Pengamat: Kebijakan Anies-Sandi Ini Tak Sesuai Perda
JAKARTA, KOMPAS – Peraturan yang ditetapkan tanpa mengindahkan kebijakan yang telah dibentuk sebelumnya berpotensi memberikan celah pelanggaran.
Jika tidak ada penyelarasan dengan kebijakan terdahulu yang bersifat jangka panjang, maka progres pembangunan dikhawatirkan tidak berjalan sesuai target.
Pengamat Tata Kota Nirwono Joga di Jakarta, Jumat (26/1), mengatakan, beberapa aturan baru yang dikeluarkan oleh Pemerintah DKI Jakarta saat ini memiliki celah untuk membuka pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Malah, tutur Nirwono, pemerintah ini terkesan tidak mengindahkan beberapa perda yang telah berlaku di tahun-tahun sebelumnya.
Nirwono menilai beberapa kebijakan besutan Anies-Sandi melanggar atau tidak sejalan dengan Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030. Perda ini dibentuk untuk menjaga kualitas ruang wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Perda ini dibentuk dengan harapan masyarakat memilih untuk menggunakan transportasi massal daripada kendaraan pribadi.
Dalam perda itu, tutur Nirwono, kondisi jalan protokol dari jalan Sudirman-Thamrin telah dirancang untuk ramah kepada pejalan kaki dengan pengembangan sistem transportasi massal yang terpadu.
Ia berpendapat, perda ini dibentuk dengan harapan masyarakat memilih untuk menggunakan transportasi massal daripada kendaraan pribadi.
Namun, pemberian izin kembali sepeda motor untuk melintas di koridor Sudirman-Thamrin membuat masyarakat memiliki pilihan menggunakan kendaraan tersebut.
Padahal, aturan itu telah diberlakukan sejak tahun 2015 di era Basuki Tjahaja Purnama. Ia khawatir, masyarakat kembali menggunakan sepeda motor sehingga transportasi umum ditinggalkan.
Ia khawatir, masyarakat kembali menggunakan sepeda motor sehingga transportasi umum ditinggalkan.
Menurut Nirwono, persentase jalan DKI Jakarta masih jauh tertinggal dari kota-kota metropolitan lain di dunia.
Pengamat yang berasal dari Universitas Trisakti ini memaparkan, Indonesia hanya memiliki jalan 6 persen dari total luas wilayah, sedangkan kota-kota metropolitan lainnya rata-rata 12 persen.
Ia mencontohkan, Tokyo yang merupakan salah satu negara tersibuk di dunia memiliki ruas jalan lebih dari 12 persen.
Penggunaan kendaraan umum di Jakarta saat ini jauh dari target yang ditetapkan. Nirwono menuturkan, penggunaan angkutan umum Ibu Kota hanya 24 persen, padahal dalam RTRW 2030 diharapkan penggunaan angkutan umum mencapai 60 persen.
Dia mengatakan, pemerintah seharusnya fokus mempercepat pembangunan angkutan umum massal yang terintegrasi, murah, dan menyelesaikan kendala-kendalanya.
"Cara membangun kotanya jangan parsial, dan harus melihat Jakarta secara keseluruhan. Ingat, kebijakan yang diambil itu berdampak di satu lokasi, tapi berpengaruh ke seluruh Jakarta” ujarnya.
Perkembangan zaman dan mobilitas masyarakat Ibu Kota yang tinggi saat ini membuat Nirwono mengkritisi kebijakan pemerintah daerah yang mengizinkan kembali becak beroperasi.
Perizinan kembali becak beroperasi telah bertentangan dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Becak tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini yang membutuhkan angkutan yang cepat dan efisien.
Nirwono menganggap, becak tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini yang membutuhkan angkutan yang cepat dan efisien.
Nirwono menyebutkan, perizinan kembali becak beroperasi telah bertentangan dengan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Perda itu jelas melarang becak beroperasi kembali di wilayah DKI Jakarta. Ia berpendapat, pemerintah akan kesulitan untuk menertibkan kendaraan roda tiga ini dan harus menerapkan aturan yang tegas.
Permasalahan lain yang disoroti adalah penutupan Jalan Jati Baru Raya, Tanah Abang karena beralih fungsi menjadi tempat berjualan pedagang kaki Lima.
Dihubungi terpisah, Peneliti Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menyatakan, pemerintah daerah seharusnya mengadakan kajian terlebih dahulu sebelum membuat peraturan baru, sehingga dampak yang ditimbulkan dari aturan itu bisa diantisipasi.
Deddy menganggap penutupan ruas jalan ini berimbas kepada terganggunya masyarakat yang menggunakan trotoar.
Penutupan ruas jalan ini berimbas kepada terganggunya masyarakat yang menggunakan trotoar. Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, telah ditegaskan fungsi trotoar adalah untuk pejalan kaki.
Padahal, dalam Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, telah ditegaskan fungsi trotoar adalah untuk pejalan kaki.
Ia merasa, penutupan ruas jalan yang kurang tegas ini malah mengundang pedagang lain untuk menjajakan dagangan mereka di trotoar dekat ruas jalan yang ditutup.
“Kalau pun mau menutup, harus tetap tertib. Sekarang kita bisa lihat, ternyata pedagang yang tadinya ada di dalam blok mulai memenuhi trotoar. Pedagang di pasar Jatinegara juga mulai berjualan di trotoar. Perda ini mau diapakan? Kalau memang diperlukan, seharusnya ada kajian terlebih dahulu,” ujarnya.
Beragam
Masyarakat yang berada di kawasan Tanah Abang memiliki respon yang beragam dalam memandang alih fungsi jalan di kawasan Tanah Abang ini. Ismail (50), menganggap kebijakan yang diberlakukan oleh Gubernur saat ini membutuhkan waktu.
Ia yakin Tanah Abang bisa tertib jika semuanya tunduk terhadap peraturan. “Memang, sejak alih fungsi, pembeli di blok A tidak seramai sebelumnya. Tapi tidak apa-apa, yang penting tertib,” tutur pedagang batik di Blok A Tanah Abang ini.
Berbeda dengan Ismail, Zunita (21), tidak menyukai penutupan jalan di ruas Jati Baru ini. Ia berharap pemerintah mengkaji dulu dampak dari keputusan yang akan diambil. “Setelah ditutup, jalanan di sekitar jadi macet,” ujarnya. (DD12)