Laporan Harta Kekayaan Belum Optimal Cegah Korupsi
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyerahan laporan harta kekayaan penyelenggara negara kepada Komisi Pemberantasan Korupsi belum optimal mencegah korupsi di kalangan penyelenggara negara atau kepala daerah. Pasalnya, mekanisme penyerahan LHKPN itu tidak disertai dengan keberadaan sanksi bagi mereka yang tidak menyerahkan LHKPN atau tidak jujur menyampaikan harta kekayaannya.
Hingga Rabu (24/1) siang, jumlah kepala daerah dan calon kepala daerah yang telah menyerahkan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) berjumlah 1.163 orang. Harta kekayaan yang dilaporkan pun bervariasi, yakni dari yang paling kaya adalah Sihar Sitorus, calon Wakil Gubernur Sumatera Utara, dengan nilai kekayaan Rp 350 miliar, dan kekayaan paling minim adalah Syapuani, calon Bupati Murung Jaya, Kalimantan Tengah, yang memiliki harta minus Rp 115 juta.
Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN Cahya Hardianto Harefa, Rabu di Jakarta, mengatakan, publik bisa ikut memantau kebenaran data yang disampaikan oleh kepala daerah dan calon kepala daerah dalam situs KPK. Publik diharapkan memberikan laporan kepada KPK bilamana menemui kejanggalan atau ada ketidaksesuaian harta yang disampaikan oleh para calon sehingga hal itu bisa dijadikan catatan tersendiri oleh KPK.
”Kalau publik merasa calon kepala daerah tidak melaporkan kekayaan dengan benar, misalnya rumahnya yang dilaporkan hanya tiga, tapi kenyataannya lebih dari itu. Maka publik bisa ikut mengawasi dengan melaporkan kepada KPK melalui layanan WA (Whatsapp) atau pun e-mail,” katanya.
Diakui oleh Cahya, mekanisme pelaporan LHKPN masih bersifat sukarela dilakukan oleh penyelenggara negara dan calon kepala daerah. Oleh karena itu, KPK tidak bisa menjatuhkan sanksi kepada mereka yang belum menyerahkan LHKPN kepada KPK, kecuali hal itu memang diwajibkan sebagai syarat pencalonan dalam pilkada.
Khusus untuk penyelenggaraan pilkada, KPK dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah bekerja sama menyosialisasikan LHKPN ini ke daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pilkada. Sesuai dengan ketentuan UU Pilkada, peserta pilkada diwajibkan menyerahkan LHKPN kepada KPK. Apabila calon tidak menyerahkan LHKPN, secara otomatis akan gugur sebagai peserta pilkada.
Cahya berharap ada revisi di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU tersebut belum mencantumkan kewajiban penyelenggara negara menyerahkan LHKPN yang disertai dengan sanksi. Tanpa adanya sanksi jelas, KPK tidak bisa menghukum penyelenggara negara atau calon kepala daerah yang tidak menyerahkan LHKPN atau bahkan yang tidak mengisi LHKPN dengan sesuai fakta.
”Dulu, kan, pernah ada usulan di dalam draf UU Pemberantasan Tipikor bahwa mereka yang tidak menyerahkan LHKPN bisa dipidana sekian tahun. Lalu, mereka yang mengisi LHKPN dengan tidak jujur dipidana sekian tahun. Begitu juga dengan contoh di beberapa negara, yang memberikan sanksi atau denda kepada penyelenggara negara yang tidak melaporkan kekayaannya,” kata Cahya.
KPK berharap ada sanksi tegas kepada mereka yang tidak mematuhi kewajiban menyerahkan LHKPN. Bukan lagi denda, melainkan sanksi pidana. Bahkan Indonesia perlu menerapkan ketentuan illicit enrichment atau pemerkayaan yang tidak wajar seperti dalam konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan illicit enrichment jika diterapkan bisa dijadikan dasar bagi aparat hukum untuk menyita harta kekayaan pejabat yang tak jelas asal-usulnya.
Menurut Cahya, kalau usulan pidana itu disetujui DPR dan pemerintah, hal itu pun bisa dicantumkan di dalam revisi UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih KKN.
Akan tetapi, setiap laporan yang diterima KPK menyangkut LHKPN, menurut Cahya, dijadikan bahan untuk mengetahui ada atau tidaknya potensi korupsi. Laporan yang tidak benar tentang LHKPN juga bisa menjadi salah satu sumber penyelidikan KPK.
”Ya salah satunya dari situ (ketentuan yang dilanggar soal LHKPN) bisa menjadi sumber penyelidikan kami, dan bisa dari bahan-bahan lain,” ujarnya.
Publik diharapkan mencermati rekam jejak dan catatan kekayaan calon kepala daerah melalui LHKPN sehingga tidak lagi terjadi potensi korupsi di kemudian hari. Publik diajak ikut mengawasi LHKPN.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan, LHKPN selama ini masih lebih banyak digunakan untuk kepentingan rujukan informasi dalam pengungkapan kasus korupsi. KPK pun tidak bisa memberikan sanksi.
Ketidakjujuran dalam pengisian dokumen LHKPN tidak serta-merta memberikan kewenangan KPK untuk mengambil tindakan. Hal ini yang membuat rendahnya tingkat kepatuhan terhada sistem LHKPN di kalangan penyelenggara negara, apalagi jika itu nenyangkut calon kepala daerah yang tidak berasal dari penyelenggara negara.
Selain itu, seharusnya sistem LHKPN ini disertai juga dengan sistem deklarasi kepentingan para penyelenggara negara dan para calon penyelenggara negara.
”Jadi selain kejelasan aset mereka, potensi konflik kepentingan mereka sudah bisa diketahui sejak dini. Misalnya apakah mereka menjadi komisaris, pemegang saham, untuk menduduki jabatan di organisasi atau perusahaan swasta, atau apakah anak, istri, dan saudara memiliki bisnis tertentu,” ujar Dadang.
Akan tetapi, di Indonesia belum dikenal sistem interest declaration ini lantaran belum ada aturannya. Akhirnya yang bisa dikembangkan baru mekanisme sukarela.