YOGYAKARTA, KOMPAS — Tokoh pers Amir Effendi Siregar meninggal dunia pada usia 67 tahun di Yogyakarta, Kamis (25/1) pukul 04.20. Selain aktif menulis di media lokal dan nasional, termasuk di harian Kompas, Amir Effendi selama hidupnya mengabdikan diri di dunia pendidikan dengan menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi, salah satunya Universitas Islam Indonesia.
Direktur Humas UII Karina Utama Dewi membenarkan kabar meninggalnya Amir, dosen tidak tetap di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, ini.
Menurut informasi, jenazah Amir Effendi dimakamkan Kamis pukul 14.00 dari rumah duka di Jalan Pacar 4, Baciro, Yogyakarta.
”Bapak Amir Effendi Siregar mulai tidak aktif mengajar sejak 2016 akibat penyakit tumor otak. Semoga ilmu yang disampaikan almarhum selama hidupnya melapangkan kuburnya,” kata Karina.
Sahabat Amir, Julius Pour mengatakan, Amir Effendi Siregar meskipun "orang seberang" (Sumatera Utara) tapi halus seperti orang Yogyakarta. "Sejak mahasiswa, Amir sudah menaruh minatnya pada dunia jurnalistik. Amir mendirikan Mingguan \'Sendi\' bersama Ashadi Siregar," kata Julius Pour.
Bagi Ignatius Haryanto, dosen jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Gading Serpong, Tangerang, dan anggota Koalisi Nasional untuk Reformasi Penyiaran (KNRP), nama Amir Effendi Siregar dikenal pertama kali awal 1990-an.
”Waktu itu saya mahasiswa tahun terakhir di Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP UI, sedangkan Amir Effendi Siregar adalah penulis buku Pers Mahasiswa: Patah Tumbuh Hilang Berganti (1983),” kata Ignatius Haryanto kepada Kompas, Kamis pagi.
Perjuangkan kelahiran UU Penyiaran 2002
”Saya baru bertemu fisik dengan Bang Amir—demikian saya sering memanggilnya—adalah pada masa setelah reformasi ketika saya berkenalan dengan para aktivis kebebasan pers pada masa itu. Bang Amir bersama sejumlah rekannya turut mendorong perubahan UU Pers yang lebih melindungi pers, dan jadilah UU Pers nomor 40/1999,” kata Haryanto.
Menurut Haryanto, Amir Effendi turut memperjuangkan kelahiran UU Penyiaran pada 2002. Saat itu juga Amir menjadi pemimpin umum majalah Warta Ekonomi dan menjadi pengajar di Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
”Bang Amir menghabiskan waktu Senin sampai Jumat di Jakarta dan pada akhir minggu ia tinggal di Yogyakarta bersama keluarganya,” ungkap Haryanto.
Amir Effendi melakukan itu bertahun-tahun tanpa ada rasa lelah dan mengeluh.
”Ia selalu tersenyum lebar, bersikap ramah, dan kepada kami yang muda-muda, Bang Amir selalu menularkan semangatnya untuk mengawal kebebasan pers yang telah dia rintis bersama sejumlah rekan lainnya,” kata Haryanto.
”Kadang saya yang usianya terpaut demikian jauh merasa malu ketika semangat menurun untuk memperjuangkan revisi UU Penyiaran yang telah jalan bertahun-tahun. Bang Amir dengan kelompok PR2MEDIA di Yogya telah merumuskan RUU penyiaran versi masyarakat sipil dan dia pun terus melakukan upayanya untuk membuat UU penyiaran demi kebebasan pers, penyiaran yang bermartabat,” kata Haryanto, yang juga penulis Opini harian Kompas.
Amir Effendi Siregar pernah menjadi komisaris salah satu televisi swasta di Jakarta, tetapi hal ini tak mengurangi kekritisannya agar penyiaran televisi tetap berpegang pada prinsip diversity of content dan diversity of ownership.
”Belakangan saya dengar, Bang Amir tidak lagi jadi komisaris di stasiun televisi tersebut, tapi hal ini tak pernah dikeluhkannya. Ia bersikap kritis ke dalam dan keluar. Ia pun pernah menjadi salah satu anggota tim ahli Komisi I DPR untuk masalah penyiaran, di mana di sana dia bertarung dengan sesama penasihat yang lebih membela kepentingan industri penyiaran. Bang Amir konsisten dalam berjuang dan memperjuangkan yang ia yakini sebagai kebenaran,” kata Haryanto.
Bang Amir konsisten dalam berjuang dan memperjuangkan yang ia yakini sebagai kebenaran.
Dosen favorit
Nur Hidayati, yang pernah menjadi mahasiswa Amir Effendi di FISIP UGM angkatan 1996, mengungkapkan, ”Bang Amir adalah dosen favorit di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Dia mengajar dengan senyum mengembang dan attitude yang membuat mahasiswanya—meski belum berilmu—merasa dihargai dan terdorong untuk ingin belajar.”
Menurut Nur Hidayati, Amir Effendi pada waktu itu sudah terkenal sebagai pendiri dan pemimpin majalah Warta Ekonomi di Jakarta. ”Pak Amir selalu menyempatkan pulang ke Yogyakarta untuk mengajar tepat waktu, menjelaskan hal-hal yang sulit dengan bahasa yang mudah dan gampang dipahami,” kata Nur yang kini bekerja sebagai wartawan Kompas.
”Pak Amir seorang yang rendah hati, ramah, dan selalu menampakkan sikap menghargai orang lain. Semoga beliau husnul khotimah,” kata Nur.