Setelah Aksi Rakyat Selesai
Enam tahun lalu, Alireza lulus dari sekolah tinggi manajemen di Teheran. Ternyata, ijazah yang dimilikinya tidak mempermudah untuk mencari pekerjaan. Hingga saat ini ia belum mendapatkan pekerjaan tetap. Lelaki berusia 31 tahun itu pernah menggunakan mobil keluarga dijadikan sebagai taksi tak resmi, taksi tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Ia pernah pula berkeinginan meminjam uang untuk membeli mobil dan dijadikan taksi. Namun, gagasan itu pada saat-saat akhir dibatalkan. Dan, sampai sekarang ia belum tahu caranya bagaimana memenuhi kebutuhan hidup, apalagi mencari pekerjaan sangat susah.
Kisah Alireza, seperti yang diungkapkan Al-Monitor (15 Mei 2017), memberikan gambaran betapa sulitnya mencari pekerjaan di Iran.
Presiden Hassan Rouhani pun mengakui bahwa pengangguran merupakan ”beban berat” bagi pemerintahannya. Jumlah lapangan pekerjaan baru yang diciptakan pemerintah, 630.000 lapangan kerja pada tahun lalu (sepanjang tahun fiskal yang berakhir 20 Maret 2017), tidak mencukupi kebutuhan karena tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Bahkan, tahun ini diperkirakan jumlah pencari kerja mencapai 1,2 juta orang.
Dana Moneter Internasional pun memperkirakan pengangguran akan tetap tinggi pada tahun 2018 ini, yakni 12,5 persen. Kantor berita Tasnim melaporkan, 27 Desember silam, angka pengangguran di kalangan anak muda berusia antara 15 tahun dan 24 tahun mencapai 30,2 persen.
Banyaknya pencari kerja antara lain karena ledakan kelahiran pada tahun 1980-an: 21 juta bayi lahir antara tahun 1980 dan 1988 (jumlah penduduk Iran saat ini sekitar 81 juta jiwa). Hal ini menyebabkan saat perekonomian Iran buruk, angka penggangguran meningkat.
Sulitnya mencari pekerjaan inilah yang antara lain memicu terjadinya protes antipemerintah dan antirezim yang berkuasa pada 28 Desember silam. Nasib seperti Alireza yang tinggal di Teheran juga dialami anak-anak muda di banyak kota di Iran. Demonstrasi dilakukan rakyat kalangan bawah, kalangan berpenghasilan rendah yang sangat merasakan kesulitan ekonomi, apalagi tidak memiliki pekerjaan. Memang, demonstrasi itu hanya berlangsung beberapa hari ibarat kata ”seumur jagung”, tetapi akibat dari demonstrasi itu masih tetap terasa.
”Lebih lama demonstrasi pro-pemerintah dibandingkan yang antipemerintah,” kata Dubes RI untuk Iran, Octovino Alimudin, yang menjelaskan bahwa situasi di Teheran aman, bahkan ketika terjadi demonstrasi pun aman. ”Para pedagang kaki lima juga menggelar dagangannya di dekat arena demonstrasi,” katanya, Jumat malam.
Pesan dari Mashhad
Demonstrasi yang hanya berlangsung beberapa hari memberikan pesan yang kuat pada pemerintah kepada rezim yang berkuasa: bahwa ada persoalan besar yang ditanggung rakyat. Apalagi, demonstrasi itu dimulai tidak di pusat kekuasaan, tetapi di Mashhad, kota yang terletak sekitar 738 kilometer timur laut Teheran, yang lalu menyebar ke beberapa kota lainnya itu. Demonstrasi di Mashhad merupakan sebuah kesaksian, testimoni tentang dalamnya persoalan ekonomi di Iran.
Hampir selalu terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia, rakyat yang jauh dari pusat kekuasaan kurang mendapat perhatian, dan lebih dahulu merasakan kesulitan hidup. Biasanya protes terhadap pemerintah dimulai dari mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Itu juga terjadi di Iran (antara lain harga telur dan harga roti), lalu rencana pemerintah menaikkan harga minyak, sulitnya mencari lapangan kerja, pengangguran, dan dari sini dikapitalisasi menjadi protes politik. Lawan-lawan politik pemerintah memanfaatkan situasi seperti itu untuk kepentingan politik mereka. Begitu yang biasa terjadi. Hal seperti itu pun terjadi di Iran. Di antara demonstran terdapat pendukung ulama konservatif, Ebrahim Raisi, yang kalah dalam Pemilu Presiden Mei 2017.
Apabila melihat Teheran, kota berpenduduk sekitar 12 juta jiwa yang memiliki jaringan transportasi publik lengkap, penduduk di kota lain di Iran yang jauh dari pusat penentu kebijakan wajar kalau merasa kurang diperhatikan. Sejak tahun 1999, misalnya, Teheran memiliki sistem transportasi metro, yang saban hari mengangkut sekitar 2 juta penumpang. Jalan-jalan raya halus. Apartemen di mana-mana. Kebutuhan pokok tersedia.
Meskipun sejak sanksi ekonomi diterapkan (sekarang sudah dicabut) biaya hidup naik, tetapi relatif tetap lebih murah dibandingkan kota-kota lainnya. Pada tahun 2011, Economist Intelligence Unit memperingkatkan Teheran sebagai kota termurah keempat dari 134 kota yang disurvei.
Hari Jumat kemarin, kota Teheran sangat menyenangkan meski musim dingin dan hawa musim dingin sangat terasa. Langit cerah biru. Namun, suhu udara mencapai 1 derajat celsius. Jalan-jalan lengang, tidak banyak kendaraan lalu lalang karena hari Jumat adalah hari libur. Tetapi, hari Sabtu, kehidupan normal. Kemacetan di mana-mana. Pusat-pusat kegiatan perekonomian ramai. Pada malam hari, Teheran gemerlapan. Lampu-lampu berpendaran di mana-mana. Milad Tower, yang menjulang setinggai 435 meter di langit Teheran, juga gemerlap. Menara itu adalah simbol perekonomian Iran: di sana ada International Trade ad Conventional Center, juga ada hotel bintang lima.
Mengapa kesulitan ekonomi menjerat Iran, padahal, negeri berpenduduk sekitar 81 juta jiwa itu kaya akan sumber daya alam: minyak bumi, gas alam, timah hitam, tembaga, bijih besi, bahan baku semen, krom, seng, dan marmer.
Namun, mengapa kesulitan ekonomi menjerat Iran, padahal negeri berpenduduk sekitar 81 juta jiwa itu kaya akan sumber daya alam: minyak bumi, gas alam, timah hitam, tembaga, bijih besi, bahan baku semen, krom, seng, dan marmer. Bahkan, cadangan gas alam Iran adalah terbesar kedua di dunia; cadangan minyak mentah terbesar ketiga di dunia.
Sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh sejumlah pemerintahan dan entitas multinasional, setelah Revolusi Iran 1979, membuat negeri itu kerepotan. Bahkan, PBB pun pada tahun 2006 ikut menjatuhkan sanksi atas Iran setelah Teheran menolak menghentikan program pengayaan uranium. Akibat sanksi ekonomi itu sangat dirasakan rakyat meskipun kini telah dicabut setelah tercapai kesepakatan program nuklir pada 2015. Namun, tidak seperti diharapkan bahwa pencabutan sanksi akan segera menyehatkan perekonomian Iran dan dirasakan rakyat.
Arab Center for Research and Policy Studies (2018) mengungkapkan angka inflasi 17 persen. Itu mencerminkan peningkatan biaya hidup. Sekitar 25 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat juga mengalami kesulitaan keuangan akibat praktik investasi palsu berkedok bisnis dengan skema piramida yang pernah menjamur beberapa waktu lalu. Munculnya tawaran dengan skema piramida ini makin menjamur saat perekonomian sedang melemah. Skema piramida ini menjanjikan mimpi memperoleh kekayaan dalam waktu cepat, tetapi yang terjadi justru sebaliknya: mimpi segera hilang dan kemiskinan yang datang. Dan, pemerintah tak berdaya menghadapi kenyataan itu.
Persoalan bertambah sulit dan pelik karena ada perbedaan pendapat dan sikap antara rezim konversatif, kaum ulama, kelompok garis keras, dan kelompok modernis di bawah pimpinan Presiden Hassan Rouhani. Perbedaan itu menyangkut kebijakan ekonomi, reformasi ekonomi yang dilakukan Rouhani, yang antara lain melakukan kebijakan pengetatan ikat pinggang karena banyak pemborosan dan pemotongan anggaran serta rencana kenaikan harga bahan bakar, harga roti, harga telur, dan sejumlah kebutuhan pokok . Perbedaan kebijakan itu berdampak pada rakyat bawah. Meskipun rencana itu tidak jadi dilaksanakan, sudah telanjur dikapitalisasi menjadi masalah politik dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh lawan-lawan Rouhani dan kelompok modernis.
Rakyat pun melihat bahwa kaum ulama lebih banyak menikmati rezeki negara dibandingkan rakyat biasa. Bahkan, keterlibatan pemimpin agama dalam proses pemerintahan juga kurang disenangi rakyat. Apalagi, ada tuduhan bahwa pemimpin agama terlibat korupsi. Ini membuat rakyat kurang simpati kepada mereka. Hal ini terlihat dari protes dan kecaman rakyat kepada mereka saat demonstrasi. ”Mereka, para pemimpin agama itu, hanya bicara, tetapi menikmati kehidupan mewah,” komentar penduduk kota Teheran.
Pekerjaan rumah
Protes memang tidak berlanjut. Namun, protes yang tak lama itu menarik perhatian masyarakat dunia meskipun Iran memiliki sejarah protes dan demonstrasi karena alasan ekonomi dan kesulitan-kesulitan hidup lainnya karena harga tinggi, inflasi, juga soal pajak. Yang paling fenomenal adalah Demonstrasi 1979 yang berujung pada terjungkalnya Shah Iran.
Tahun 1963-1978 terjadi apa yang disebut sebagai Revolusi Putih yang mengakhiri atau sekurang-kurangnya melemahkan kuasa kaum pemilik tanah; para tuan tanah. Tahun sebelumnya, 1952, terjadi demonstrasi menuntut nasionalisasi sumber-sumber minyak. Tahun 2009, terjadi demonstrasi yang dipicu Gerakan Hijau, yang mayoritas penduduk kota Teheran, karena alasan politik.
Tidak bisa dimungkiri masalah ekonomi juga sebagai akibat pertarungan kelompok antara kelompok modernis-reformis dan konservatif-radikal. Demonstrasi juga terjadi karena tidak setujunya rakyat terhadap kebijakan rezim yang berkuasa, ambisi Teheran untuk terlibat dalam panggung internasional di mana-mana, misalnya di Lebanon, Suriah, dan Yaman. Karena itu, para demonstran pun berteriak, ”Biarkan Suriah urus diri sendiri, pikirkanlah kami.” Ini adalah bukti, meskipun kecil, keterlibatan Teheran di mana-mana ditolak rakyatnya.
Protes itu tetap meninggalkan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah dan rezim yang berkuasa. Teheran sekarang ini seperti berdiri di jalan simpang seperti rezim-rezim otoritarian dan korup di Timur Tengah yang sudah berjatuhan.
Adakah tangan-tangan asing yang mencampuri urusan dalam negeri Iran? Rezim yang berkuasa mengatakan ada. Akan tetapi, persoalan dalam negeri lebih kuat memicu demonstrasi dan protes antipemerintah, antirezim yang berkuasa. Namun, protes sudah selesai. ”Semua sudah selesai,” kata Dubes Octovino.
Akan tetapi, protes itu tetap meninggalkan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah dan rezim yang berkuasa. Teheran sekarang ini seperti berdiri di jalan simpang seperti rezim-rezim otoritarian dan korup di Timur Tengah yang sudah berjatuhan.
Karena itu, Teheran harus segera menyelesaikan masalah ekonomi dengan melakukan reformasi ekonomi yang menguntungkan rakyat sehingga tidak akan bertambah banyak ”alireza-alireza” yang lain, dan reformasi politik. Itulah jalan lunak yang bisa ditempuh Teheran, kecuali mereka mau menempuh jalan keras dengan menindas, melibas dengan kekerasan semua gerakan antipemerintah, antirezim berkuasa. Jalan seperti itulah yang diambil Suriah. Dan, hasilnya? Perang saudara yang menelan begitu banyak korban jiwa.
Trias Kuncahyono dari Teheran, Iran