Mengenal Kabupaten Kepulauan Meranti Riau, Beranda Indonesia di Selat Malaka
Banyak yang belum tahu, nama Kabupaten Kepulauan ”Meranti” di Provinsi Riau merupakan singkatan dari tiga pulau, yaitu Merbau, Rangsang, dan Tebing Tinggi. Namun, sesungguhnya kabupaten itu memiliki belasan pulau yang berada di perairan Selat Malaka. Berbatasan dengan negara tetangga Malaysia. Ibu kota kabupaten dimaksud adalah Selatpanjang di pulau Tebing Tinggi.
Meranti merupakan kabupaten termuda di Riau. Diresmikan pada 19 Desember 2008 dari pemekaran kabupaten induk, Bengkalis. Pemilihan ibu kota Selatpanjang memang didasarkan sejarah bahwa kota itu sudah lama berkembang menjadi salah satu pusat perdagangan di wilayah yang dekat dengan pantai timur Sumatera.
Akses transportasi menuju Selatpanjang terbilang memadai. Setidaknya terdapat tiga armada kapal cepat yang melayani penumpang dari Pelabuhan Sungai Duku di Pekanbaru. Ongkos tiketnya Rp 160.000 per orang. Hanya saja, akses transportasi menuju beberapa daerah lainnya, terutama di pulau-pulau kecil, di luar Selatpanjang, masih terbatas.
Ada keunikan tersendiri apabila menggunakan kapal cepat dari Pelabuhan Sungai Duku, Pekanbaru, menuju Selatpanjang. Awalnya, penumpang kapal akan dibawa menyusuri Sungai Siak menuju Perawang, kota industri kertas PT Indah Kiat Pulp and Paper di Kabupaten Siak, selama 45 menit.
Dari Perawang, perjalanan disambung dengan bus, milik armada kapal cepat juga, menuju Pelabuhan Tanjung Buton di Siak. Biasanya lama perjalanan sekitar 1,5 jam. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, jalan menuju Tanjung Buton mengalami kerusakan parah sepanjang 13 kilometer sehingga perjalanan molor menjadi 2 jam atau lebih.
Sesampainya di pelabuhan Tanjung Buton, penumpang akan diangkut dengan kapal cepat kembali, melewati Selat Padang dan Selat Rengit ke Selatpanjang. Kalau kapal tidak singgah-singgah, lama perjalanan sekitar 1 jam. Jadi dari Pekanbaru, penumpang akan memakai dua moda transportasi, yaitu darat dan air sekaligus.
Sebenarnya, akses jalur air melalui Sungai Siak menuju Selatpanjang dapat juga dijalani. Hanya saja, perjalanan harus memutar jauh ke Sungai Pakning di Selat Bengkalis terlebih dahulu. Setelah itu, perjalanan akan tetap melewati perairan Tanjung Buton.
Oleh karena itu, jalur ”gado-gado” darat dan air lebih efektif. Perjalanan dari Pekanbaru ke Selatpanjang dapat dihemat lebih dari 3 jam. Perjalanan dari Pekanbaru juga dapat dilakukan lewat jalan raya sampai ke Pelabuhan Tanjung Buton. Dari Buton tetap harus memakai kapal.
Selat Panjang, yang merupakan ibu kota Kabupaten Meranti, kini semakin berkembang. Wajah kota banyak berubah dibandingkan dengan semasa sebelum menjadi wilayah otonom. Jalan raya di dalam kota sudah banyak diaspal mulus.
Mutu jalan cukup terjaga baik karena tidak ada truk besar bermuatan lebih yang melintas. Jumlah mobil di kota itu juga dapat dihitung. Sebagian besar warga memakai sepeda motor untuk bepergian. Wajar apabila jalan lebih awet.
Dari pinggir Kota Selatpanjang, jelas terlihat Pulau Rangsang di seberang utara. Jaraknya hanya sekitar 1.000 meter yang dipisah selat. Untuk menyeberang, terdapat bus air yang disebut kempang dengan bayaran Rp 5.000 per orang.
Namun, wajah Pulau Rangsang berbanding terbalik dengan Selatpanjang. Sarana dan prasarana jalan dan fasilitas sosial di pulau bependuduk sekitar 30.000 jiwa itu masih sangat buruk.
Jalan poros antardesa di dalam pulau itu sebagian besar berupa semenisasi yang dibangun pada masa pemerintah kabupaten induk Bengkalis di masa lalu. Badan jalan itu sudah banyak rusak berat, putus, terpecah dan berlubang-lubang. Apalagi jalan yang menuju dusun-dusun di sudut pulau, kondisinya jauh lebih parah.
Memang sudah mulai tampak rencana pembangunan jalan di tengah pulau itu. Namun, masih berupa timbunan pasir dan batu kerikil.
Merbau yang Galau
Kondisi Pulau Merbau di sebelah barat laut pulau Tebing Tinggi jauh lebih parah lagi. Untuk dapat masuk ke Pulau Merbau, dari Selatpanjang harus memutar balik ke Pelabuhan Alai dan menyeberangi Selat Rengit dengan menggunakan kempang.
Namun, jalan menuju Pelabuhan Alai sepanjang 4 kilometer kerap terkendala banjir. Pada musim pasang besar, air laut akan masuk ke badan jalan sehingga tidak ada kendaraan yang dapat lewat, kecuali menggunakan perahu. Semestinya pembangunan jalan itu harus ditimbun lebih tinggi.
Pemkab Meranti sudah merencanakan pembangunan jembatan Selat Rengit yang akan menghubungkan Pulau Tebing Tinggi dengan Pulau Merbau dengan biaya Rp 460 miliar. Namun, pembangunan jembatan itu terbengkalai sejak 2014. Padahal, proyek itu sempat berjalan.
Tidak jelas perkembangan pembangunan jembatan itu. Sekarang ini yang terlihat hanyalah tonggak-tonggak beton fondasi jembatan yang berdiri tegak dan yang mangkrak di pinggir selat.
Memasuki Pulau Merbau, suasana suram sudah terasa sejak di dermaga, Desa Semukut. Potret kemiskinan langsung tergambar di depan mata. Kondisi jalan di Pulau Rangsang yang rusak ternyata masih lebih bagus apabila dibandingkan dengan jalan di Pulau Merbau.
Pada jalan poros menuju Desa Batang Meranti, misalnya, kondisi jalan semenisasi sudah hancur, pecah, berlubang, dan menampakkan besi cor berkarat. Apabila tidak hati-hati melintas, ban sepeda motor akan pecah tertusuk besi.
”Saya kapok jalan di Pulau Merbau ini. Pernah saya melintas, ban saya pecah terkena potongan besi cor yang menonjol di jalan. Saya harus mendorong motor selama 1 jam lebih karena bengkel motor hanya ada di pangkal desa,” kata Guruh, warga Selatpanjang.
Kehidupan di Pulau Merbau, menurut Abdul Rasyid Harahap (47), Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Hidayatul Rahmah di Desa Batang Meranti, memang nyaris tidak memiliki masa depan memadai. Pilihan pekerjaan warga adalah menyadap karet, menebang pohon bakau untuk dijadikan arang, atau mencari ikan di laut.
Namun, harga karet tidak pernah bergerak dari angka Rp 5.000 per kilogram dari harga ekonomis di atas Rp 10.000. Apalagi sebagian karet warga sudah tua dan rusak.
Menebang kayu bakau adalah pekerjaan yang dilarang pemerintah karena merusak alam. Namun, pekerjaan itu tetap dilakoni warga secara diam-diam dan kayunya dijual kepada tauke yang memproduksi arang. Buktinya di pulau itu masih ada delapan rumah tungku arang yang masih aktif.
Menjadi nelayan semakin payah karena ikan semakin sulit diperoleh, terutama oleh nelayan kecil. Alhasil, ribuan laki-laki produktif di Pulau Merbau lebih memilih bekerja secara semi-ilegal ke Malaysia untuk menyambung hidup. Semi-ilegal maksudnya, mereka masuk ke negara tetangga menggunakan paspor bebas visa dengan lama kunjungan satu bulan. Setelah waktu kunjungan hampir habis, warga harus keluar dahulu dari Malaysia selama beberapa hari, baru dapat masuk kembali.
Pulau Merbau adalah potret sejati galaunya kehidupan warga di Kabupaten Meranti. Buat warga Merbau, pemerintah mereka yang sesungguhnya adalah Malaysia, bukan Indonesia. Sudah masanya pemerintah pusat atau daerah lebih memperhatikan warga dan kondisi pulau yang serba kekurangan itu.