Mengenang Sang Guru Bangsa Daoed Joesoef
Menjelang ajal menjemput tokoh pendidikan Daoed Joesoef masih mendiskusikan gagasan mengenai multidisipliner dan puridisipliner. Menurut Bagiono Djokosumbogo, salah satu sahabat yang terakhir berdiskusi dengannya, pikiran Daoed masih tajam meski dalam kondisi kritis.
”Pak Daoed tengah menulis tentang multidisipliner dan pluridisipliner (pada sistem pendidikan nasional), tetapi belum selesai,” kata Bagiono, Rabu (24/1), ketika ditemui seusai pemakaman Daoed di Tempat Pemakaman Umum Giri Tama, Tonjong, Kabupaten Bogor. Pemakaman Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1978-1983 itu dilakukan secara militer. Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Daryanto bertindak sebagai inspektur upacara.
Diskusi dalam beberapa menit itu membuktikan bahwa Daoed tak pernah menyerah pada usia. Ia terus berpikir dan menuliskan ide-idenya mengenai pendidikan dan kebangsaan sampai akhirnya Tuhan memanggilnya pada usia 91 tahun.
Daoed mengembuskan napas terakhir Selasa pukul 23.55 di ruang ICCU Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Lelaki kelahiran Medan, Sumatera Utara, 8 Agustus 1926, itu dirawat sejak Sabtu (20/1). Ia telah mengidap penyakit jantung selama beberapa waktu terakhir.
Sebelum dimakamkan, jenazah disemayamkan di kediamannya di Jalan Bangka VII Dalam Nomor 14, Jakarta Selatan. Beberapa tokoh hadir untuk memberikan penghormatan terakhir kepadanya. Mereka di antaranya Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Menteri Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, ekonom Sri Edi Swasono, dan politisi Meutia Hatta. Selain itu, hadir rekan-rekannya sesama pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), seperti Jusuf Wanandi, Sofjan Wanandi, dan Harry Tjan Silalahi.
Menantu almarhum, Bambang Pharmasetiawan, nengatakan, opini mengenai multidisipliner, pluridisipliner, dan linearitas dalam sistem pendidikan nasional memang telah lama dirancang oleh Daoed. Namun, pengerjaannya dikesampingkan karena ada ide yang menurut dia lebih mendesak. Adapun kedua ide tersebut diterbitkan Kompas, Kamis (30/11), Strategi Kebudayaan, dan Sabtu (23/12), Kidung Natal.
Sampai akhir hayatnya, kita masih bisa membaca karya-karyanya, baik di bidang pendidikan maupun kehidupan kebangsaan. Almarhum menulis hal-hal yang sangat bermutu dan menginspirasi.
Jusuf Kalla mengakui, Daoed merupakan sosok pengabdi pendidikan, baik dalam posisi sebagai pejabat maupun pemikir. ”Sampai akhir hayatnya, kita masih bisa membaca karya-karyanya, baik di bidang pendidikan maupun kehidupan kebangsaan. Almarhum menulis hal-hal yang sangat bermutu dan menginspirasi,” ujar Kalla.
Hidup untuk pendidikan
Meski menekuni disiplin ilmu ekonomi sejak kuliah sarjana di Universitas Indonesia, 1959, hingga program magister dan doktoral di Universite de Paris I, Pantheon-Sorbonne, Perancis, 1973, Daoed mengabdikan dirinya untuk pendidikan. Pakar pendidikan Arief Rahman mengatakan, Daoed merupakan ekonom yang memahami betul ihwal filsafat pendidikan. Oleh karena itu, ia berpegang pada hakikat bahwa pendidikan tidak bisa dipecah ke dalam beberapa disiplin, melainkan sebuah kesatuan.
Menurut Harry Tjan Silalahi, kecintaan Daoed kepada pendidikan telah muncul sejak belia. Ibunya merupakan seorang berjiwa pendidik yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas, tetapi tetap berusaha menyekolahkan anaknya hingga jenjang tinggi. Profesi ibunya juga membuat Daoed terbiasa mendapatkan dan meminta pelajaran tambahan.
Kecintaan Daoed kepada pendidikan telah muncul sejak belia. Ibunya merupakan seorang berjiwa pendidik yang memiliki kemampuan ekonomi terbatas, tetapi tetap berusaha menyekolahkan anaknya hingga jenjang tinggi.
Selain itu, kata Bambang, ayah mertuanya juga pernah belajar langsung dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pertama Ki Hajar Dewantara. Ia pun semakin gandrung pada pendidikan karena menurut dia, Indonesia memiliki terobosan yang amat maju. Melalui pemikiran Ki Hajar yang mewujud pada Taman Siswa, Indonesia telah memiliki konsep pendidikan nasional sebelum meraih kemerdekaan.
Selain Ki Hajar, tokoh yang menjadi panutan Daoed adalah wakil presiden pertama Indonesia Mohammad Hatta. Menurut Bambang, Daoed mengagumi kesederhanaan Bung Hatta. Selain itu, Bung Hatta juga seorang penganjur pembangunan pendidikan. Organisasi pergerakan pertama yang dibangun Bung Hatta pun bertujuan pendidikan, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).
Takdir Daoed untuk mengabdi pada pendidikan semakin kuat ketika lulus dari studi doktoral 1970-an. Ketika kembali ke Indonesia, ia dipanggil oleh Bung Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke rumah Hatta. ”Bung Hatta memesankan kepada Daoed untuk mengembangkan pendidikan,” kata Sri Edi Swasono, menantu Bung Hatta sekaligus Ketua Majelis Luhur Taman Siswa.
Tak lama setelah mendapatkan panggilan tersebut, Daoed didaulat menjadi Mendikbud oleh Presiden Soeharto. Selama lima tahun menjabat, Daoed meletakkan dasar-dasar kebijakan yang masih diterapkan hingga saat ini.
Antipolitik praktis di universitas
Salah satu kebijakan Daoed yang masih bertahan hingga saat ini, yaitu Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Ketika baru diterapkan, NKK/BKK mendapatkan tentangan dari para akademisi. Gabungan mahasiswa dan dosen memobilisasi gerakan untuk menentang pemerintah.
”Saya salah satu yang menentang waktu itu, dengan memimpin demonstrasi mahasiswa dari Rawamangun,” kata Arief. Pada tahun 1978, ia menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan IKIP Jakarta.
Saya dan Pak Sri Edi sempat masuk kampus kuning (penjara) di Tajimalela, Bekasi. Namun, dari situ saya sadar bahwa apa yang dipikirkan Pak Daoed itu benar.
Penangkapan itu berbuah pemenjaraan. ”Saya dan Pak Sri Edi sempat masuk kampus kuning (penjara) di Tajimalela, Bekasi. Namun, dari situ saya sadar bahwa apa yang dipikirkan Pak Daoed itu benar,” ujar Arief.
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1973 Sismulyanda Barnas mengatakan, mahasiswa khawatir kebebasannya terkekang dengan penerapan NKK/BKK. Kala itu, mahasiswa terbiasa dengan sistem student government (dewan mahasiswa) yang boleh terlibat politik praktis. Salah satu contohnya, gerakan mahasiswa ikut mengambil peran menumbangkan Presiden Soekarno pada 1966. Selain itu, mereka juga menggalang kekuatan untuk melakukan gerakan Malari 1974.
”Sekarang saya sadar, Pak Daoed telah membuat perubahan besar yang manfaatnya nyata,” ucap Sismulyanda. ”Generasi kami terlalu sering demonstrasi sehingga prestasi akademiknya jeblok. Pemikir besar baru hadir setelah NKK/BKK diterapkan, salah satunya Menteri Keuangan Sri Mulyani,” katanya.
Generasi kami terlalu sering demonstrasi sehingga prestasi akademiknya jeblok. Pemikir besar baru hadir setelah NKK/BKK diterapkan, salah satunya Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Harry Tjan menjelaskan, melalui NKK/BKK, Daoed ingin menghapuskan praktik politik praktis di universitas. Sivitas akademika diminta untuk mengembangkan politik secara akademik. Hal itu juga merupakan kekhawatiran Daoed terhadap masuknya pengaruh partai politik yang berdampak langsung pada independensi mahasiswa.
”Kampus itu organisasi intelektual, bukan organisasi massa,” lanjut Harry. Menurut dia, Daoed menghendaki sivitas akademika untuk berpikir bebas dan bersikap kritis terhadap semua hal. Akan tetapi, sikap tersebut tidak bisa dilakukan jika mereka berada di bawah pengaruh partai politik. Apalagi, sebagian besar organisasi mahasiswa saat itu merupakan onderbouw partai politik.
”Daoed tidak melarang mereka berpolitik praktis. Mereka boleh berpolitik praktis setelah keluar dari kampus. Sayangnya, pemikiran itu hadir terlalu cepat. Daoed memang kerap mendahului orang-orang sezamannya,” kata Harry.
Menurut Harry, gagasan antipolitik praktis di dalam lembaga pendidikan merupakan ide yang telah lama dicetuskan Daoed. Bahkan, hal itu tecermin dari pilihannya untuk tidak mengikuti organisasi politik semasa kuliah. ”Daoed merupakan sosok yang independen," ujarnya.
Bagiono yang menjabat sebagai Sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Perancis periode 1960-an mengatakan, sikap antipolitik praktis Daoed juga tecermin dari keterlibatannya pada kegiatan PPI Perancis pada 1966. Kala itu, PPI Perancis mengadakan konferensi untuk seluruh PPI di Eropa yang bertajuk ”Menumbangkan Mahasiswa Komunis di Eropa”.
”Daoed saat itu mewakili mahasiswa untuk memberi pidato. Pidatonya saat itu telah membicarakan tentang konsep pembangunan pendidikan nasional yang ia terapkan selama ini,” kata Bambang.
Warisan
Sebagai pemikir yang konsisten menulis, Daoed sudah tentu meninggalkan warisan berupa ide-ide tertulisnya. Namun, lebih dari itu, Daoed pun mewariskan sekolah formal yang menerapkan konsep pendidikannya.
Sekolah itu adalah SD Kupu-Kupu serta SMP dan SMA Garuda Cendekia. Sekolah itu didirikan di halaman rumahnya seluas 8.500 meter persegi. Bambang mengatakan, sekolah itu didirikan dalam dua tahap, SD pada 2004, sedangkan SMP dan SMA pada 2011.
Sekolah tersebut memperlihatkan pengaruh kuat pemikiran Ki Hajar pada Daoed. Sekolah-sekolah itu dikelilingi taman dengan pohon-pohon besar. Selain itu, di tengah areal sekolah, terdapat pendopo yang bisa digunakan untuk kegiatan bebas para siswa.
”Sekolah Ki Hajar (Taman Siswa) katanya seperti ini,” kata Bambang.
Ki Hajar sendiri menerapkan konsep taman untuk membangun sekolah. Di taman, para siswa bisa bermain dan berkembang sesuai kodrat usianya. Bukan sekompleks gedung tinggi yang justru dapat memisahkan siswa dari lingkungannya.
Kesamaan lain antara Ki Hajar dan Daoed dalam ranah konsep pendidikan adalah memosisikan guru sebagai orangtua siswa. Akan tetapi, implementasi keduanya berbeda.
Ki Hajar mendekatkan siswa dengan guru melalui sistem paguron. Siswa dan guru tinggal bersama agar pembelajaran mereka tidak terputus di kelas, tetapi berlanjut pada kegiatan hidup sehari-hari.
Bagi Pak Daoed, guru harus menjadi orangtua kedua, sedangkan orangtua harus menjadi guru kedua.
Sementara itu, Daoed menginginkan peran guru sebagai orangtua disertai dengan peran orang tua sebagai guru. Oleh karena itu, ia tidak mengasramakan murid. ”Bagi Pak Daoed, guru harus menjadi orangtua kedua, sedangkan orangtua harus menjadi guru kedua,” ujar Bambang.
Terlepas dari perbedaan tersebut, keduanya menyatu dalam konsep penyatuan antara pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan didorong untuk melahirkan sistem nilai kehidupan. Sistem nilai kehidupan pun akan memengaruhi perkembangan kualitas pendidikan. (DD01)