Pendapatan Menurun, Sopir Mikrolet Protes Pemprov DKI
JAKARTA, KOMPAS — Ratusan sopir mikrolet yang beroperasi di Tanah Abang mulai geram. Mereka menggelar aksi demonstrasi di depan gedung Balai Kota DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta, Senin (22/1).
Kemarahan tersebut muncul setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menutup Jalan Jati Baru Raya, Tanah Abang, Jakarta Pusat, untuk pedagang kaki lima (PKL) pada 22 Desember 2017. Akibat penutupan tersebut, pendapatan sopir mikrolet berkurang.
Di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, lima perwakilan sopir mikrolet ditemui oleh Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah. Dalam pertemuan tersebut, mereka belum membahas rencana pembukaan Jalan Jati Baru Raya untuk kendaraan.
Mereka juga membahas terkait masalah perlakuan anggota dinas perhubungan yang arogan. Menurut pengakuan beberapa sopir, ada anggota dinas perhubungan di Tanah Abang yang mengusir dengan bahasa yang kasar, memukul mobil, bahkan memecahkan kaca kendaraan mereka.
”Kami dianggap seperti bukan manusia, kami hanya ingin mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istri,” ujar Deni (49), sopir M08 jurusan Tanah Abang-Kota.
Mereka juga membahas banyaknya armada mikrolet yang ada tidak sesuai dengan izin yang dikeluarkan. Abdul Rosid, sopir M08, mengatakan, mereka menemukan 350 armada M08 yang beroperasi di Tanah Abang. Padahal, dari data resmi yang mereka catat, hanya ada 213 armada M08. Akibatnya, terjadi penumpukan kendaraan di trayek tersebut.
Terakhir, mereka membahas rencana modifikasi trayek. Menurut rencana, besok Selasa (23/1) akan ada pertemuan antara sopir mikrolet dan pihak Dinas Perhubungan untuk membahas hal tersebut.
Demonstran belum puas dengan hasil pertemuan tersebut dan beralih ke depan Gedung DPRD DKI Jakarta di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Mereka diterima oleh anggota Komisi D Bidang Pembangunan dari Fraksi Partai Nasdem DPRD DKI Jakarta, Bestari Barus.
Sido (53), sopir M10, menyampaikan, penutupan Jalan Jati Baru Raya pada pukul 08.00 hingga 18.00 membuat pemasukan mereka berkurang. Sebelum ditutup, ia memperoleh pendapatan bersih Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Kini, mereka kesulitan mendapatkan penumpang karena sebagian besar penumpang diperoleh di Jalan Jati Baru Raya.
Beberapa sopir mengaku, sering terkena tilang jika lewat di bawah jembatan Jati Baru Raya. Sekali tilang, mereka harus membayar Rp 200.000. Mereka semakin terdesak karena harus setor kepada pemilik mobil. Deni mengatakan, ia pernah menombok hingga Rp 60.000 karena pendapatannya tidak cukup untuk membayar sewa.
Bestari mengatakan, Fraksi Nasdem prihatin dengan dampak penutupan Jalan Jati Baru Raya yang menyusahkan beberapa pihak. Ia akan membuat kajian terkait akibat dari penutupan jalan tersebut. Dalam membuat kajian tersebut, ia berencana akan berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan untuk mengetahui permasalahan di Tanah Abang.
Ia akan berupaya melalui dorongan politik membantu permasalahan yang dihadapi sopir mikrolet di Tanah Abang. Jika usaha tersebut tidak berhasil, mereka akan menggunakan hak interpelasi kepada Gubernur DKI untuk mengatasi permasalahan di Tanah Abang.
”Kami sudah menyampaikan ke pemerintah provinsi bahwa penutupan jalan tersebut bukan solusi menyelesaikan permasalahan di Tanah Abang. Namun hingga sekarang belum mendapatkan hasil yang pasti,” kata Bestari. Ia menjelaskan, Partai Nasdem akan menegur gubernur yang menyelesaikan persoalan, tetapi memunculkan masalah baru.
Seusai pertemuan tersebut, pihak sopir mikrolet ingin segera mendapatkan keputusan yang melindungi hak mereka untuk menggunakan Jalan Jati Baru Raya. Koordinator Aksi Andreas B Rehiary menuntut agar semua fraksi di DPRD DKI Jakarta mendukung usaha mereka mencari keadilan.
Aksi tersebut juga diikuti oleh komunitas masyarakat. Ketua Umum Komunitas Bangsa Bersatu Silvia D Soembarto mengatakan, penutupan Jalan Jati Baru Raya dilakukan tanpa sosialisasi dan koordinasi dengan masyarakat.
Akibatnya, sopir mikrolet di Tanah Abang kebingungan dan biaya operasional mereka bertambah, sedangkan pendapatan mereka berkurang. ”Tindakan sewenang-wenang tersebut menggerakkan kami untuk bersuara agar didengar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” ujar Silvia.
Akibat aksi tersebut, sejumlah penumpang di Tanah Abang terlihat kebingungan, salah satunya Anto (53), warga Depok yang hendak menuju Harmoni, Jakarta Pusat. Ia memutuskan menggunakan ojek daring.
Selain ojek daring, sejumlah penumpang tampak menggunakan ojek pangkalan dan bajaj. Namun, mereka mengeluh karena biayanya lebih mahal dan sudah terbiasa menggunakan mikrolet.
OK Otrip
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno telah mendiskusikan permasalahan yang dialami sopir mikrolet di Tanah Abang dengan pihak terkait. Ia ingin merangkul sopir mikrolet untuk bergabung dengan program One Karcis One Trip (OK Otrip).
”Kami telah mempersiapkan agar sistem transportasi di DKI Jakarta dapat saling terintegrasi,” kata Sandiaga. Menurut Sandiaga, dalam proses integrasi tersebut akan butuh penyesuaian.
Sandiaga mengatakan, untuk saat ini pemerintah provinsi akan menampung keinginan sopir mikrolet, salah satunya memberikan solusi dengan memperpanjang rute. Namun, ia berharap semua mikrolet di DKI Jakarta dapat tergabung dalam layanan yang terintegrasi dan dikelola oleh PT Transjakarta. (DD08)