Indonesia-AS Bahas Krisis Korea hingga Sengketa Laut China Selatan
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat menyepakati tiga hal pokok terkait keamanan internasional. Ketiga hal tersebut adalah penanganan krisis Semenanjung Korea, kondisi Laut China Selatan, serta gerakan Negara Islam di Irak dan Suriah di kawasan Asia.
Kesepakatan tersebut merupakan hasil pertemuan antara Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu dan Menteri Pertahanan AS James N Mattis, Selasa (23/1) di Jakarta.
Pada 2017, Presiden Joko Widodo dan Presiden AS Donald Trump di sela KTT G-20 sepakat bahwa peningkatan kerja sama pertahanan di antara kedua negara perlu diteruskan, terutama terkait kontraterorisme.
”Saya dan Mattis telah saling bersurat dan bertemu sebanyak tiga kali. Kami sepakat bersama-sama menjamin keamanan di kawasan,” kata Ryamizard dalam konferensi pers seusai pertemuan tersebut.
Kedua perwakilan negara di bidang keamanan itu juga membahas berbagai hal, antara lain visi Indonesia sebagai poros maritim dunia, kerja sama bilateral dan multilateral di kawasan Patroli Terkoordinasi Trilateral, kerja sama Our Eyes, Persetujuan Keamanan Informasi Militer (GSMIA), pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista), serta kebijakan maritim.
Krisis Semenanjung Korea menjadi salah satu dari tiga topik utama yang dibicarakan. Saat ini, kawasan Asia Timur berada dalam ketegangan akibat uji coba nuklir dan rudal yang tak kunjung henti dari Korea Utara. Korea Utara bahkan telah mengeluarkan ancaman terhadap negara-negara tetangga, seperti Korea Selatan dan Jepang.
”Kami sepakat untuk tidak memanas-manasi suasana terkait Korea Utara. Kami akan meminta PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk menekan Korea Utara mematuhi hukum internasional,” ucap Ryamizard.
Masalah batas Laut China Selatan juga menjadi pembahasan utama dalam pertemuan itu. Ryamizard menyatakan, saat ini kondisi yang sempat memanas di area perairan itu telah membaik.
Kapal perusak milik AS, USS Hopper, pekan lalu masuk ke perairan Laut China. Kejadian tersebut kembali memicu kemarahan China. Hingga saat ini, Laut China Selatan masih menjadi sengketa Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, China, dan Vietnam.
Sementara menurut AS, Laut China Selatan merupakan perairan internasional. Pemerintah AS akan terus melakukan pertemuan dengan sejumlah negara terkait hal ini, termasuk dengan negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Penanganan gerakan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di kawasan Asia juga menjadi sorotan dalam pertemuan tersebut. Kedua pemerintah mengakui pentingnya penanganan terorisme di Filipina karena negara itu telah menjadi pusat NIIS di kawasan Asia Tenggara. Simpatisan yang bergabung berasal dari Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
”Masalah ini harus diselesaikan. Kalau tidak, mereka akan bertambah kuat,” kata Ryamizard.
Selain itu, Pemerintah Indonesia dan AS juga sepakat untuk menambah jumlah mata-mata dalam misi intelijen Our Eyes dengan bantuan peralatan dari AS. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk mengetahui gerakan teroris dan prediksi ke depan secara lebih akurat.
Indonesia dan AS sepakat pentingnya penanganan terorisme di Filipina karena negara itu telah menjadi pusat NIIS di kawasan Asia Tenggara.
Our Eyes adalah sebuah program pertukaran data intelijen antarnegara anggota ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei, dan Singapura. Tujuan program ini adalah untuk menghadapi NIIS di Asia Tenggara.
NIIS di wilayah Asia Tenggara bernama Katibah Nusantara dan direncanakan berpusat di Marawi, Filipina. Adapun Katibah Nusantara merupakan bagian dari NIIS Divisi Asia Timur. Divisi tersebut berada di bawah arahan NIIS pusat yang berbasis di Irak dan Suriah.
Menurut Ryamizard, penanganan pengungsi Rohingya perlu dilakukan dengan langkah yang tepat. Penolakan sejumlah negara, seperti Myanmar dan Bangladesh, untuk menampung mereka dapat menjadi celah bagi NIIS guna merekrut pengungsi menjadi anggota.
Mattis menambahkan, dirinya setuju dengan pernyataan Pemerintah Indonesia bahwa suatu negara tidak dapat sendirian menangani isu yang mengancam keamanan dunia. Dengan demikian, AS berkomitmen untuk membantu kawasan Indo-Pasifik dalam segi keamanan.
Menurut dia, peran militer Indonesia sangat vital dalam membantu mengatasi situasi yang berlangsung saat ini. Indonesia berperan dalam menjaga keamanan Laut China Selatan. Sebagian besar Laut China Selatan terletak di kawasan Asia Tenggara yang merupakan kawasan negara anggota ASEAN.
Indonesia dinilai berperan penting karena merupakan salah satu pendiri ASEAN. Selain itu, Indonesia juga dapat melakukan penjagaan area sekitar Laut China Selatan atau di perairan Natuna Utara, Kepulauan Natuna, Provinsi Riau, yang masih merupakan wilayah kedaulatan negara.
”PBB menyatakan lautan tersebut dapat digunakan bersama. Kita semua ingin menjaganya dengan cara yang damai,” ujar Mattis.
Peran penting lainnya yang Indonesia miliki adalah dalam penanganan masalah terorisme. Indonesia dinyatakan berhasil dalam melawan terorisme selama 10 tahun terakhir. Keberhasilan tersebut menjadi pembelajaran penting bahwa negara yang terletak di garis khatulistiwa ini berusaha secara nyata dalam mewujudkan perdamaian.
Pemerintah AS menyatakan akan membantu segala bentuk permintaan Indonesia dalam melakukan kontraterorisme. Apalagi, AS melihat ancaman bagi dunia di masa depan semakin nyata dengan menguatnya NIIS di Mindanao, bagian selatan Filipina.
Mattis mengungkapkan, AS mengapresiasi kerja sama trilateral yang diusung Indonesia bersama Malaysia dan Filipina. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina sepakat memperkuat kerja sama trilateral memerangi ancaman terorisme dan radikalisme di kawasan Laut Sulu pada 22 Juni 2017.
Kerja sama tersebut dilakukan dalam bentuk kegiatan patroli bersama demi menekan potensi ancaman NIIS serta perkembangan krisis Rohingnya. ”AS dan Indonesia adalah dua negara yang sama-sama memercayai kebebasan, hukum, hak asasi manusia, dan keberagaman agama,” ujar Mattis.
Posisi AS
AS selama ini berseteru dengan China terkait kepemilikan Laut China Selatan. Kendati demikian, perseteruan itu tidak secara langsung karena AS tidak memiliki wilayah di area tersebut.
Kepemilikan Laut China Selatan saat ini diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). UNCLOS berisi hak dan kewajiban negara dalam penggunaan lautan di dunia. Dunia internasional juga berupaya mengatur Laut China Selatan melalui penyusunan Code of Conduct on South China Sea. AS belum meratifikasi UNCLOS kendati menyatakan telah mengakuinya.
”Benar, kami belum meratifikasinya. Namun, kami menjalankan semangat dan prinsip yang ada dalam konvensi tersebut, tidak sama seperti negara lain yang meratifikasi, tetapi tidak menjalankannya,” tutur Mattis.
Laut China Selatan selama ini menjadi primadona karena banyaknya kekayaan alam dan potensi minyak yang dimiliki serta posisi geografis yang strategis. Dalam buku The South China Sea: Struggle for Power in Asia oleh Bill Hayton pada tahun 2014, Laut China Selatan memiliki kekayaan yang memikat sejumlah negara.
Energy Information Administration (EIA) AS mengestimasi potensi kekayaan hidrokarbon sebagai cadangan energi pada 2013 mencapai 11 miliar barrel minyak dan 190 triliun kubik gas. Jumlah tersebut sama seperti jumlah minyak di Meksiko dan Eropa (kecuali Rusia). (DD13)