Mata Uang Digital, Pekerjaan Rumah Bank-bank Sentral
Bank Indonesia kembali menegaskan bahwa mata uang digital bukan alat pembayaran yang sah. Pembayaran dengan mata uang digital jelas tidak dibenarkan. Hanya saja, perdagangan mata uang digital sebagai komoditas berisiko tinggi tidak dapat dicegah. Otoritas hanya dapat mengingatkan spekulatifnya perdagangan mata uang digital.
Di beberapa negara, mata uang digital, seperti bitcoin, dapat untuk membayar sewa rumah. ManageGo, platform sewa daring dari New York, memungkinkan penyewa membayar dengan mata uang digital.
Selain di Amerika, ShopJoy, peritel daring Australia, dan Rakutan, edagang dari Jepang, juga menerima pembayaran melalui mata uang digital.
Di Indonesia, beberapa tempat usaha di Bali—sebelum keluar pernyataan dari Bank— telah menerima pembayaran dengan bitcoin. Konsumen yang membayar menggunakan bitcoin sebagian besar adalah wisatawan asing.
Para petinggi di bank sentral berbagai negara terus berdiskusi untuk mengatasi potensi risiko yang mungkin akan ditimbulkan oleh mata uang digital. Sikap bank sentral juga berbeda mengenai uang digital ini.
Gubernur Bank Sentral Korea Lee Ju-yeol, sebagaimana dikutip Reuters, mengatakan, sejauh ini mata uang digital bukan alat pembayaran yang sah walaupun bank sentral juga sedang menimbang peluang untuk menerbitkan mata uang digital.
Pemerintah Korea bahkan bergerak lebih jauh. Korea mewacanakan penutupan bursa-bursa platform jual beli uang digital. Akibatnya, nilai mata uang digital melorot hingga 20 persen dalam satu malam.
Menurut AFP, Korea menguasai sekitar 20 persen perdagangan bitcoin global. Sekitar 1 juta warga diperkirakan memiliki bitcoin atau mata uang digital lainnya.
Bank sentral China juga bersikap tegas dengan menutup bursa jual beli uang digital sejak September 2017. Penawaran mata uang digital (initial coin offering/ICO) dilarang di China. China khawatir mata uang digital akan membahayakan kesehatan sektor keuangan di negara tersebut.
China khawatir mata uang digital akan membahayakan kesehatan sektor keuangan di negara tersebut.
Walaupun dengan keras melarang dan menutup bursa-bursa uang digital, bank sentral China pun sedang mengkaji untuk mengeluarkan mata uang digitalnya.
Bank sentral Jepang tampak agak longgar dengan mata uang digital. Bank sentral Jepang secara resmi telah mengakui 11 bursa uang digital. Pasar uang digital global pun bergairah. Harga mata uang digital juga naik pesat setelah direstui bank sentral Jepang.
Walau demikian, pekan lalu Gubernur Bank Sentral Jepang Kuroda menyatakan bahwa harga bitcoin sudah tidak masuk akal. Bitcoin diperdagangkan untuk keperluan spekulasi atau investasi bukan sebagai alat pembayaran.
Sementara bank sentral Australia memilih berhati-hati menyikapi perkembangan mata uang digital ini. Menurut pejabat setempat, mata uang digital lebih menarik bagi mereka yang ingin bertransaksi secara ilegal. Akan tetapi, bank sentral Australia tetap meneliti potensi penerbitan mata uang digitalnya.
Kerja sama di antara bank-bank sentral tetap diperlukan menyikapi perkembangan mata uang digital ini. Direktur Bank Sentral Jerman Joachim Wuermeling, seperti dikutip Reuters, menyerukan kerja sama internasional untuk menciptakan regulasi.
Regulasi tersebut hanya efektif jika ada kerja sama internasional mengingat penggunaan mata uang digital sangat menyebar.
Bank-bank sentral masih terus mempelajari tentang kelebihan yang dapat diamanfaatkan dari mata uang digital dan sistemnya, juga mengurangi risiko yang mungkin terjadi dengan berbagai tindakan preventif dan mengeluarkan aturan-aturan.
Teknologi ”blockchain”
Uang digital diterbitkan oleh sebuah sistem yang disebut blockchain. Saat, ini sudah banyak bank sentral yang mempelajari teknologi blockchain karena dapat memperkuat sistem keuangan dan membuat transaksi efisien.
Berbeda dengan sistem tradisional yang memerlukan pihak ketiga, blockchain memangkas perantara ini. Jadi, misalnya, kita membeli buku di sebuah toko buku dan membayarnya dengan kartu kredit atau kartu debet, ada pihak ketiga, yaitu perbankan, penyedia jaringan kartu kredit atau debet yang menjadi perantara di antara pembeli dan penjual.
Berbeda dengan sistem tradisional yang memerlukan pihak ketiga, blockchain memangkas perantara ini.
Penjual percaya, buku itu nanti akan dibayar bank ketika pembeli menyerahkan kartu kredit atau debetnya sebagai alat pembayaran. Demikian pula, pembeli memiliki kepercayaan yang sama dengan pihak ketiga tersebut. Risiko pada sistem ini adalah ketika jaringan kartu diretas, disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Sementara dengan sistem blockchain tidak ada pihak ketiga. Catatan transaksi disimpan di banyak komputer di dalam jaringan blockchain tersebut, tidak tersentralisasi. Upaya meretas sistem dapat dikatakan akan sia-sia karena harus melewati jutaan komputer.
Peretasan yang selama ini biasa terjadi dilakukan pada dompet-dompet elektronik penyimpan mata uang digital. Beberapa kasus besar, seperti Mt Gox di Jepang, terjadi karena peretasan di dompet digital, bukan pada sistem blockchain.
Bank sentral juga dapat memanfaatkan teknologi ini, misalnya, untuk pembayaran transfer dana hingga menelusuri pembayaran. Beberapa bank sentral yang telah menjajaki penggunaan teknologi di antaranya bank sentral Inggris. Bank of England ini sedang menguji coba blockchain Ripple untuk pembayaran antarnegara.
Selain itu, bank sentral Kanada sedang bekerja sama dengan Payments Canada dan TMX Group untuk menjajal integrasi surat berharga dan penyelesaian transaksi pembayaran.
Otoritas Moneter Singapura (MAS) memimpin beberapa bank, bursa, dan perusahaan teknologi untuk mempelajari sistem pembayaran berdasarkan teknologi blockchain. Tidak ketinggalan, Otoritas Moneter Hongkong mengembangkan jaringan antarnegara untuk meningkatkan perdagangan dan pembiayaan dengan MAS Singapura.
Risiko tinggi
Para pejabat bank sentral juga sepakat, jika sebagai komoditas, harga mata uang digital sangat befluktuasi dan berisiko tinggi. Nilai dasar mata uang digital ini sulit devaluasi karena memang tidak ada faktor fundamentalnya.
Harga aset digital tersebut melambung tinggi dan dikhawatirkan menggelembung. Mata uang baru ini juga dikhawatirkan akan menganggu sistem keuangan yang sudah mapan jika terjadi pecahan gelembung karena pasti terkait dengan ekonomi riil.
Selain itu, mata uang digital juga berisiko bagi konsumen perseorangan. Mata uang digital ini sudah banyak dijadikan aset dasar dari skema-skema investasi yang diperkirakan skema Ponzi. Skema ini menjanjikan keuntungan yang menggiurkan, jauh di atas bunga perbankan dan para anggotanya diminta menarik anggota lainnya untuk bergabung.
Tidak hanya Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan pun sudah mengabarkan tentang perdagangan mata uang digital yang dianggap berisiko tinggi ini. Namun, penggemar mata uang digital justru semakin banyak. Salah satu platform jual beli mata uang digital berhasil mengumpulkan anggota hingga 940.000 orang selama kurang dari dua tahun.
Mengingat risiko dan fluktuasi harga yang sangat tinggi, memperjualbelikan mata uang digital hendaknya benar-benar memanfaatkan dana yang menganggur. Karena dana tersebut pun dapat ludes, maka bertransaksilah dengan jumlah dana yang mampu kita tanggung jika dana itu memang hilang.