Impor Beras Ditolak Petani Lamongan dan Bojonegoro
Oleh
ADI SUCIPTO KISSWARA
·3 menit baca
LAMONGAN, KOMPAS — Pemerintah dan petani di Kabupaten Lamongan dan Bojonegoro, Jawa Timur, sama-sama kompak menolak rencana pemerintah mengimpor 500.000 ton beras. Rencana Kementerian Perdagangan itu dinilai bisa mematahkan gairah petani.
Bupati Lamongan Fadeli, Selasa (23/1), menyatakan secara tegas menolak beras impor masuk Lamongan. Kenaikan harga beras tidak akan berlangsung lama seiring panen raya di sejumlah wilayah. Harga akan turun dengan sendirinya ketika panen.
”Tidak ada urgensinya lagi impor beras, apalagi Lamongan termasuk daerah surplus beras. Jadi biarkanlah petani menikmati kemakmuran,” katanya.
Ia menyebutkan pada 2017, panen di Lamongan mencapai 1,1 juta ton gabah kering giling (GKG). Tahun lalu, Lamongan masih surplus 700.000 ton GKG atau setara dengan 460.000 ton beras.
Pada 2018, hingga April ada 58.455 hektar (ha) padi yang akan dipanen. Berdasar perhitungan produktivitas sama pada 2017, yakni 6,9 ton per ha, maka pada April produksi di Lamongan mencapai 403.399 ton GKG.
Menurut Fadeli, saat ini persedian beras di Gudang Bulog Lamongan dan Babat mencapai 7,272 juta ton. Cadangan itu juga cukup memenuhi stok beras untuk rakyat sejahtera (rastra) hingga empat bulan ke depan.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Lamongan Aris Setiadi menilai, selama ini Lamongan konsisten menjadi lumbung pangan nasional. Beras Lamongan juga dikirim ke daerah lain karena Lamongan surplus.
Selama ini, Lamongan konsisten menjadi lumbung pangan nasional dan berasnya juga dikirim ke daerah lain karena Lamongan surplus.
Kebijakan impor sebagai upaya menambah cadangan beras nasional boleh diapresiasi, tetapi beras impor itu tidak perlu masuk ke pasar di Jatim, termasuk Lamongan yang surplus.
Beras bisa dimasukkan ke gudang Bulog sebagai beras cadangan atau langsung didistribusikan ke daerah yang defisit.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan M Zamroni menyatakan, saat ini harga gabah mencapai Rp 6.200-Rp 6.400 per kg GKG. Kualitas beras medium sudah tidak ada kenaikan lagi.
Harga beras medium di Pasar Sidoharjo dan Mantup Rp 10.000 per kg, di Pasar Babat Rp 9.500 per kg, dan Pasar Blimbing (Paciran) Rp 11.000 per kg.
Pedagang beras di Pasar Baru Lamongan, Muslikhah, menilai kenaikan harga beras medium sepekan mencapai Rp 10.000 per kg dinilai wajar. Ia sendiri tidak pernah kekurangan stok untuk kulakan beras. Harga akan berangsur turun dengan datangnya musim panen.
Jangan lagi kami dibuat patah semangat karena impor.
Abdul Hadi (43), petani di Babat, menyatakan, sebenarnya pemerintah tidak perlu impor jika produksi petani terserap dengan baik.
”Kalau saja sistem penyimpanan dan pergudangan hingga distribusi berjalan baik, tidak perlu impor. Tidak lucu, kalau petani menjual gabah murah, tetapi saat beli beras mahal. Kalau sebentar-sebentar sudah impor, warga bisa enggan bertani,” katanya.
Penolakan impor juga disampaikan petani di Bojonegoro. Tamiran, warga Gedongarum, dan Wariman, warga Temu, Kecamatan Kanor, jelas menolak impor beras.
Apalagi di Kanor saat ini panen raya. Petani sudah sangat senang panen tahun ini baik dan tidak terkena banjir. ”Jangan lagi kami dibuat patah semangat karena impor,” kata Tamiran.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bojonegoro Akhmad Djupari menyebutkan, di Kanor saja ada sekitar 1.800 ha padi yang ditanam Oktober siap panen dengan produktivitas 9-12 ton per ha.
Lahan yang dipanen di Gedongarum sekitar 359 ha dari luas tanaman di Kanor sebanyak 1.783 ha. Varietas Ciherang, Inpari, Situ Bagendit, dan Denok bisa mencapai 10-12 ton.
Secara keseluruhan, di Bojonegoro pada Desember lalu telah panen seluas 4.973 ha setara 17.484 ton beras.
Panen selama Januari mencapai 8.227 ha setara 28.924 ton beras, Februari panen 35.779 ha setara 125.789 ton beras, dan Maret mencapai 25.694 ha atau setara 90.333 ton beras.
Kami dan para petani dengan tegas menolak rencana impor.
Ia menyebutkan, produktivitas rata-rata padi sekitar 6,4 GKG per ha. Kebutuhan konsumsi penduduk Bojonegoro yang berjumlah 1,2 juta jiwa mencapai 11.488 ton beras per bulan. Pada Januari surplus beras 17.436 ton, Februari 114.301 ton, dan Maret 78.845 ton.
”Kami dan para petani dengan tegas menolak rencana impor 500.000 ton beras oleh kementerian perdagangan,” kata Djupari.