Sektor Industri Perikanan Belum Tergarap Maksimal
JAKARTA, KOMPAS—Kementerian Perindustrian menilai sektor industri perikanan masih belum tergarap maksimal akibat belum terpenuhinya ketersediaan atau stok bahan baku.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto, Jumat (19/1) di Jakarta, menjelaskan saat ini industri pengolahan ikan masih harus ditingkatkan produksinya.
“Untuk pengolahan ikan yang terkait dengan tuna, sarden kaleng dan lain sebagainya diharapkan sampai tahun 2019 ini ada gross yang terus meningkat di atas 13 persen,” tuturnya dalam diskusi media Forum Merdeka Barat 9 dengan tema Kedaulatan Laut dan Industri Perikanan pada Jumat, di Jakarta (19/1).
Panggah mengungkapkan, berdasarkan data Kemenperin, ada 674 unit perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan hasil laut.
Selain itu, Panggah menjelaskan, saat ini pertumbuhan industri pengalengan di Indonesia terancam dari negara Thailand, Malaysia, dan Singapura yang terus mengalami pertumbuhan.
“Pada industri pengolahan, dari sisi investasi sudah tidak terlalu banyak bekerja. Saat ini utilisasinya masih dibawah 50 persen. Kami harap utilisasinya bisa mengalami pertumbuhan secara berkala,” tegas Panggah.
Selain itu, Panggah menjelaskan, ada penurunan produksi di tingkat pabrik surimi yang disebabkan oleh faktor pembatasan cantrang yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Ada penurunan produksi di tingkat pabrik surimi yang disebabkan oleh faktor pembatasan cantrang yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Kebijakan yang dibuat KKP untuk pembatasan cantrang sebenarnya telah tepat, namun harus ada solusi yang harus dipikirkan mengenai ini,” jelasnya.
Berdasarkan data Kompas (4/1), ada 11 pabrik surimi yang tutup karena kesulitan bahan baku. Sebelumnya, pabrik-pabrik surimi mengandalkan pasokan bahan baku dari hasil tangkapan nelayan dengan alat cantrang.
Data Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), nelayan cantrang di pantai utara Jawa—meliputi Tegal, Pekalongan, Batang, Juwono, Rembang, dan Brondong—setiap tahun rata- rata memasok 340.625 ton bahan baku ke 16 pabrik surimi.
Dari bahan baku tersebut, volume produksi surimi yang dihasilkan 81.750 ton dengan nilai penjualan Rp 2,152 triliun per tahun.
Jenis bahan baku untuk proses surimi, antara lain, adalah ikan kurisi, swangi, kapasan, kuniran, cokelatan, dan bloso. Berkisar 80-90 persen produk surimi diekspor.
Dengan adanya perpanjangan masa transisi cantrang, para pelaku industri surimi dapat bernapas sementara untuk mengelola industrinya kembali.
Panggah mengungkapkan, dengan adanya perpanjangan masa transisi cantrang, para pelaku industri surimi dapat bernapas sementara untuk mengelola industrinya kembali.
Menanggapi masalah surimi ini, Dirjen Penguatan Daya Saing KKP Nilanto Perbowo, sebenarnya sudah ada solusi yang ditetapkan KKP untuk masalah ini.
“Sejak awal, para pengusaha telah diberitahu mengenai pembatasan cantrang ini. Kami menawarkan solusi untuk import bahan baku jika industrinya ingin tetap berjalan,” katanya.
Selain itu, Nilanto menjelaskan, ekspor di sektor industri perikanan masih belum maksimal. Ia menjelaskan, salah satu alasannya, pemenuhan bahan baku untuk industri ini masih sulit.
Ekspor di sektor industri perikanan masih belum maksimal. Ia menjelaskan, salah satu alasannya, pemenuhan bahan baku untuk industri ini masih sulit.
“Contohnya dalam industri pengolahan ikan, kapasitas terpasang harus dipenuhi 100 persen untuk memenuhi kebutuhan mesin yang bekerja 24 jam. Padahal, pasokan ikan belum tentu terpenuhi sepanjang waktu, dan sifatnya musiman,” jelasnya.
Meski nilai ekspor perikanan menunjukkan tren meningkat, KKP merevisi target nilai ekspor perikanan. Pada 2017, target nilai ekspor perikanan direvisi dari 7,6 miliar dollar AS menjadi 4,5 miliar dollar AS.
Menurut Pelaksana Tugas Direktur Pemasaran KKP Berny Subkhi, target nilai ekspor perikanan 2018 juga direvisi, dari semula 8,1 miliar dollar AS menjadi 5 miliar dollar AS.
Terkait revisi itu, KKP juga telah berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Moratorium tekan kerugian
Dalam acara ini, Nilanto menuturkan, usaha moratorium kapal eks-asing juga telah menekan potensi kerugian daerah. Ia mencontohkan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Papua yang dulu hanya 1:1.000 dengan keuntungan kapal eks-asing.
Setelah moratorium, keuntungannya berpotensi meningkat Rp1,5 triliun per tahun dengan dipukul mundurnya kapal eks-asing dari lautan Indonesia.
Selain itu, dari usaha moratorium ini, ada peningkatan produksi di 10 pelabuhan basis kapal lokal dari 83 ribu ton pada 2014 menjadi 146 ribu ton pada 2015 atau naik sebesar 76 persen.
Kemudian, meski jumlah kapal yang beroperasi mengalami penurunan pasca-moratorium, namun produksi ikan nasional terus mengalami peningkatan.
Meski jumlah kapal yang beroperasi mengalami penurunan pasca-moratorium, namun produksi ikan nasional terus mengalami peningkatan.
Angka produksi nasional dari 5,7 juta ton pada 2013 meningkat menjadi 6 juta ton pada 2014, dan 6,1 juta ton pada 2015.
Dirut Perum Perikanan Indonesia (Perindo) Risyanto Suanda dari hasil moratorium ini ada tren peningkatan perdagangan ikan yang tercatat.
Pada tahun 2014, ada 1,6 ton perdagangan dengan nilai Rp 28,5 miliar, pada tahun 2017, jumlahnya menjadi 25.000 ton dengan nilai Rp 445 miliar.
“Diharapkan pada tahun 2018, jumlahnya bisa mencapai 50.000 ton dengan nilai Rp 900 miliar, dan tahun 2021 bisa mencapai 250.000 ton dengan nilai Rp 4 triliun,” jelasnya. (DD05)