Usulan Pati Polri Jadi Penjabat Gubernur Dipertanyakan Politisi
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Usulan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjadikan dua perwira tinggi Kepolisian Negara RI sebagai penjabat gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara memicu penolakan di kalangan politisi. Penunjukan itu dinilai akan membuat Polri tidak netral secara politik, apalagi di dua daerah tersebut terdapat peserta pilkada yang berasal dari institusi Polri dan TNI.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, TB Ace Hasan Syadzily, berharap, Mendagri mengurungkan kebijakan menunjuk dua pati kepolisian menjadi penjabat gubernur.
”Sebaiknya dipertimbangkan agar kepolisian dapat menjaga netralitas dalam pilkada. Bukan hanya regulasi atau aturan perundang-undangan yang menjadi alasan dalam menunjuk pelaksana tugas gubernur, melainkan juga sensitivitas publik terhadap persoalan yang disorot, yaitu netralitas kepolisian,” ujar Ace saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (26/1).
Sebelumnya, Mendagri mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar Asisten Operasi Kepala Polri Inspektur Jenderal M Iriawan sebagai penjabat gubernur Jawa Barat serta Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Martuani Sormin sebagai penjabat gubernur Sumatera Utara. Hal itu dilakukan karena gubernur di dua daerah itu akan mengakhiri masa jabatannya sebelum pilkada dimulai.
Selain landasan hukum UU No 10/2016 tentang pilkada dan Peraturan Mendagri No 1/2018 yang memungkinkan pengusulan itu, alasan stabilitas keamanan saat pilkada menjadi salah satu pertimbangan utamanya.
Tjahjo juga menyampaikan, kebijakan itu pernah dilakukan saat pilkada serentak di pengujung tahun 2016 saat itu Irjen Carlo B Tewu ditunjuk menjadi penjabat gubernur Sulawesi Barat.
Ace mempertanyakan netralitas penjabat gubernur yang merupakan anggota aktif Polri karena di Jawa Barat terdapat pilkada yang salah satunya berasal dari institusi Polri meskipun keanggotaannya nonaktif nantinya. ”Jangan menyeret kembali institusi negara yang seharusnya netral untuk kepentingan politik pilkada,” kata Ace.
Jangan menyeret kembali institusi negara yang seharusnya netral untuk kepentingan politik pilkada.
Pada Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara Juni mendatang, terdapat aparat TNI-Polri yang mendaftar sebagai peserta pilkada. Mereka diwajibkan mundur dari institusinya saat ditetapkan sebagai peserta pilkada oleh KPU pada 12 Februari 2018. Mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal Edy Rahmayadi mendaftar sebagai cagub di Pilkada Sumut. Edy didukung Partai Golkar, Gerindra, PKS, PAN, Hanura, dan Nasdem.
Adapun pada Pilkada Jawa Barat, Irjen Anton Charliyan mendaftar sebagai calon wakil gubernur mendampingi TB Hasanuddin yang merupakan seorang purnawirawan TNI. Mereka didukung PDI-P.
Ihwal pertimbangan keamanan yang mendasari penunjukan dua pati dari Polri, Ace menilai tugas itu telah diemban para kapolda. Menurut dia, tugas utama penjabat gubernur adalah menjalankan pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, bukan menjaga keamanan.
Sementara itu Komisi Pemilihan Umum menolak berkomentar terkait hal ini. Penunjukan penjabat gubernur merupakan kewenangan penuh dari Kemendagri. Penunjukan Polri dapat dilaksanakan apabila itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Itu bukan ranah kami,” ujar Ilham Saputra, Komisioner KPU saat dihubungi Kompas.
Keadilan
Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menilai penunjukan dua pejabat Polri nantinya akan menimbulkan kerawanan karena tidak memperhatikan aspek keadilan di antara peserta pilkada.
”Masyarakat nanti punya persepsi yang berbeda. Apalagi di Sumut ada militernya yang ikut pilkada. Nanti yang militer protes kenapa harus polisi. Itu juga jadi masalah. Saran saya, penjabat gubernur tidak diambil dari polisi ataupun militer,” ujar Riza.
Riza mengusulkan penjabat gubernur ditunjuk dari kalangan pegawai negeri sipil (PNS) eselon 1 dari Kemendagri atau pemerintah daerah. PNS dinilai lebih memahami persoalan dan aturan terkait pemerintahan dibandingkan anggota TNI-Polri.
Jaga marwah
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin menginginkan Presiden Joko Widodo memperingatkan Mendagri agar menjaga marwah pilkada serentak 2018. Penunjukan dua pejabat kepolisian sebagai penjabat gubernur dinilai akan membuat Polri tidak netral secara politik di tengah persaingan politik yang cenderung keras saat ini.
Padahal, menurut dia, Polri masih harus menuntaskan berbagai tugasnya di tengah masyarakat. Polri masih harus bertugas sebagai pengayom ataupun penegak hukum yang dapat menjaga ketertiban dan netralitas dalam penyelenggaraan pilkada.
”Bukan saja karena ada calon dari partai tertentu yang akan mengikuti kontes pilkada di Jabar dan Sumut, tetapi juga ada anggota polisi yang menjadi kandidat cawagub dari partai tertentu di Jabar,” kata Didi.
Menurut Didi, jika Presiden Jokowi tetap menyetujui usulan dari Mendagri menjadikan dua pati Polri sebagai penjabat gubernur di Jabar dan Sumut, akan mencoreng niat baik presiden di pilkada serentak.
”Kami percaya Bapak Presiden Jokowi akan menjaga dengan baik netralitas pilkada ini,” ujar Didi. (DD14)