Ketika Perempuan Bercerita tentang Dirinya
Karya sastra dari perempuan pengarang Indonesia masih jarang membicarakan pengalaman pribadi. Mereka terkungkung budaya patriarki yang membatasi pengungkapan ekspresi di ruang publik.
Sepanjang sejarah sastra Indonesia, hanya beberapa nama yang muncul dengan karya bertopik pengalaman pribadi. Mereka antara lain Hamidah yang muncul tahun 1930-an, Nh Dini tahun 1960-an, dan Fira Basuki pada awal 2000-an.
Kondisi tersebut membuat sejumlah perempuan resah. Salah satunya adalah Direktur Eksekutif Comma Books sekaligus pengarang muda Rain Chudori.
Rain yang berusia 23 tahun menggagas proyek penulisan buku bertema self-portrait series. Ia melibatkan tiga perempuan pengarang, yaitu Isyana Artharini, Gratiagusti Chanaya Rompas, dan Theodora Sarah Abigail, untuk memublikasikan pengalaman pribadinya dalam bentuk buku.
”Saya memilih mereka karena memiliki kisah-kisah hidup yang laik untuk dibagikan kepada orang banyak,” ujar Rain seusai peluncuran buku Self Portraits Series di Paviliun 28, Jakarta, Sabtu (20/1).
Isyana menulis buku berjudul I am My Own Home, Gratiagusti menulis buku Familiar Messes, dan Theodora menulis In the Hands of a Mischievos God.
Rain menambahkan, selain ketiga buku itu, Comma Books juga akan meluncurkan sembilan buku selama enam bulan ke depan. Comma Books hendak menggarap program berkepanjangan. Setiap seri terdiri atas 12 buku, tiga di antaranya adalah self portrait series untuk perempuan penulis.
”Kami percaya bahwa perempuan membutuhkan tempat untuk mengeksplorasi dan membangun dirinya. Sastra adalah salah satu platform untuk itu,” ujar Rain.
Selain itu, ekspresi personal para penulis juga dikonversi dari tulisan ke bentuk seni instalasi. Tiga ruang di Paviliun 28 diubah menjadi ruang pribadi setiap penulis.
Art Director Comma Books Ray Shabir mengatakan, setiap ruang dirancang sesuai kepribadian penulis. Elemen yang serupa pada tiga ruang itu hanyalah cermin.
Di ruangan Gratiagusti, pencahayaan dibuat temaram. Elemen kayu, poster film, dan tumpukan sampah koran menjadi ciri khas. ”Gratiagusti cenderung dark kepribadiannya. Dia juga berlatar belakang pendidikan sastra era Zaman Gotik,” kata Ray.
Adapun ruangan Isyana memiliki pencahayaan terang. Terdapat tiga meja yang berisi buku, mesin ketik, dan tiket perjalanan. Benda-benda khas yang dimiliki seorang jurnalis.
Sementara itu, ruangan Theodora menampilkan beberapa simbol identitas. Mulai dari foto perempuan Jawa, pakaian adat China, hingga Injil, yang disinari lampu temaram bernuansa merah. Selain itu, ada sangkar burung yang melambangkan jiwa Theodora yang seakan dikungkung norma sosial.
Personal, tetapi tetap politis
Bagi Gratiagusti, menulis merupakan sarana yang tepat untuk memahami diri. Sejak 2015, ia didiagnosis mengidap gangguan bipolar. Ia pun mencoba menelusuri kepribadiannya melalui catatan harian yang biasa ia tuliskan sejak belia.
Dari sejumlah tulisannya itu, Gratiagusti paham bahwa pikirannya kerap berubah-ubah. Dari tulisan-tulisan itu pula, ia menyadari bahwa gejala gangguan bipolar yang ia idap sudah ada jauh sebelum diagnosis dokter ia terima.
Salah satunya dalam artikel berjudul ”Between Facial Wash and Toothpaste”. Gratiagusti menguraikan kebimbangan untuk membersihkan wajah dan menyikat gigi. Ia merasakan sesuatu yang berlubang di hatinya dan tiba-tiba saja tidak ingin melakukan apa-apa.
”Bagi orang kebanyakan, mungkin saya hanya malas, tetapi saya merasakan hal yang melampaui malas ketika enggan melakukan sesuatu,” kata Gratiagusti.
Begitu pula dengan Theodora. Pengarang yang lama tinggal di Amerika Serikat itu mengalami banyak konflik nilai di dalam keluarga.
Theodora menuturkan, meski tinggal di AS, keluarganya yang berdarah Jawa dan China kerap melekatkan stereotip perempuan kepadanya. Ia dilarang mengenakan model pakaian yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial. Ia pun dilarang untuk mengecat rambut.
Berbagai larangan itu, lanjut Theodora, membuatnya kebingungan untuk menentukan identitas. Tidak jarang larangan dari orangtuanya bertentangan dengan keinginan pribadinya.
Oleh karena itu, dalam bukunya, ia menulis sembilan artikel yang mengandung penolakan terhadap norma yang mengungkungnya berekspresi. ”Aku ingin mengatakan kepada semua perempuan bahwa kalian itu boleh menjadi apa pun yang kamu mau tanpa meminta maaf kepada orang lain,” kata Theodora.
Aku ingin mengatakan kepada semua perempuan bahwa kalian itu boleh menjadi apa pun yang kamu mau tanpa meminta maaf kepada orang lain.
Sementara itu, Isyana mengungkapkan kegelisahannya akan makna rumah. Ia tidak bisa menemukan makna rumah ketika memasuki usia dewasa.
Menurut dia, masyarakat Indonesia mengenal konsep rumah sebatas tempat berpulang kepada keluarga atau pasangan. Belum ada konsep rumah bagi orang yang hidup sendiri. Empat tahun hidup sendiri di Belanda mendorongnya mempertanyakan hal tersebut.
”Belum banyak tulisan yang mampu menyodorkan realitas kehidupan perempuan Indonesia saat ini itu seperti apa,” ujar Isyana.
Baginya, semakin banyak perempuan yang menulis ihwal pengalamannya, semakin mudah memahami kesulitan yang dihadapi mereka.
Selain itu, kata Gratiagusti, penyebarluasan pengalaman pribadi perempuan dapat mengikis sifat mudah menghakimi di masyarakat. Hal itu dibutuhkan untuk membangun kehidupan yang lebih toleran.
”Yang personal itu juga politis karena dengan itu kita bisa menggerakkan satu sama lain,” ucap Gratiagusti.
Namun, lanjut Gratiagusti, untuk mewujudkan hal itu, Indonesia masih memiliki tantangan yang berat. Budaya patriarki masih kuat mengakar di dalam masyarakat. Dampaknya, masih ada ketimpangan akses terhadap pendidikan, politik, dan ruang publik bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri.
Perjuangan menggapai tujuan itu pun masih panjang. Langkah-langkah kecil yang konsisten dibutuhkan agar tujuan memajukan perempuan tidak menjadi sekadar angan. (DD01)