Ketika ”Kompas” Menjajal Kolam Renang Asian Games 2018
Bagi penggemar olahraga renang, menjajal kolam renang di sejumlah tempat merupakan salah satu bagian dari hobi berenang itu sendiri. Meski wujud fisik kolam renang sering kali sama, setiap kolam renang memiliki ”karakter” masing-masing, baik kondisi airnya maupun kenikmatan saat berenang di dalamnya.
Jangan heran apabila banyak orang, termasuk Kompas, penasaran untuk menjajal kolam renang Stadion Akuatik Gelora Bung Karno (GBK). Apalagi, Presiden Joko Widodo baru meresmikan stadion akuatik itu pada Sabtu (2/12/2017).
Lebih membuat penasaran lagi ketika kolam renang itu nantinya digunakan oleh lebih dari seratus perenang saat Asian Games 2018, Agustus mendatang. Untung saja, tawaran datang dari Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI).
Di sela-sela uji coba stadion akuatik, Desember lalu, PB PRSI menggelar kejuaraan untuk kelas master sebelum dimulainya kejuaraan renang test event tersebut. Salah satu tim pada kelas master adalah tim wartawan yang turun di nomor 4 x 50 meter gaya bebas.
Meski awalnya para wartawan menyatakan akan menurunkan dua tim, pada hari-H ternyata hanya satu tim yang dapat dibentuk. Tim wartawan diperkuat oleh 2 wartawan Kompas, 1 wartawan Viva News, dan 1 wartawan TopSkor.
Nomor master ini diikuti komunitas-komunitas renang, komunitas triatlon, klub-klub renang, bahkan juga para mantan perenang nasional. Jadi, tentu saja kami tidak menargetkan kemenangan!
Dengan persiapan seadanya, kami, para wartawan, hanya punya satu tekad yang sangat sederhana meski tidak mudah, yakni dapat berenang hingga garis akhir.
Termegah di Indonesia
Di antara berbagai fasilitas olahraga di kompleks GBK, stadion akuatik merupakan fasilitas olahraga yang dapat dikatakan dibangun seluruhnya baru. Dengan biaya konstruksi sebesar Rp 274 miliar, di stadion akuatik itu terdapat empat kolam.
Pelajari grafis interaktif Kompas.id terkait kawasan Gelora Bung Karno
Pertama, kolam utama untuk pertandingan dengan ukuran panjang 51,2 meter, lebar 25 meter, dan dalam 3 meter. Kemudian, kolam loncat indah (21 m x 25 m x 5 m), kolam polo air (50 m x 25 m x 3 m) dan kolam pemanasan (20 m x 50 m x 1,4 meter sampai 2 meter). Di stadion ini juga disediakan 8.000 kursi penonton.
Meski belum sempurna, stadion akuatik itu dinilai telah memenuhi persyaratan dari Federasi Renang Internasional (FINA). Stadion ini jelas arena akuatik termegah di Indonesia, dengan kolam utama yang dindingnya dapat digeser untuk kejuaraan renang kolam pendek (25 meter).
Kualitas dan sirkulasi airnya pun dijaga dengan perangkat yang dikontrol komputer, termasuk persentase kaporit yang dimasukkan ke kolam itu untuk menjaga higienitas air di kolam itu.
Sebagai kolam renang standar dunia, diinformasikan bahwa suhu air saat pertandingan selalu dijaga dalam suhu yang konstan, yakni 26 derajat celsius. Kualitas dan sirkulasi airnya pun dijaga dengan perangkat yang dikontrol komputer, termasuk persentase kaporit yang dimasukkan ke kolam itu untuk menjaga higienitas air di kolam itu.
Untuk masuk ke areal kolam, setiap orang harus melepaskan alas kaki di pintu masuk. Meski demikian, ada saja orang yang tidak memedulikan aturan itu.
Berbagai informasi tentang stadion akuatik itu jelas makin membuat penasaran. Maklumlah, Kompas terbiasa berenang di kolam outdoor, dengan kondisi yang sering kali disebut orang mirip ”cendol” karena begitu banyaknya orang di dalam kolam renang itu.
Terasa dingin
Ketika hari-H tiba, kesempatan itu pun datang. Untuk pemanasan, kami mencoba terlebih dahulu kolam loncat indah. Tanpa ragu, Kompas langsung mencebur ke dalam kolam. Di luar dugaan, air di kolam itu sangat dingin dibandingkan dengan air di kolam-kolam renang lain—setidaknya yang pernah digunakan Kompas.
Di luar dugaan, air di kolam itu sangat dingin dibandingkan dengan air di kolam-kolam renang lain.
”Kok dingin sekali ya? Apa segini ya standar internasionalnya? Apa karena indoor ya?” demikian pertanyaan yang juga dilontarkan rekan wartawan lain. ”Sedingin ini pulakah suhu air di kolam utama?” kami pun bertanya-tanya.
Menunggu giliran bertanding ternyata tidak sebentar dan kami tersiksa seolah demam panggung. Apalagi, sebagian dari kami belum sempat sarapan. Arem-arem lontong pun menjadi sumber tenaga kami untuk berlaga.
Seperti diduga, rival-rival perenang master lain telah membekali diri dengan latihan rutin seperti layaknya atlet sesungguhnya. Kami, para wartawan, agak ciut juga. Kami pun menghibur diri dengan kalimat, ”yang penting kita sudah menjajal kolam Asian Games sebelum Asian Games-nya digelar”.
Terasa air mineral
Ketika giliran bertanding tiba, kami terbawa suasana kompetisi. Terlebih lagi, kami disaksikan oleh lebih dari 500 penonton di stadion baru nan megah itu. Keren rasanya ketika memandang ke sekeliling ke arah penonton.
Kami pun jadi sangat bersemangat. Kami menggerak-gerakkan badan seperti halnya atlet. Kemudian, satu demi satu melompat masuk ke kolam dengan semangat besar untuk beradu kecepatan.
Faktanya, setelah lewat setengah jarak kolam, kelelahan mulai melanda. Kecepatan renang kami pun makin melambat. Seorang rekan tim bahkan sempat terhenti di tiga perempat jarak. Dia beristirahat sejenak dengan bergantung di tali pembatas.
”Terus… terus… terus…. Jangan menyerah…. Terus….” Seruan para pendukung kami.
Seruan para penonton ternyata efektif. Perlahan namun pasti, rekan kami itu melanjutkan renangnya hingga akhirnya menyentuh dinding pertanda 50 meter sudah dijalani. Seketika, setelah dia menyentuh dinding itu, tepuk tangan pun membahana dari para penonton.
Kami berempat hanya dapat tertawa terpingkal-pingkal menertawakan diri kami sendiri. Tim kami finis paling akhir. Apa pun, setidaknya kami mendapatkan pengalaman baru, yakni menjajal kolam renang utama GBK.
Suhu air di kolam utama itu ternyata juga hampir sama dinginnya dengan kolam loncat indah, tempat kami pemanasan sebelumnya. Berdasarkan rasa subyektivitas kami, airnya terasa dingin.
Satu hal lain yang mengejutkan adalah airnya ternyata tidak menyakitkan mata. Itu terasa ketika kacamata Kompas sedikit terlepas saat melompat masuk ke air.
Ketika tidak sengaja tercicipi, air di kolam renang itu bahkan terasa mirip air mineral.
Ketika tidak sengaja tercicipi, air di kolam renang itu bahkan terasa mirip air mineral yang setiap hari diminum banyak orang. Rasanya netral tanpa bau dan rasa. Pantas saja kalau stadion akuatik itu menjadi standar dunia...!