PKL Masih Berjualan di Trotoar, Petugas Satpol PP Diminta Tegas
JAKARTA, KOMPAS — Selama alih fungsi Jalan Jati Baru Raya untuk pedagang kaki lima, sejumlah pedagang di Tanah Abang, Jakarta Pusat, masih berjualan di trotoar. Petugas satuan polisi pamong praja diharapkan tegas menindak para pelanggar agar dapat menangani pedagang yang berpindah-pindah berjualan di trotoar.
Pada Minggu (21/1), sejumlah pedagang kaki lima (PKL) terlihat menggunakan setengah dari lebar trotoar yang berukuran 3 meter hingga 5 meter tersebut. Mereka berjualan di trotoar karena bingung mencari lokasi berdagang.
Andi (28), pedagang buah, masih berjualan di trotoar karena tidak mendapat jatah tenda di Jalan Jati Baru Raya. ”Saya pedagang musiman jadi tidak mendapat jatah tenda,” katanya.
Pedagang kelengkeng dan anggur tersebut mengatakan, ia menjadi pekerja harian lepas di proyek pembangunan ketika tidak ada stok buah yang dapat dijual. Andi menyatakan sudah lebih dari dua tahun ia berdagang buah keliling di Tanah Abang. Dalam sehari, ia mendapatkan omzet Rp 200.000 hingga Rp 300.000.
Andi berharap dapat berjualan di Tanah Abang dengan tenang. Ia bersedia ditertibkan asalkan tetap dapat berjualan.
Selain pedagang buah, terdapat pedagang yang menggunakan gerobak dan kain pembungkus barang dagangan agar dapat berjualan secara berkeliling. Casto (54), pedagang bawang, tetap berjualan di trotoar karena ia berpindah-pindah ke beberapa pasar. Sebelumnya, Casto terbiasa berjualan di sekitar Stasiun Tanah Abang.
Alasan berbeda dikatakan Khaerul (40), pedagang celana. Ia mempunyai kios di Blok G. Karena sepi, ia menggunakan kiosnya untuk gudang dan memilih berjualan di trotoar.
Trotoar di Jalan Jati Baru Raya juga ditempati pedagang yang memiliki tenda. Sejumlah pemilik kios juga tampak menaruh dagangannya di trotoar. Mereka berdagang di trotoar agar mendapatkan keuntungan yang lebih. Sebagian besar pedagang menganggap garis kuning yang berfungsi sebagai jalur pemandu tunanetra merupakan pembatas wilayah untuk berjualan.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Yani Wahyu Purwoko mengatakan, sebagian besar pengguna trotoar untuk berjualan merupakan pemilik kios dan PKL keliling. Mereka selalu mencari celah ketika petugas satpol PP berkeliling menertibkan wilayah lain. ”Mereka belum terbiasa berjualan dengan tertib,” kata Yani.
Secara khusus, Yani menyoroti pedagang yang selalu berpindah-pindah. Mereka selalu mencari tempat yang tidak dijaga petugas satpol PP. ”Kami menurunkan 295 personel, tetapi jumlah pedagang melebihi satpol PP yang bertugas,” ujar Yani.
Yani mengatakan, selain jumlah pedagang, trotoar yang lebar membuat pedagang leluasa berjualan. Mereka berjualan secara bebas mencari keramaian agar ada konsumen yang membeli dagangannya.
Ia menambahkan, saat ini trotoar masih belum dapat terbebas dari pedagang karena masih dalam proses penertiban. Oleh karena itu, ia memberikan kebebasan kepada pedagang yang berjualan untuk menggunakan area seperempat dari lebar trotoar.
Yani mengatakan, petugas satpol PP akan terus mengimbau pedagang agar tertib. Proses tersebut butuh waktu secara perlahan sebagai tahap pembelajaran.
Butuh ketegasan
Dalam penataan di Tanah Abang, dibutuhkan ketegasan dari pemimpin dan petugas yang mengatur. Sosiolog dan pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, butuh kebijakan struktur dalam membangun kultur di Tanah Abang.
Menurut Yayat, petugas satpol PP harus tegas menindak PKL yang melanggar aturan dan selalu siaga. ”Satpol PP tidak boleh memberikan kesempatan atau tawar-menawar kepada PKL yang berjualan di trotoar,” kata Yayat.
Satpol PP tidak boleh memberikan kesempatan atau tawar-menawar kepada PKL yang berjualan di trotoar.
Yayat mencontohkan, ketegasan dari PT Kereta Api Indonesia yang mengatur stasiun agar terbebas dari pedagang dan ketertiban penggunaan kereta api. Ketegasan tersebut menjadi kebiasaan yang membuat pengguna kereta api menjadi tertib.
Ia juga berpandangan, pedagang di Tanah Abang harus dibatasi. Pedagang yang tidak tertampung dicarikan lokasi lain yang terintegrasi dengan transjakarta. Ia juga berharap agar di beberapa tempat strategis dipasang papan pengumuman yang mengatur ketertiban di Tanah Abang.
Pengamat perkotaan dan penggiat penghijauan Jakarta, Nirwono Joga, berpandangan, ketegasan seorang pemimpin dibutuhkan untuk mengatur segala kesemrawutan di Jakarta. Menurut Nirwono, Jakarta memiliki Peraturan Derah Nomor 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum yang harus dipatuhi. Nirwono menegaskan, segala kegiatan komersial tidak boleh dilakukan di trotoar dan taman.
”Gubernur harus mematuhi peraturan yang ada dalam mengambil kebijakan,” kata Nirwono. Apabila peraturan tersebut dilanggar, masyarakat juga akan melanggarnya.
Gubernur harus mematuhi peraturan yang ada dalam mengambil kebijakan. Apabila peraturan tersebut dilanggar, masyarakat juga akan melanggarnya.
Peraturan tersebut bersifat menyeluruh dan berkaitan. Sebagai contoh, pemberian kesempatan PKL Tanah Abang berjualan di jalan raya dan rencana pengoperasian becak di Jakarta akan memengaruhi aturan lainnya. ”Salah satunya, masyarakat akan membuang sampah di sembarang tempat karena mereka akan mencontoh pemimpinnya yang melanggar aturan,” kata Nirwono.
Nirwono berharap petugas satpol PP tegas menindak PKL yang melanggar aturan. Ketegasan tersebut dibutuhkan untuk memberikan efek takut sehingga tidak ada pedagang yang berani melanggar aturan.
Pungutan liar
Ferdi (24), pedagang celana, masih berjualan di trotoar karena tidak dapat jatah tenda. Padahal, ia sudah mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) untuk didata. Ia mengaku masih dipungut oleh oknum tertentu sebesar Rp 5.000 setiap Sabtu dan Minggu. ”Saya tidak masalah dipungut daripada dagangan saya dihancurkan,” ucap Ferdi.
Ferdi mengatakan, pungutan tersebut tergolong murah dibandingkan pungutan di trotoar bawah jembatan Blok G. Menurut Ferdi, beberapa oknum menyewakan trotoar sebesar Rp 500.000 hingga Rp 1 juta per lapak tiap bulan.
Hal serupa dituturkan Rio (31), pedagang kerudung untuk perempuan Muslim, yang berjualan di tenda yang disediakan oleh pemerintah daerah. Sebelum berjualan di tenda, ia harus membayar Rp 1,5 juta per bulan ketika berjualan di bawah jembatan Blok G.
Pedagang resmi rugi
Pembebasan PKL berdagang di Jalan Jati Baru Raya berdampak pada penjual resmi yang menyewa kios di Jalan Jati Baru. Omzet penjualan Derman (54), pedagang pakaian Muslim, menurun. Sebelum ada kebijakan tersebut, ia memperoleh Rp 2 juta sehari. Kini, ia memperoleh maksimal Rp 1 juta.
Pembebasan PKL berdagang di Jalan Jati Baru Raya berdampak pada penjual resmi yang menyewa kios di Jalan Jati Baru.
Dalam setahun, Derman harus membayar uang sewa sebesar Rp 40 juta. Ia juga masih harus membayar uang listrik dan keamanan sebesar Rp 450.000 per bulan. Derman berharap Tanah Abang dikembalikan seperti semula sebab tidak hanya pedagang resmi yang merugi, tetapi juga sopir Metromini yang melintasi Jalan Jati Baru Raya.
”Jika kebijakan ini terus berlaku, saya berharap agar akses menuju kios diperbanyak,” kata Derman. Ia sempat berpikir ingin berjualan di tenda untuk menambah pemasukan. (DD08)