Tukang Becak Mengayuh di Tanjakan
Nur (70), tukang becak, lebih banyak berdiam di becaknya sepanjang Senin (22/1) siang itu. Ia baru mendapat dua pelanggan sejak keluar dari rumahnya sekitar pukul 07.00. ”Memang sekarang jauh lebih susah dapat pelanggan. Kami lebih banyak duduk di becak daripada mengayuh becak,” ujar Nur di Pasar Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Nur menceritakan, sehari sebelumnya, ia bahkan hanya bisa mengangkut satu penumpang. Hal itu membuatnya terpaksa mengutang ke warung makan langganannya untuk mengganjal perutnya hari itu.
Ucapan Nur tentang menurunnya penghasilan tukang becak disepakati oleh tukang becak lainnya, yaitu Wito (53). Ia menyatakan, dulu ia setidaknya bisa membeli seliter beras dari hasil jerih payahnya mengayuh becak. Saat ini, satu gelas beras pun tak mampu terbeli.
Wito mengatakan, penurunan jumlah penumpang terjadi sejak kemunculan ojek daring. Hal itu berdampak pada semakin tertekannya tukang becak karena mereka tidak hanya bersaing dengan angkot dan ojek pangkalan, tetapi juga ojek daring.
Siang itu, ojek-ojek daring lebih sering berlalu lalang mengangkut penumpang dibandingkan becak di sekitar Pasar Bahari. Setiap 20 menit, setidaknya ada 3-5 ojek daring yang menurunkan atau mengangkut penumpang dari pasar itu. Sementara tukang becak hanya menyaksikan para pengojek daring yang sibuk bekerja sambil duduk di atas becaknya.
Becak direncanakan menjadi angkutan lingkungan karena kontrak politik Anies Baswedan sebelum menjabat Gubernur DKI Jakarta (Kompas, 18/1). Kontrak politik itu ditandatangani Anies bersama para aktivis dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Urban Poor Consortium (UPC), dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya pada 8 April 2017. Kontrak politik itu mulai ditindaklanjuti pada Oktober 2017.
Rakhmat Hidayat, sosiolog perkotaan dari Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, Gubernur Anies perlu mengkaji seberapa penting pelegalan becak itu dilakukan. Rakhmat menilai kebijakan itu tidak terlalu mendesak dan justru dapat memicu persoalan-persoalan baru.
”Asumsi Anies, legalitas becak diperlukan karena lebih dibutuhkan warga-warga permukiman itu tidak terlalu mendesak. Sudah banyak moda transportasi yang tersedia, mulai dari ojek pangkalan, daring, bajaj, hingga angkot,” kata Rakhmat, saat dihubungi dari Jakarta.
Rakhmat beranggapan, legalitas becak hanya akan membuat tata kota semakin semrawut karena Jakarta bisa dipenuhi oleh becak-becak yang akan berdatangan dari luar daerah. Dilegalkannya becak menjadi celah migrasi bagi penduduk dari luar Jakarta dengan alasan adanya mata pencarian baru di kota ini.
Sejak awal, becak menjadi pemicu migrasi masyarakat dari luar daerah. Hal itu terbukti pada diri Nur dan Wito, mereka adalah perantau di Jakarta. Nur berasal dari Tegal, sedangkan Wito dari Demak. Ketika tahun 1980-an ada peluang menjadi tukang becak di Jakarta, mereka mencoba peruntungan di Ibu Kota.
Rakhmat menyatakan, legalisasi becak dapat menuai protes dan melahirkan kecemburuan bagi moda transportasi lain yang sudah dilarang beroperasi, contohnya adalah bemo yang dilarang beroperasi sejak 2017. Pelarangan bemo tertulis melalui Surat Edaran Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nomor 84 Tahun 2017.
”Bemo dilarang karena dianggap bukan sebagai angkutan umum dan tidak memiliki STNK. Asumsinya akan sama jika becak diizinkan, bemo boleh juga beroperasi kembali,” kata Rakhmat.
Dari para pengayuh becak, kekhawatiran pun muncul. Mereka sadar ada potensi kedatangan para pengayuh becak dari daerah lain ke Jakarta. Salah satu yang menyadari hal itu adalah Suroto (47). ”Kita ini jumlah penumpang sudah berkurang. Nanti ada tambahan lagi orang-orang dari daerah. Bisa tidak dapat apa-apa kita,” kata Suroto, di Pasar Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara.
Becak, dulu dan kini
Pada 26 Agustus 2001, Kompas memberitakan, kemunculan becak diduga pertama kali pada 1936. Becak dibawa para pedagang China untuk mengangkut barang dagangan. Seiring berjalannya waktu, becak bertambah fungsinya menjadi angkutan manusia.
Pada 1951, terjadi peningkatan pesat jumlah becak di Jakarta. Jumlah becak bisa menyentuh 25.000 unit dalam waktu 10 tahun, dari semula hanya 3.900 unit pada 1941. Peningkatan tajam kembali terjadi pada 1970, dengan jumlah 150.000 unit dan dikemudikan oleh 300.000 orang dalam dua shift.
Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memulai era penghapusan becak dengan mengesahkan peraturan daerah mengenai pola dasar dan rencana induk Jakarta 1965-1985 pada 3 Mei 1967. Becak tidak diakui sebagai kendaraan umum menurut rencana induk tersebut.
Pembatasan terhadap becak terus berlangsung sejak kemunculan rencana induk itu. Hal itu dapat dibuktikan oleh adanya sejumlah peraturan tentang penertiban becak, yaitu Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1972, Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988, dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007. Dalam peraturan-peraturan itu, becak dianggap sebagai kendaraan yang tak layak dan mengganggu ketertiban umum.
Sejarawan JJ Rizal mengatakan, pandangan yang menganggap becak sebagai kendaraan masa lalu atau kendaraan yang tertinggal karena pertumbuhan ekonomi yang sedemikian cepat. ”Permusuhan terhadap becak dimulai saat ekonomi masyarakat membaik dan tumbuh secara cepat sehingga memunculkan kelas menengah atas di Jakarta,” kata Rizal, saat dihubungi.
Pertumbuhan ekonomi itu menuntut gerak masyarakat yang serba cepat. Dari tahun ke tahun, gerak masyarakat Jakarta pun kian cepat karena tuntutan pergerakan ekonomi yang cepat pula. Rizal mengatakan, akibatnya, becak yang menjadi simbol masyarakat kelas bawah tidak mendapatkan ruang dalam kota ini. Ia menjelaskan, pihak yang kuat secara ekonomi menjadi yang paling menentukan dalam gerak kota.
Rizal menambahkan, kritik soal nilai manusiawi menjadi batasan ruang bagi becak. Sementara moda transportasi semakin bertambah, terutama dengan kemunculan transportasi daring.
”Penting diperhatikan agar tak semrawut. Opang (ojek pangkalan) dan ojek online saja ricuh. Tentu saja becak tidak bisa lagi hadir seperti pada 1970-an yang bisa beroperasi ke seluruh ruang kota. Tetapi, harus dipikirkan sebagai konsep angkutan lingkungan yang terbatas atau wisata,” kata Rizal. (DD16)