Pak Dar yang Saya Kenal
Seandainya saya harus menyebut salah seorang yang banyak memengaruhi ”kematangan” saya dalam karier di jurnalistik, dia adalah dosen saya di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro, yang sekaligus ”guru” jurnalistik saya, Darmanto Jatman.
Guru jurnalistik? Apakah Pak Dar, demikian para mahasiswanya di Undip biasa memanggil, mengajar mata kuliah Teknik Mencari, Menyunting dan Menulis Berita? Tidak. Pak Dar juga tidak mengampu mata kuliah berbau jurnalistik lainnya, seperti Dasar-dasar Jurnalistik atau Publisistik.
Pak Dar yang juga termashyur sebagai penyair dan budayawan itu, seingat saya, mengajar Komunikasi Lintas Budaya dan Psikologi Komunikasi. Sayangnya, karena kesibukannya tampil sebagai pembicara bidang psikologi ataupun hadir di berbagai acara seni dan budaya, Pak Dar jarang mengajar.
Sungguh beruntung bagi saya, Pak Dar mengisi ”kekosongan” perjumpaan itu dengan perjumpaan-perjumpaan informal, yang justru banyak mengisi otak saya dengan ilmu-ilmu jurnalistik, yang sebagian tidak saya dapat di ruang kuliah.
Kantor redaksi koran kampus Manunggal, Undip, menjadi salah satu ”ruang kuliah” Pak Dar. Di sana, Pak Dar biasa bercerita tentang kehidupannya sehari-hari, termasuk soal Bu Mur, istrinya, juga anak-anaknya, Abi, Arya, dan Sami.
Ringan sekali kisah-kisah itu dituturkan. Sesekali tentang Sami, yang menyetir kurang sabar, sehingga menabrak mobil lain, atau tentang Arya, yang seolah mengikuti jejaknya, karena kini menjadi dosen filsafat di UGM Yogyakarta.
Jangan lupa sebagai penulis, jaga jarak dengan narasumber.
Namun, di tengah cerita-cerita keseharian yang ringan itu, Pak Dar menyelipkan ilmu-ilmunya, kebanyakan tentang budaya dan jurnalistik. Pentingnya akurasi, misalnya, adalah salah satu yang selalu diingatkan.
”Di koran nasional, foto orang-orang yang sudah dikenal saja masih ada keterangan siapa namanya. Lha di koran kita (Manunggal), orangnya belum banyak dikenal kok ora ana keterangane (tidak ada keterangannya),” ujar Pak Dar, sembari terus tersenyum.
Juga, mengenai independensi penulis, jurnalis, atau peneliti.
”Jangan lupa sebagai penulis, jaga jarak dengan narasumber. Aja cedhak-cedhak, iso lali nek kudu kritis (jangan dekat-dekat, jadi lupa kalau harus kritis). Pisan wae kowe gelem nampa seko sing mbok wawancarai, kowe wis ora nduwe apa-apa (Sekali saja kamu mau menerima pemberian dari yang diwawancarai, kamu sudah tidak punya apa-apa),” tutur Pak Dar.
Dalam berbagai kesempatan lainnya, sepanjang ada waktu Pak Dar setia berdiskusi, tetap dengan santai seperti gayanya sehari-hari: kemeja lengan pendek, celana jins, dan sepatu sandal. Bisa jadi, salah satu yang membuat Pak Dar dekat dengan murid-muridnya, ya karena tongkrongannya itu. Pak Dar jarang berseragam Korpri, yang baginya, bisa menjadi pembeda antara dosen dan mahasiswanya.
Tidak menggurui
Salah satu momen yang saya ingat adalah ketika Pak Dar yang menjadi dosen pembimbing skripsi, dan waktu itu di pertengahan 1997, bertemu saat konsultasi skripsi di ruang Puslitsosbud Undip. Pak Dar, lagi-lagi mengingatkan perlunya peneliti, karena waktu itu saya sedang mengerjakan skripsi, menjaga independensi dengan pihak yang diteliti. Ketika itu, selain masih kuliah di Undip, saya sudah bekerja sebagai wartawan di harian Suara Merdeka, dan menulis skripsi tentang koran tersebut.
”Meski kamu bekerja di Suara Merdeka, ya, bukan lantas di skripsi ini kamu tidak kritis terhadap obyek penelitianmu. Mengapa data-data soal oplah koran ini kamu tidak coba kritisi? Apa betul jumlahnya segitu? Kalau perlu kamu tunjukkan oplah versimu setelah kamu cek di beberapa lokasi,” kata Pak Dar.
Sekali saja kamu mau menerima pemberian dari yang diwawancarai, kamu sudah tidak punya apa-apa.
Saya tersentak mendengar peringatan Pak Dar, yang sangat mengena, tetapi tidak disampaikan dengan nada tinggi. Nada bicara Pak Dar tetap pelan, tetapi sarat wibawa. Mengingatkan, tanpa menggurui sehingga saya tak punya alternatif untuk mendebatnya. ”Terima kasih masukannya, Pak Dar, segera saya perbaiki,” jawab saya.
”Cambuk” Pak Dar membuat saya tergugah untuk memperbaiki data-data awal skripsi, yang akhirnya selesai akhir 1997. Dalam ujian skripsi yang dipimpin Pak Dar, dengan dua dosen pembimbing lainnya, yakni Pak Novel Ali dan Mas Hedi Pujo Santoso, saya dinyatakan lulus S-1. Februari 1998, sekitar dua bulan sebelum presiden kedua RI Soeharto mundur, saya diwisuda.
Hingga 1999 saya masih sering bertemu Pak Dar ketika saya dan beberapa jurnalis di Semarang mendirikan Lembaga Studi Pers dan Informasi (Lespi).
Tanpa pikir panjang, Pak Dar kami daulat sebagai penasihat dan seperti prediksi kami, Pak Dar setuju. Pertemuan dengan Pak Dar juga sering terkait aktivitas saya di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang di mana saya menjadi ketua waktu itu.
Maret 2000, saya hijrah ke Jakarta karena harus menjalani pendidikan wartawan di harian Kompas. Sejak saat itu, saya meninggalkan Semarang sehingga makin jarang bertemu Pak Dar.
Kabar sakitnya Pak Dar karena stroke membuat saya ingin menjenguk ke rumah Pak Dar di Jalan Menoreh Raya, Semarang. Namun, niat itu tak kunjung terwujud.
Hingga akhirnya, Sabtu (13/1) lalu, saya mendengar kabar duka, Pak Dar meninggal. Saya sedih tak terkira. Apalagi, saya juga tak bisa mengantar Pak Dar ke peristirahatan terakhir.
Selamat jalan, Pak Dar. Selamat beristirahat. Ilmu dan petuah Pak Dar tersimpan dengan baik di hati dan pikiran saya.