Sang Pemikir Itu Telah Pergi...
Pertengahan tahun 2017 lalu, ada sebuah tulisan opini di harian Kompas yang menjadi perbincangan selama berminggu-minggu. Tulisan opini itu juga menjadi salah satu artikel yang paling banyak dibaca di laman www.kompas.id. Sebuah tulisan berjudul ”Pajak Bumi dan Bangunan”.
Tulisan opini itu ditulis oleh Daoed Joesoef, yang kerap menyebut predikat dirinya: alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne, di harian Kompas, 28 Juni 2017. Daoed mempertanyakan, mengapa Indonesia memberlakukan Pajak Bumi dan Bangunan yang begitu liberal, anti-Pancasila?
baca: artikel opini Daoed Joesoef tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Seperti biasa, tulisan Daoed sungguh menohok. Dia menulis, ”PBB di Indonesia betul-betul berpembawaan destruktif. Ia memaksa penghuni kota \'angkat kaki\' dan pindah karena PBB besarannya terus meningkat di bagian kota yang mereka huni. Mereka pindah karena terpaksa berhubung rata-rata berupa orang pensiunan, bagai bunyi pepatah \'habis manis sepah dibuang\', termasuk keturunan mereka, para muda belia, dan lain-lain”.
”Jadi jelas bahwa PBB telah melanggar sekaligus dua hal. Pertama, ketentuan prinsipiil dari pemungutan pajak, yaitu the ability to pay. Kedua, dua asas dari Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Selama menjadi kolumnis Kompas, setidaknya Daoed Joesoef telah menulis sebanyak 93 artikel. Artikel terakhirnya berjudul ”Kidung Natal” yang diterbitkan pada 23 Desember 2017. Artikel ”Kidung Natal” itu mampu membuat pembacanya ”merinding”, terharu meski hanya berkisah seputar lagu ”Malam Kudus”.
baca: artikel opini Daoed Joesoef tentang "Kidung Natal"
Siapa Daoed Joesoef? Beliau adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983). Setelah itu menjadi anggota MPR dan DPA (1983-1988). Dari 1983 sampai 1999 juga menjadi Ketua Dewan Direktur Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
”Dia dikenal sebagai orang yang menekankan nalar,” kata Harry Tjan Silalahi, koleganya di CSIS dalam buku Nalar dan Naluri, 70 Tahun Daoed Joesoef (CSIS, 1996). Kekaguman Daoed pada patung Le Penseur (Sang Pemikir) adalah gambaran obsesi tentang orang dewasa yang berpikir.
Dia dikenal sebagai orang yang menekankan nalar.
Harian Kompas edisi Minggu, 23 Januari 2000, di halaman 2, menampilkan rubrik Lebih Jauh dengan Daoed Joesoef, dengan pewawancara Elok Dyah Messwati dan St Sularto. Ada beberapa kisah menarik dalam tulisan itu.
Dituliskan bahwa Daoed Joesoef lahir di Medan, 8 Agustus 1926. Sebagai anak keempat dari lima bersaudara, Daoed Joesoef tidak mengenal kakek-neneknya yang mati syahid dalam perang melawan Belanda di Aceh, sementara pamannya dibuang ke Boven Digul di awal tahun 1930-an.
Dalam dirinya sejak kecil tertanam kuat hasrat ”mencari dan menemukan pengetahuan”. Ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan Akademi Militer tahun 1946, ia kemudian melepas pangkat letnan muda dan memilih masuk SMA sambil bergabung dengan TP Brigade 17 Batalyon 300, bergerilya di kawasan Temanggung.
Kenal dengan Sri Soelastri, istrinya, sejak di Yogyakarta, selepas SMA Daoed Joesoef kuliah di Fakultas Ekonomi UI, sementara calon istrinya di Fakultas Hukum UI dan lulus sarjana ekonomi tahun 1958.
Sebelum lulus, ia sudah menjadi asisten Prof Scheffer dalam ekonomi moneter dan membantu guru yang dihormati dan dikaguminya, Prof Sumitro Djojohadikusumo, untuk kemudian merehabilitasi FE Universitas Hasanuddin di Makassar. Kemudian beasiswa Ford Foundation mengantarnya belajar di Perancis, sementara rekan-rekannya di FE UI memilih belajar di Amerika Serikat.
Di Sorbonne, dialah orang Indonesia pertama yang menempuh studi ilmu ekonomi.
Di Sorbonne, dialah orang Indonesia pertama yang menempuh studi ilmu ekonomi. Aktif dalam pertemuan-pertemuan sesama pelajar Indonesia di Eropa di sana dia mendorong kegiatan berpikir dan berdiskusi interdisipliner yang menjurus ke pembentukan lembaga think tank semacam CSIS.
Bagaimana kisahnya hingga Daoed kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan? Kisah Daoed dikutip utuh dalam artikel itu.
Nah, seminggu setelah saya pulang ke Jakarta, saya diundang Bung Hatta ke rumahnya tanggal 1 Agustus 1973. Saya bangga sekali menerima undangan ini karena beliau termasuk orang yang saya kagumi dan hormati. Saya tahu Bung Hatta adalah pejuang tanpa pamrih, negarawan yang integer dan lurus, pencinta ilmu pengetahuan, religius, dan tertib mengenai waktu.
Ketika saya datang, di sana sudah hadir Sri Sultan Hamengku Buwono IX, waktu itu sebagai Wapres. Ada lagi satu orang yang saya tidak kenal, orangnya tidak banyak bicara. Yang dibicarakan malam itu adalah masalah pendidikan.
Why me? Mengapa saya diajak membicarakan pendidikan oleh tokoh-tokoh nasional ini? Hal ini sampai sekarang masih misteri bagi saya.
Yang saya harapkan waktu itu adalah pembicaraan tentang ekonomi, bukan pendidikan. Tetapi malam itu yang dibicarakan adalah masalah pendidikan. Sedangkan masalah pendidikan berarti masalah masa depan.
Tentang masa depan sendiri, di tahun-tahun itu memang belum ada yang membicarakannya dengan jelas.
Sedangkan buat saya sudah jelas, yaitu zaman iptek dalam rangka proses globalisasi. Sekarang (di tahun 2000, red) saya sungguh khawatir bahwa kita kini memasuki zaman iptek dan turut bermain dalam globalisasi tanpa persiapan konseptual di hampir semua bidang kehidupan. Ini bisa berakibat fatal.
Saya sungguh khawatir bahwa kita kini memasuki zaman iptek dan turut bermain dalam globalisasi tanpa persiapan konseptual di hampir semua bidang kehidupan. Ini bisa berakibat fatal.
Sebagaimana pemikirannya dalam artikel-artikelnya di halaman Opini Kompas, ucapan ataupun prediksi Daoed Joesoef soal masa depan memang kerap sulit dibantah. Pernyataan Daoed Joesoef pada tahun 2000 itu masih relevan. Harus diakui, kini Indonesia memasuki era iptek tanpa persiapan sematang negara-negara lain.
Selamat jalan Pak Daoed Joesoef....