Pulau Terluar Butuh Lebih Layanan Energi Terbarukan
JAKARTA, KOMPAS – 200 paket lampu tenaga surya hemat energi yang diberikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada Korps Marinir dinilai belum cukup.
Pasukan Tentara Nasional Indonesia butuh lebih banyak lampu untuk menjaga pulau kecil terluar, yang berjumlah 111 pulau.
Pada Jumat (19/1), Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Rida Mulyana menyerahkan 200 paket Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) kepada Komandan Korps Marinir, Mayor Jenderal TNI (Mar) Bambang Suswantono, di Graha Marinir, Markas Komando Korps Marinir, Jakarta Pusat.
Pemberian itu ditujukan untuk membantu pasukan marinir menjaga pulau terluar yang mayoritas belum dialiri listrik.
Dengan LTSHE, sinar matahari bisa diubah melalui panel surya menjadi energi listrik. Listrik kemudian dialirkan ke lampu yang bisa digunakan hingga 60 jam. Satu paket terdiri dari empat buah lampu, kabel, dan panel tenaga surya bertenaga 30 watt.
Bila dikalkulasi, 200 paket LTSHE harus dibagi ke 111 pulau terluar. Berarti, satu pulau maksimal mendapatkan dua paket, atau hanya delapan unit lampu.
“Perlu lebih banyak. Penerangan sangat penting untuk menjaga pulau terluar. Kalau lampu kurang, kontrol dan pengamanannya pasti berkurang,” ucap pengamat militer, Connie Rahakundini, Jumat (19/1).
Penjagaan pulau dengan kondisi gelap akan rentan pada penyusupan. Apalagi, kalau daerah itu berbatasan langsung dengan negara lain.
Menurut Connie, penjagaan pulau dengan kondisi gelap akan rentan pada penyusupan. Apalagi, kalau daerah itu berbatasan langsung dengan negara lain.
Connie mengatakan, jumlah dua paket LTSHE untuk sebuah pulau belum cukup. Apalagi, satu unit itu hanya ada empat lampu.
Penerangan dari delapan lampu tidak akan mampu menyinari sebuah pulau. “Yang terjadi nanti seperti naik mobil (dengan menyalakan lampu), tetapi sepanjang jalan mati lampu,” sebutnya.
Hal sama juga dikhawatirkan oleh Direktur Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa. Menurut dia, lampu harus ada untuk menerangi jalan-jalan strategis dan daerah pesisir.
Tidak hanya untuk menerangi pos penjagaan saja. “Kalau hanya untuk pos penjagaan, peruntukannya sangat terbatas,” katanya.
Direktur Imparsial, Al Araf, mengatakan, lampu merupakan masalah utama pulau terluar. Mengingat, secara geografis, Indonesia adalah negara kepulauan yang berbatasan dengan negara lain.
Untuk itu, sebuah keharusan untuk memastikan pertahanan negara bisa berjalan dengan baik.
Menanggapi sedikitnya jumlah pasokan paket LTSHE, Rida mengatakan, itu hanya permulaan. Kementerian ESDM mungkin akan menambah anggaran lagi untuk menambah paket.
“Sementara ini 200 unit dulu. Kami tahu itu masih sangat kurang. Kita lihat nanti ke depannya,” sebut Rida saat diwawancarai usai acara penyerahan paket LTSHE.
Suku cadang
Menurut Fabby, pemerintah juga perlu memikirkan perawatan dari LTSHE. Cara perawatan dan penggunaan harus diajarkan pada pasukan marinir. Tujuannya, agar pemanfaatan energi ini bisa berkesinambungan.
Karena, bila rusak, akan sangat sulit untuk mencari suku cadang. “Kalau dikirim kan susah. Transportasi pasti terbatas,” tuturnya.
Apalagi, kata Fabby, penjaga pulau kerap dirotasi. Hal itu menyebabkan, tidak ada yang bertanggungjawab secara langsung merawat LTSHE. “Harus jelas siapa yang akan merawat nanti,” ucapnya.
Rida juga mengatakan, LTSHE adalah alat yang sangat simpel dan tahan lama.
“Tinggal dibersihkan saja, agar jangan berdebu. Gampang kok. Misalnya ada yang rusak, kabarin saja kami langsung. Akan kami kirim gantinya,” katanya.
Alternatif bantuan
Menurut Rida, sasaran awal dari program LTSHE adalah rumah tangga. Namun, Kementerian ESDM melihat ada kebutuhan juga dari pasukan marinir di daerah perbatasan.
Untuk itu, Kementerian ESDM ingin membantu mencarikan alternatif untuk pasukan yang menjaga pulau terluar. Kehadiran LTSHE dinilai bisa menggantikan sementara listrik yang belum hadir.
Kementerian ESDM ingin membantu mencarikan alternatif untuk pasukan yang menjaga pulau terluar.
“LTSHE jadi yang terbaik saat ini. Karena kalau listrik sampai di daerah itu butuh 3-5 tahun lagi. Sementara LTSHE dulu,” ucapnya.
Apalagi, ucap Rida, pengoperasian LTSHE sangat mudah. Ketika siang, panel surya hanya perlu diletakkan di luar ruangan. Saat pengisian daya, lampu harus dicolokkan ke kabel yang tersedia.
“Malamnya tinggal dipakai saja. Selain buat lampu, bisa digunakan untuk senter juga, tinggal dicabut,” sebut Rida.
Mayjen Bambang mengatakan, lampu ini akan sangat bermanfaat. Praktisnya penggunaan dapat membantu pasukan di perbatasan dalam menjaga kedaulatan NKRI. Apalagi, pasukannya kerap menghadapi masalah karena keterbatasan listrik di perbatasan.
Pasukan kami biasa berlatih di hutan dan pantai. Sangat kesulitan mencari penerangan di perbatasan.
“Pasukan kami biasa berlatih di hutan dan pantai. Sangat kesulitan mencari penerangan di perbatasan. Selain itu, untuk malam hari jadi ada penerangan,” kata Bambang.
Lampu Tenaga Surya Hemat Energi merupakan program pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan pemerataan listrik ke seluruh Indonesia.
LTSHE merupakan program pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan pemerataan listrik ke seluruh Indonesia.
Tujuan dari program ini untuk menuju 2.519 desa yang masih gelap sejak kemerdekaan Indonesia, 72 tahun lalu.
Program ini diatur dalam Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2017 tentang Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi bagi Masyarakat yang Belum Mendapat Akses Listrik. Pelaksanaan itu diatur melalui Peraturan Menteri ESDM No 33/2017.
Pada 2017, pemerintah menganggarkan dana APBN sebesar Rp 332,8 miliar untuk penyebaran 95.729 paket LTSHE ke enam provinsi. Adapun, tahun ini LTSHE akan ditujukan pada 1.500 desa yang masih belum dialiri listrik. (DD06)