi premium.
Subsidi harus diberikan karena harga keekonomian premium saat ini sudah di atas harga jual premium yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 6.450 per liter. Harga keekonomian premium melonjak seiring dengan naiknya harga minyak global.
Pada awal-awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, harga premium rutin disesuaikan dengan perkembangan harga minyak dunia karena memang sudah tak ada lagi subsidi. Namun, setahun belakangan ini, harga premium tak pernah lagi disesuaikan. Padahal, harga minyak dunia terus meningkat.
”Harga premium dipengaruhi oleh harga minyak mentah dunia. Di sisi lain, kami tidak ingin membiarkan harga premium dibiarkan pada mekanisme ekonomi pasar,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widha Yudha seusai rapat dengar pendapat.
Harga keekonomian premium melonjak seiring dengan naiknya harga minyak global.
Menurut Satya, karena pemerintah tidak mengalokasikan subsidi premium dalam APBN 2018, maka PT Pertamina yang ditugaskan pemerintah untuk menanggung beban tersebut.
”Dalam rapat dengar pendapat, Pertamina memaparkan masih bisa menanggung beban subsidi itu dengan melakukan beberapa efisiensi sehingga pemberian subsidi diharapkan tidak menggerus keuntungan mereka (Pertamina),” ucap Satya.
Menurut Satya, Pertamina telah memaparkan sejumlah skenario keuntungan berdasarkan asumsi rata-rata harga minyak mentah dunia, yakni di angka 50 dollar AS per barrel, 55 dollar AS per barrel, dan 60 dollar AS per barrel. Jika harganya masih berkisar 48-50 dollar AS per barrel, keuntungan Pertamina masih besar.
Akan tetapi, jika harga minyak dunia di atas 50 dollar AS per barrel, keuntungan Pertamina mulai tergerus karena beban subsidi semakin besar.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, sejauh ini pihaknya telah melakukan efisiensi sebagai salah satu strategi agar Pertamina tetap meraup untung signifikan.
”Namun, ini membutuhkan monitoring ketat dan intensif dari legislatif dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,” ujar Elia Massa Manik setelah rapat dengar pendapat.
Sekretaris Jenderal dan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ego Syahrial menambahkan, pihaknya menetapkan harga premium berdasarkan daya beli masyarakat. Menurut dia, semua pihak tidak setuju jika harga premium dinaikkan.
Fokus utama dalam kebijakan harga BBM ini adalah menjaga daya beli masyarakat. ”Namun, jika harga minyak mentah dunia naik secara spektakuler, 100 dollar AS per barrel umpamanya, atau tiba-tiba Pertamina defisit, tentu kami akan bertindak,” lanjut Ego.
Harga minyak mentah dunia jenis WTI pada Kamis bertengger di angka 64 dollar AS per barrel.
Ia menambahkan, jika harga minyak dunia terus meningkat, ada kemungkinan harga premium akan disesuaikan setelah 31 Maret 2018. ”Kami juga akan mempertimbangkan keuangan nasional dan kesiapan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, mengatakan, kenaikan harga minyak mentah dunia menjadi dilema bagi pemerintahan sekarang. Terutama terkait dengan cita-cita pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat.
Ini karena kenaikan harga BBM akan diikuti dengan kenaikan harga lainnya. ”Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah menambah subsidi BBM dengan sosialisasi yang baik kepada masyarakat, mengingat ini tahun politik,” ucap Lana.
Menurut Lana, subsidi BBM sebaiknya bersumber dari APBN. Konsekuensinya, pemerintah dapat memangkas anggaran belanja internal kementerian atau lembaga.
Secara geopolitik global, Lana berpendapat, kemungkinan harga minyak mentah dunia akan turun sangat kecil. ”Ini dipengaruhi oleh kondisi geopolitik. Melihat kebijakan keuangan AS saat ini, kecenderungan harga minyak akan naik tidak terhindarkan,” katanya.
Satya menyebutkan, jika lonjakan harga minyak mentah dunia sudah tidak dapat ditanggung lagi oleh Pertamina, BUMN itu dapat menghadap Komisi VII DPR.
”Kami juga bisa memanggil pemerintah dan Pertamina kalau hal ini terjadi. Paling tidak, untuk menanyakan strategi pemerintah dalam menanggulangi fluktuasi harga minyak itu. Bisa saja nanti subsidi BBM premium diusulkan dalam APBN Perubahan,” tuturnya. (KTN/DD09)