Kicauan Memicu Kontroversi dan Ancaman Perang
Hari ini, 20 Januari 2018, genap setahun pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kontroversi menjadi bagian yang mewarnai pemerintahannya, baik menyangkut kebijakan luar negeri mapun dalam negeri sendiri.
Hampir semua kasus yang menjadi perdebatan dan yang juga sering meningkat menjadi konflik, termasuk dengan negara lain, justru muncul karena komentar-komentar Trump di Twitter.
Situs media sosial ini menawarkan kesempatan buat Trump untuk memuat pernyataan yang kontroversial tanpa perlu menjelaskan duduk perkaranya seperti pada sebuah artikel media massa.
Trump telah menggunakan Twitter untuk menembakkan ide-idenya, baik cemoohan, tuduhan, pembelaan, kritik, kecaman, maupun sindiran, termasuk hal-hal yang tidak esensial.
Selain untuk melontarkan pernyataan pedas kepada lawan politiknya, Twitter juga telah menjadi platform favorit Trump untuk memublikasikan dekrit.
Namun, selain untuk melontarkan pernyataan pedas kepada lawan politiknya, Twitter juga telah menjadi platform favorit Trump untuk memublikasikan dekrit.
Kicauan atau twit (tweet) Trump tidak hanya untuk menarik perhatian atau memengaruhi publik dan massa pendukungnya, tetapi juga untuk mengendalikan agenda berita di media massa melalui gertakan dan tindakan mengganggu atau pengalihan isu.
Merasa terusik atau terpojok oleh pemberitaan atau ulasan di media, Trump pun berkicau di Twitter untuk meluapkan kemarahan dan kebencian pada media.
Menurut The Independent, sejak masuk Gedung Putih, Trump telah berkicau mencemooh Hillary Clinton, saingannya pada pemilu presiden 2016, sebanyak 83 kali.
Trump berkicau tentang media yang mewartakan ”berita-berita palsu” sebanyak 183 kali dan bersumpah ”Membuat Amerika Besar Lagi” sebanyak 104 kali.
Sebagai presiden menandai tahun pertamanya, Trump telah membukukan sekitar 36.800 twit, menyukai 24 twit, memiliki 6 momen Twitter, dan mengikuti 45 orang, kebanyakan anggota keluarganya, staf seniornya, hotelnya, dan presenter Fox News.
Sejak memasuki Gedung Putih sampai dengan 17 Januari 2018, Trump telah mem-posting 2.601 twit. Dia adalah pengguna aktif Twitter.
Brendan Brown, pengelola Trump Twitter Archive, sebuah situs web yang menghimpun semua twit Presiden Trump, termasuk twit yang telah dihapus, mengatakan, dia telah kehilangan kira-kira 4.000 twit dan itu dihapus Trump sebelum September 2016.
Hampir semua twit Trump mengandung unsur kemarahan dan keagresifan. Sesuatu yang tidak pernah kita lihat dari seorang politikus yang terpilih menjadi presiden AS sebelum dia.
Namun, twit Trump juga sangat efektif. Dia bergabung dengan Twitter pada Maret 2009. Kehadiran Trump di media untuk berkicau tentang apa saja itu telah menyedot perhatian, dan sebenarnya juga orang bisa saja mengabaikannya jika mau.
Ketika Trump menyatakan niatnya mencalonkan diri untuk menjadi presiden AS, kemudian memenangi nominasi Partai Republik dan pemilu presiden AS, sulit bagi orang-orang, terutama pengguna media sosial, untuk mengabaikan kicauan Trump di Twitter.
Media sering dikritik Trump karena terlalu sedikit memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan dan dikerjakannya, kecuali menaruh perhatian pada twitnya.
Trump sering mengatakan, akun Twitternya adalah media paling efektif untuk berhubungan dengan negara, tanpa filter media tradisional yang dia klaim ’sangat tidak dipercaya’.
Umpan Twitter-nya, yang memiliki hampir 47 juta pengikut, adalah jendela tidak hanya untuk pikiran dan jiwanya, tetapi juga jenis pesan yang ingin disampaikannya kepada para pendukung.
Trump sering mengatakan, akun Twitter-nya adalah media paling efektif untuk berhubungan dengan negara, tanpa filter media tradisional yang dia klaim ”sangat tidak dipercaya”.
Gedung Putih juga merasa berkewajiban untuk mengklarifikasi bahwa kicauan Trump juga mewakili pernyataan Presiden dan membawa imprimatur yang sama dengan komentar kantor persnya.
Memicu perang
Bagi Trump, media sosial adalah medan pertempuran dan dia telah menggunakan Twitter sebagai senjata dengan berbagai cara, sebagaimana dilaporkan The Washington Post.
Trump terus menggunakan platform media sosial untuk menyuarakan pandangannya mengenai kebijakan dan urusan dunia sejak pindah ke Gedung Putih.
Pemerintah Pakistan sempat berang terkait kicauan Presiden Trump. Melalui Twitter, Trump menuding Pakistan menipu AS yang telah memberikan bantuan hampir Rp 450 triliun.
”Amerika Serikat dengan bodohnya telah memberi Pakistan lebih dari 33 miliar dollar dalam bentuk bantuan selama 15 tahun ini dan mereka tidak memberikan apa-apa kecuali kebohongan dan penipuan, berpikir para pemimpin kita bodoh”, kicau Trump.
Tudingan itu disampaikan Trump melalui kicauan pertamanya, awal Januari 2018.
”Mereka memberikan tempat persembunyian kepada para teroris yang kita buru di Afghanistan, dengan sedikit bantuan. Tidak lagi!” kata Trump.
Kicauan Trump ditanggapi Pakistan dengan menegaskan bahwa mereka telah membantu ”membinasakan” Al Qaeda. Namun, justru jawaban itu menuai kecaman dan ketidakpercayaan AS.
Kicauan yang tidak kalah panas ialah ketika Trump menanggapi pidato Tahun Baru 2018 Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un yang mengklaim bahwa tombol nuklir berada di mejanya setiap saat.
Trump menulis di Twitter bahwa dirinya memiliki ”tombol nuklir yang lebih kuat” lagi dari yang dimiliki Kim Jong Un. Sebelum dan sesudahnya, Trump dan Jong Un bertukar kecaman dan hinaan.
Uji coba nuklir dan rudal balistik Korut yang juga dibalas dengan latihan militer AS, Jepang, dan Korsel telah memanaskan kawasan sehingga publik mengkhawatirkan pecahnya Perang Dunia III.
Pada akhir November 2017, Trump ikut menyebar sejumlah kicauan berikut video anti-Muslim melalui akun Twitter miliknya, @realDonaldTrump.
Kicauan dan video itu pertama kali diunggah oleh pemimpin kelompok fasis Britain First, yakni Jayda Fransen. Sejumlah tulisan dan video Fransen yang disebar Trump tersebut berisi aksi kekerasan oleh seorang imigran Muslim.
Sejak menduduki kursi nomor satu di Washington, Trump lebih banyak berkoar di Twitter ketimbang menepati janji kampanyenya.
Dalam seratus hari pertama kepresidenannya, Trump mengeluarkan sejumlah kicauan paling kontroversial.
”Kita harus menjaga negara ini dari iblis”, tulisnya pada 20 Januari 2017, tepat pada hari pelantikannya, ihwal perintah larangan masuk bagi warga Muslim dari enam negara Islam.
Kemudian, 27 Januari 2017, Trump meneken peraturan eksekutif tentang ”Muslim Ban”, yang memicu aksi protes penolakan yang luas di AS.
Ketika larangan tersebut digugurkan pengadilan, ia balik menyalak, ”Apa jadinya dengan negara ini jika kita membiarkan orang jahat masuk?”
Masalah pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada awal Desember 2017 juga paling menghebohkan dunia.
Di Palestina dan Israel, pengakuan Trump itu telah menimbulkan pertentangan hebat sehingga belasan orang tewas. Bahkan, sampai saat ini faksi perlawanan di Jalur Gaza sesekali menembakkan roket ke Israel sebagai buntut pengakuan Trump itu.
Kicauan tersebut mewakili hanya sebagian kecil dari kicauan kontroversial lainnya, baik yang menyasar pribadi pemimpin dunia, seperti Paus Fransiskus, Kim Jong Un, Vladimir Putin, Angela Merkel, Xi Jinping, dan Theresa May, serta Wali Kota London Sadiq Khan, maupun yang menyasar negara tertentu.
Kremlin pun menilai kicauan Trump di akun Twitter-nya sebagai pernyataan resmi Washington atau AS sebagai sebuah negara.
Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, bukan tempatnya untuk mengomentari tindakan Trump, tetapi bagaimanapun semua yang dipublikasikan dari akun Twitter resmi Trump dianggap oleh Moskwa sebagai pernyataan resmi Presiden AS.
Di dalam negeri, Trump sempat terlibat perseteruan dengan Senator Bob Corker menyusul sejumlah politikus lain dari Partai Republik yang lebih dulu secara terbuka mengkritisi pernyataan daring dari orang nomor satu di AS itu.
Dalam pernyataan kepada New York Times, awal Oktober lalu, Corker mengatakan, Trump menjalankan kepresidenan seperti reality show, membuat ancaman sembrono terhadap negara lain yang bisa membawa AS ”ke jalur menuju Perang Dunia III”.
Risiko yang diakibatkan tingkah laku Trump itu juga membuat khawatir sejumlah pejabat tinggi AS yang setiap hari berupaya untuk melindungi Sang Presiden dari instingnya sendiri, demikian pernyataan media tersebut.
”Saya tahu betul, setiap hari Gedung Putih dihadapkan pada situasi untuk menangani tingkah lakunya,” kata Corker.
Para ahli mengatakan, Presiden AS berusia 71 tahun itu telah menggunakan Twitter dengan cara yang tidak setara di antara pemimpin politik lainnya.
Komentar itu antara lain datang dari George Lakoff, profesor emeritus dari University of California, Berkeley, dan penulis Do not Think of a Elephant, yang merupakan pakar sains kognitif dan linguistik.
Lakoff menganalisis twit Trump dan menyimpulkan, ”Trump menggunakan media sosial sebagai senjata untuk mengendalikan siklus berita”.
Media sosial, atau lebih khusus akun Twitter Trump, ”digunakan sebagai daya tarik. Twitnya taktis dan bukan substantif.”
Penggunaan Twitter oleh Trump menandai puncak dari dua dekade perubahan dalam cara politisi berkomunikasi dengan publik.
Lakoff bahkan telah menciptakan sebuah template yang dengannya ia menempatkan kicauan-kicauan Trump ke dalam satu dari empat kategori, yaitu pembingkaian (framing), pengalihan kasus atau isu (diversion), penyimpangan arah (deflection), dan peluncuran balon percobaan (trial balloon).
”Dia tidak mengomel, itu strategi. Bahkan, saat dia mengomel, itu juga strategi,” ujar Lakoff.
Richard Perloff, profesor ilmu komunikasi dan politik di Cleveland State University, menyebutkan, penggunaan Twitter oleh Trump menandai puncak dari dua dekade perubahan dalam cara politisi berkomunikasi dengan publik.
Gaya Trump itu atau politisi ”zaman modern” lain, yang oleh generasi milenial disebut ”zaman now”, telah menjadi lebih pribadi, lebih instan, meskipun cara itu sering kali kurang dapat diverifikasi.
”Tidak ada pertanyaan bahwa dia telah mengubah sifat komunikasi dan efektif dalam mencapai pendukungnya,” kata Perloff.
Trump menjadikan media sosial untuk melipatgandakan perhatian publik. Tidak hanya melalui twit yang disampaikannya, tetapi juga karena media arus utama pun menjadikan materi twit Trump sebagai subyek pemberitaan, dan hal itu memberinya legitimasi.
Perloff menuturkan, Trump bukan seorang tweeter yang elegan. Dia sering menghapus komentarnya atau kata yang salah eja, seperti terjadi pada musim semi lalu ketika salah mengetik kata ”covfefe”.
CNN mencatat, kicauan ”covfefe” itu dihapus pada pukul 05.50 waktu setempat.
Keesokan harinya, pukul 06.09 waktu setempat, Trump menghapus twit itu dan menulis, ”Siapa yang bisa mengetahui arti sebenarnya dari ’covfefe’??? Bersantailah!”
Trump sebelumnya menulis kicauan berbunyi, ”Despite the constant negative press covfefe”, yang diduga diunggah sebelum selesai.
Menurut dugaan CNN, Trump tampaknya hendak menulis kata ”coverage”—yang berarti ’walaupun liputan pers terus-menerus negatif’—tetapi salah menulis sehingga muncul kata ”covfefe”.
Perloff mengatakan, sebagian besar pesan Trump itu pendek dan emotif. Pesan-pesan itu bermaksud memengaruhi warganet yang tidak setuju dengannya, tetapi malah tidak terjadi.
Para pendukungnya mengharapkan Trump tak peduli dengan kritik dari orang-orang lain yang membencinya. Biarkan dia terus ”berbicara tentang pikirannya”.
Namun, banyak orang khawatir Trump sering tergesa-gesa mengobarkan atau memperburuk situasi yang sensitif, seperti serangan verbalnya terhadap Wali Kota London Sadiq Khan.
Serangan verbal itu terjadi setelah serangan teror di London, ibu kota Inggris, pada musim panas lalu, yang menewaskan 7 orang dan melukai hampir 50 orang.
Trump justru mengutip komentar Khan bahwa warga London seharusnya tidak perlu khawatir dengan kehadiran polisi yang semakin banyak di kota.
Komentar Trump keluar dari konteks dengan mengatakan, ”Sedikitnya 7 orang tewas dan 48 lainnya terluka dalam serangan teror. Wali Kota London mengatakan, tidak ada alasan untuk khawatir.”
Selain itu, sering kali Trump melepaskan serangan tak lazim dan pribadi terhadap mantan ratu kecantikan terkait masa lalunya yang ”menjijikkan”.
Dia terkadang menargetkan orang-orang yang akibat ucapannya itu para pendukungnya pun akan ikut meramaikannya di media sosial. (AFP/REUTERS/AP)