Transformasi Digital Terkendala SDM dan Infrastruktur
JAKARTA, KOMPAS — Impian Indonesia untuk menjadi pemimpin ekonomi digital di Asia Tenggara pada tahun 2020 masih membutuhkan kerja keras dan perjuangan panjang.
Masalah ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur tetap menjadi momok utama bagi perusahaan untuk bertransformasi digital.
Kendati demikian, optimisme bangsa untuk terus bertumbuh dinilai dapat membantu mengatasi permasalahan itu.
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) memperkirakan, saat ini ada 5 juta tenaga kerja yang berkecimpung di bidang teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) (Kompas, 28 Juli 2017).
Sementara itu, dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) berjudul ”Connecting Commerce: Business Confidence in the Digital Environment” tahun 2018, sebanyak 36 persen eksekutif perusahaan di Jakarta percaya masalah terbesar berada pada kekurangan sumber daya manusia (SDM).
Laporan dibuat dengan mewawancarai 2.620 eksekutif senior serta lebih dari 28 pemimpin dan pakar perusahaan di 45 kota seluruh dunia.
Terdapat lima kategori yang menjadi fokus penelitian, yaitu inovasi dan kewirausahaan, lingkungan finansial, pengembangan teknologi baru, sumber daya manusia (SDM), serta infrastruktur TIK.
Editorial Director Asia EIU Charles Ross menyatakan, tantangan terbesar saat ini adalah mendapatkan pekerja dengan keterampilan sesuai kebutuhan.
Berbagai perusahaan melakukan perubahan manajemen akibat disrupsi era digital ini. Perubahan tersebut berdampak pada berubahnya kebutuhan keterampilan.
”Jakarta memiliki permintaan tenaga kerja yang kompetensinya di atas rata-rata global,” ujar Ross, dalam diskusi laporan Connecting Commerce Research: Business Confidence in the Digital Environment di Jakarta, Kamis (18/1). Riset EIU tersebut didanai Telstra, perusahaan telekomunikasi dan teknologi asal Australia.
Dalam laporan itu, 41 persen (rata-rata global 30 persen) eksekutif perusahaan percaya Indonesia membutuhkan tenaga di bidang keamanan digital.
Terdapat empat solusi untuk mengatasi masalah krisis pekerja di bidang digital.
Pertama, pemerintah dapat mempermudah izin tenaga terampil dari luar negeri. Kedua, pemerintah mendorong para tenaga terampil Indonesia yang bekerja di luar negeri untuk kembali ke Tanah Air.
Ketiga, kurikulum pendidikan sejak SMA atau SMK dapat mulai diisi dengan pelajaran tentang keterampilan teknis dan kreatif serta pengodean.
Keempat, pemerintah sebaiknya mendorong perubahan program studi di universitas agar sesuai dengan kebutuhan pasar saat ini.
Perubahan dapat dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan universitas luar negeri yang telah ahli di bidang teknologi.
Ross mengingatkan, solusi pertama berlaku hanya untuk jangka pendek. Solusi tersebut dapat diterapkan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak saat ini.
Namun, Pemerintah Indonesia pada saat yang bersamaan perlu mendorong solusi kedua hingga keempat.
Impor tenaga kerja tidak dapat menjadi solusi utama karena pekerja asing akan terkendala masalah bahasa, budaya, dan biaya.
President Director Telkomtelstra Erik Meijer mengatakan, perusahaan-perusahaan kini memiliki tugas lebih selain harus mencari pekerja yang berkompeten.
Mereka juga harus melatih kembali pekerja yang telah dimiliki agar keterampilannya sesuai kebutuhan.
Tenaga Ahli Menteri Bidang Literasi Digital dan Tata Kelola Internet Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Donny B U menambahkan, kebutuhan keterampilan di dunia digital bergantung pada tingkat kemampuan dan pengalaman.
”Keterampilan di bidang TIK sebenarnya dapat dipakai di mana saja. Sekarang masalah bukan pada jumlahnya, melainkan apakah sesuai dengan kebutuhan pasar,” ujar Donny, saat ditemui terpisah.
Kualitas SDM Indonesia masih rendah. Dalam Global Human Capital Report tahun 2017 oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF), indeks sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan berada di urutan ke-65 dari 130 negara dengan total skor 62,19.
Perusahaan harus melatih kembali pekerja yang telah dimiliki agar keterampilannya sesuai kebutuhan.
Posisi tersebut di bawah negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia di peringkat ke-33 dengan skor 68,29, Thailand peringkat ke-40 dengan skor 66,15, serta Filipina peringkat ke-50 dengan skor 64.36.
Menurut dia, pemerintah kini telah mengganti tujuan negara bagi penerima beasiswa dari Kemkominfo. Sebelumnya, negara tujuan penerima beasiswa adalah Amerika atau Eropa.
Namun, kini negara tujuan berganti menjadi China dan India karena keterampilan pekerja dan produk TI telah teruji dan sesuai permintaan.
Selain masalah ketersediaan SDM, infrastruktur TIK juga masih menjadi kendala bagi perusahaan dalam bertransformasi ke dunia digital. Masih menggunakan laporan yang sama, kondisi infrastruktur Jakarta berada di posisi ke-9 dari 45 kota dunia.
Adapun pemerintah menargetkan pemerataan pita lebar (broadband) ke seluruh wilayah Indonesia diselesaikan pada 2019. Pemerataan akan mendukung kecepatan internet di daerah sehingga mendorong kegiatan perekonomian.
Doddy menyatakan, pemerataan pita lebar lebih menekankan kepada kecepatan internet, bukan kepada penjaminan akses kepada seluruh masyarakat.
Pemerintah akan mulai menggenjot program peningkatan literasi digital dan bisnis digital setelah infrastruktur merata untuk membentuk suatu ekosistem digital.
”Impian Indonesia sebagai pemimpin di industri ekonomi digital diharapkan dapat tercapai pada 2020,” kata Donny.
Pemerintah yakin dapat mencapai target itu dalam sisa waktu dua tahun karena telah menghitung potensi tersebut secara nasional, seperti melalui jumlah perusahaan rintisan (start up) serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terus meningkat.
Director Executive Indonesian Competitiveness and Economic Development (ICED) Institute R Ervin AP Widodo, saat dihubungi terpisah, mengatakan, langkah pemerintah untuk mendorong pertumbuhan digital Indonesia sudah berada di jalur yang tepat.
”Pembangunan infrastruktur TIK oleh Kemkominfo kini perlu diimbangi dengan tenaga profesional di bidang digital,” ujar Ervin. SDM yang memadai akan mencegah Indonesia hanya berperan sebagai pasar ekonomi digital global.
Optimisme Indonesia
Laporan dari EIU itu juga menyebutkan, Jakarta berada di peringkat ke-8 dari 45 kota dalam tingkat kepercayaan diri terhadap kapabilitas transformasi digital.
Posisi tersebut masih berada di bawah Kota Manila di Filipina yang berada di peringkat ke-6. Posisi pertama hingga ketiga secara berturut-turut adalah Kota Bangalore di India, San Francisco di Amerika Serika, dan Mumbai di India.
”Percaya diri penting untuk perubahan dan mendorong pembuat kebijakan membuat keputusan,” kata Ross. Optimisme Jakarta terlihat dari banyaknya inovasi dan jumlah perusahaan rintisan yang tumbuh secara signifikan.
Meijer menambahkan, peningkatan optimisme terlihat dari riset sebelumnya yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-11 pada tahun lalu.
Walaupun Indonesia masih memiliki banyak hal yang perlu dibenahi, optimisme itu menunjukkan kesiapan Indonesia menuju dunia digital (digital readiness).
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) tahun 2016, dari 256,2 juta penduduk Indonesia, 132,7 juta orang terkoneksi dengan internet. Selain itu, terdapat 92 juta pengguna gawai.
”Indonesia memiliki prospek yang besar untuk menjadi pasar dan pemain dalam ekonomi digital,” kata Ervin.
Pemerintah perlu memperhatikan sektor pendidikan dan infrastruktur dengan lebih saksama agar Indonesia dapat ikut menjadi pemain, bahkan pemimpin dalam industri ekonomi digital. (DD13)