Kesuksesan Tahun Politik Butuh Netralitas dan Sinergi TNI-Polri
JAKARTA, KOMPAS — Menghadapi tahun politik pada 2018-2019, sinergi dan soliditas antara institusi kepolisian dan militer di Indonesia sangat dibutuhkan, khususnya dalam hal menjaga sikap netral secara politik. Keadaan tersebut akan menjamin kualitas demokrasi yang ada di Indonesia saat ini.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan, mengatakan, satu-satunya keberpihakan yang harus dimiliki aparat TNI-Polri saat ini ialah keberpihakan terhadap rakyat untuk memastikan kelancaran penyelenggaraan pesta demokrasi. Soliditas TNI-Polri akan menjamin kualitas demokrasi di Indonesia.
”Polri sebagai polisi pejuang dan TNI sebagai tentara rakyat semata-mata harus menjalankan fungsinya, bukan untuk memihak salah satu calon (peserta pilkada atau pemilu), tetapi keberpihakan untuk memastikan demokrasi bisa berjalan sebaik mungkin. Demokrasi harus sesehat mungkin sehingga terpilih pemimpin yang tepat sesuai dengan kehendak rakyat,” tutur Arteria saat ditemui di Kompleks DPR, Jakarta, Kamis (25/1).
Tahun 2018 dan 2019 kerap disebut publik sebagai tahun politik. Sebutan itu tidak lepas dari fakta bahwa akan diselenggarakannya hajat besar demokrasi. Pada Juni 2018, akan digelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 daerah. Sementara pada 2019 akan dihelat pemilu anggota legislatif dan pemilu presiden yang juga dilaksanakan secara serentak.
Dalam pilkada serentak Juni mendatang, keterlibatan anggota Polri dan TNI sebagai peserta pilkada juga menjadi perhatian. Komisi Pemilihan Umum mencatat, sembilan anggota TNI mendaftar sebagai peserta pilkada, enam anggota di antaranya merupakan anggota aktif.
Adapun dari unsur kepolisian terdapat delapan anggota yang mendaftar, enam di antaranya juga tercatat sebagai anggota aktif. UU No 34/2004 tentang TNI dan UU No 22/2002 tentang Polri dengan tegas mengatur bahwa anggota TNI dan Polri dilarang terlibat dalam politik praktis.
Meski demikian, keterlibatan aparat TNI dan Polri dalam pilkada serentak 2018 diyakini tidak melanggar aturan. Sebab, UU No 10/2016 tentang Pilkada mewajibkan anggota TNI dan Polri aktif untuk mundur dari institusinya setelah ditetapkan menjadi peserta pilkada. Adapun KPU akan menetapkan peserta pilkada 2018 pada 12 Februari mendatang.
Meski demikian, Ilham Saputra, komisioner KPU, menilai, walaupun belum ditetapkan, anggota Polri dan TNI yang mendaftar sebagai peserta pilkada telah melakukan praktik politik praktis karena telah berkomunikasi dengan sejumlah partai politik pengusungnya.
Ihwal netralitas dan sinergi TNI-Polri pada tahun politik, sebelumnya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyampaikan, hal itu harus tercapai guna menyukseskan pilkada 2018 dan pemilu 2019. Hadi juga mengingatkan para anggotanya agar tidak terpancing oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan aparat TNI untuk berpolitik.
Arteria mengatakan, aparat TNI dan Polri harus bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing terkait pengamanan pilkada dan pemilu. Polri diharapkan dapat fokus melakukan penegakan hukum di bidang pidana pemilu, seperti politik uang dan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sementara itu, TNI sesuai dengan tugasnya dapat secara maksimal mendukung pengamanan penyelengaraan pemilu.
Keterlibatan anggota TNI dan Polri dalam pilkada serentak dinilai Arteria tidak akan memengaruhi netralitas kedua institusi tersebut. Hal itu karena saat ditetapkan sebagai peserta pilkada, anggota Polri dan TNI sudah bukan lagi bagian dari institusi tersebut.
”Mereka (TNI dan Polri) ada garis komando, artinya mereka yang sudah jadi bagian dari pilkada bukan lagi bagian anggota Polri dan bisa memengaruhi kesatuan Polri atau TNI. Saya yakin, garis komando di institusi Polri dan TNI masih sangat dipakai dan efektif,” ujar Arteria.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, menilai, TNI dan Polri dapat lebih fokus untuk menjaga netralitasnya pada pilkada 2018 nanti. Hal itu karena potensi konflik di antara masyarakat dinilai tidak akan lebih besar dibandingkan penyelengaraan pilkada 2017 di DKI Jakarta.
”Jangan sampai karena ada calon-calon kepala daerah yang berasal dari TNI-Polri membuat institusi tersebut terjun mendukung calon-calon itu. Itu tidak baik. TNI dan Polri harus bisa memisahkan antara persoalan politik dan institusi. Masyarakat perlu menjaga dan mengawasi perilaku para penegak hukum nantinya,” tutur Taufiq.
Daeng Muhammad, anggota Komisi III dari Fraksi PAN, menilai, sinergi Polri dan TNI dalam menjaga netralitas dalam pilkada dan pemilu sudah tidak perlu diperdebatkan oleh publik. Hal itu telah diamanatkan dalam undang-undang, karena itu Polri-TNI hanya perlu mempraktikkannya secara nyata.
”Kalau TNI dan Polri berpihak (ke salah satu calon peserta pilkada dan pemilu), bangsa tidak akan bisa utuh lagi,” kata Daeng.
Mulai berpihak
Muhammad Syafi’i, anggota Komisi III DPR, menilai, saat ini aparat kepolisian cenderung berpihak kepada pemerintah. Menurut Syafi’i, keberpihakan aparat kepada negara dan pemerintah merupakan hal yang berbeda.
”Kalau konsentrasi aparat untuk negara, itu pasti bisa netral. Akan tetapi, kalau konsentrasi aparat untuk pemerintah, itu sulit (netral). Kita, kan, tahu pemerintah itu hasil pemilu dan yang boleh ikut pemilu itu, kan, partai. Jadi, jelas pemerintah ada warna politiknya,” lanjut Syafi’i.
Ia menyebutkan, saat ini orientasi aparat kepolisian cenderung berpihak kepada pemerintah sehingga terlihat menjadi alat politik. Dengan demikian, pernyataan bahwa aparat kepolisian harus netral terlihat tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
”Seharusnya tidak perlu diucapkan ke publik berulang-ulang kalau Polri harus netral. Mereka hanya perlu bilang di internal, misalnya kalau ada anggota yang tidak netral akan dipecat,” ucap Syafi’i.
Wasit yang baik
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, aparat penegak hukum harus mampu bersinergi menjalankan tugasnya pada tahun-tahun politik. Keberpihakan secara politik aparat negara, yaitu TNI dan Polri, justru akan menciptakan benih konflik.
”Aparat hukum harus menjadi wasit yang baik,” ujar Al Araf.
Menurut dia, baik TNI maupun Polri harus membentuk suatu unit khusus untuk mengawasi perilaku anggotanya terkait netralitas di pilkada ataupun pemilu. Unit Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) serta Profesi dan Pengamanan (Propam) di Polri yang ditugaskan untuk mengawasi anggota Polri harus dapat bekerja maksimal.
”Soliditas antara instansi TNI dan Polri dapat tercipta pada tahun politik, tiap-tiap institusi harus dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan mandat konstitusi. TNI berwenang menjaga keamanan wilayah negara, sementara Polri bertugas dalam bidang penegakan hukum dan ketertiban masyarakat saat pilkada dan pemilu,” lanjutnya.
Al Araf meragukan penilaian bahwa institusi Polri saat ini cenderung mendukung pihak pemerintah. Terlebih jika penilaian itu dilontarkan oleh politisi dari partai non-pendukung pemerintah.
”Sangat kecil kemungkinan Polri berpihak. Jika itu dinilai dalam konteks pilkada dan diucapkan oleh politisi dari partai oposisi, hal itu menjadi tidak relevan karena koalisi di tingkat daerah antara partai pendukung pemerintah dan non-pemerintah terjadi. Di Jawa Timur, misalnya, Partai Gerindra dan PKS mendukung pasangan calon yang didukung oleh PDI-P, partai pemerintah,” tutur Al Araf. (DD14)