Peradi Tunggu Jawaban KPK
JAKARTA, KOMPAS — Kelanjutan proses pemeriksaan yang dilakukan Perhimpunan Advokat Indonesia atas dugaan pelanggaran etik mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, masih menunggu jawaban dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Posisi Fredrich yang sedang ditahan KPK tidak memungkinkan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) untuk memeriksa Fredrich tanpa koordinasi dan izin dari KPK.
Surat permintaan pemeriksaan dan koordinasi dengan KPK telah disampaikan pada Rabu pekan ini. Akan tetapi, surat itu hingga sekarang belum ditindaklanjuti KPK.
Peradi berharap KPK segera mengambil sikap atau mengizinkan pemeriksaan etik dilakukan terhadap Fredrich sehingga dugaan ada atau tidaknya pelanggaran etik itu bisa segera diproses oleh Komisi Pengawasan (Komwas) Peradi.
Ketua Dewan Pembina Peradi Otto Hasibuan, Sabtu (20/1), berharap KPK memberikan kesempatan kepada Peradi untuk menuntaskan dugaan pelanggaran etik Fredrich.
”Kami berharap KPK segera memberikan jawaban sebenarnya. Sebab, ini sudah menjadi tanggung jawab Peradi sebagai organisasi induk advokat membina anggotanya, termasuk memeriksa anggota apabila ada dugaan pelanggaran etik. Kalau KPK tidak segera menjawab surat permintaan pemeriksaan terhadap Fredrich itu, tentu proses etiknya belum bisa dimulai,” tutur Otto.
Kami berharap KPK segera memberikan jawaban sebenarnya. Sebab, ini sudah menjadi tanggung jawab Peradi sebagai organisasi induk advokat membina anggotanya, termasuk memeriksa anggota apabila ada dugaan pelanggaran etik.
Otto membandingkan perlakuan yang diberikan KPK terhadap Dewan Etik Mahkamah Konstitusi dalam kasus suap Akil Mochtar, yang ketika itu diberikan izin secara leluasa untuk memeriksa Akil. Pemeriksaan Akil ketika itu dilakukan di Gedung KPK.
Perlakuan serupa sebenarnya bisa diberikan KPK kepada Peradi dalam kasus Fredrich. Pemeriksaan Fredrich oleh Komwas Peradi bisa saja dilakukan di kantor KPK. Bahkan, jika penyidik ingin mendampingi pemeriksaan etik Fredrich, hal itu pun diperkenankan.
”Kami kemarin telah menyerahkan suratnya, tetapi tidak segera dijawab. Padahal, dulu Dewan Etik MK diperbolehkan memeriksa Akil di Gedung KPK. Hal serupa bisa dilakukan terhadap Peradi. KPK juga tidak perlu menghalang-halangi upaya Peradi memeriksa Fredrich dalam dugaan pelanggaran etik,” lanjutnya.
Setelah Fredrich diperiksa oleh Komwas Peradi, selanjutnya akan ada rekomendasi yang diberikan Komwas kepada Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi mengenai ada atau tidak adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan Fredrich.
Berdasarkan rekomendasi itu, DPN Peradi yang menentukan apakah akan meneruskan kasus itu kepada Dewan Kehormatan Peradi yang akan menyidangkan advokat bersangkutan dalam perkara etik.
Otto menegaskan, pemeriksaan etik terhadap Fredrich tidak akan mengganggu penyidikan KPK. Sebab, baik KPK maupun Peradi sama-sama memiliki kewajiban menuntaskan tugasnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, surat permintaan pemeriksaan Fredrich itu telah diterimanya pada Rabu lalu. Namun, surat itu masih harus dikaji terlebih dahulu oleh KPK terkait dengan kepentingan pemeriksaan dan penyidikan yang juga sedang dilakukan terhadap Fredrich.
Selain Fredrich, KPK juga telah memeriksa ajudan Novanto, Reza Pahlevi, Kamis lalu. Reza yang juga anggota polisi itu diperiksa di Gedung KPK setelah melalui koordinasi dengan pihak kepolisian.
”Dari hasil koordinasi dengan Polri, prinsipnya ada kesepahaman bahwa penanganan kasus korupsi tentu perlu didukung, termasuk kebutuhan pemeriksaan sebagai saksi. Kami menghargai proses koordinasi yang sudah dilakukan selama ini,” ucapnya.
Pemeriksaan terhadap Reza itu juga untuk melengkapi informasi dan kronologi peristiwa selama bersama dengan Fredrich dalam peristiwa kecelakaan 16 November 2017. Dalam kecelakaan itu, Reza yang merupakan ajudan Novanto duduk di depan, di samping pengemudi, M Hilman Mattauch.
Fredrich dan Bimanesh Sutarjo, dokter penyakit dalam Rumah Sakit Medika Permata Hijau, menjadi tersangka dalam kasus menghalangi atau merintangi penyidikan terhadap Novanto. Keduanya diduga merekayasa kondisi sehingga Novanto bisa masuk rumah sakit pada 16 November 2017.
Fredrich diduga telah memesan satu lantai kamar perawatan di RS Medika Permata Hijau. Fredrich dan Bimanesh juga diduga memanipulasi rekan medis Novanto sehingga mantan Ketua DPR itu menghindari pemeriksaan atau penyidikan oleh KPK.
Terkait pengenaan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Fredrich, Otto mengatakan, tidak ada aturan yang secara jelas mengatakan bahwa KPK berwenang menangani perkara yang terkait dengan perbuatan korupsi, termasuk menghalang-halangi atau merintangi penyidikan secara langsung ataupun tidak langsung.
Pasal 6 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, KPK berwenang menyelidiki dan menyidik tindak pidana korupsi. Adapun dalam UU Pemberantasan Tipikor ada dua pembagian besar norma, yakni Pasal 2 hingga Pasal 20 membahas soal tipikor, sedangkan Pasal 21 dan seterusnya membahas tentang perbuatan lain yang terkait dengan tipikor, termasuk menghalangi atau merintangi penyidikan (obstruction of justice).
”Dengan membaca kaitan antara UU KPK dan UU Pemberantasan Tipikor, berarti KPK hanya berwenang menangani perkara tipikor karena UU KPK menyebutkan jelas soal itu. Adapun untuk perbuatan lain yang terkait dengan tipikor, termasuk merintangi penyidikan, itu bukan kewenangan KPK untuk menangani sebab kewenangan itu tidak diatur dalam UU KPK,” ujar Otto.
Menurut Otto, undang-undang tidak menerangkan lebih detail penegak hukum mana yang diberi tugas untuk menangani perkara atau perbuatan lain yang terkait dengan tipikor. UU KPK hanya menyebutkan, lembaga antirasuah tersebut menangani perkara tipikor, dan itu tidak termasuk perbuatan lain terkait tipikor.
”Dalam penafsiran kami, yang berhak menangani perkara atau perbuatan lain yang terkait tipikor adalah pihak kepolisian,” ucap Otto.