Menjadi Indonesia dengan Olahraga
Santoso Hardjanto (58) masih antusias ketika mengingat pengalamannya di Museum Olimpiade, Laussane, Swiss, beberapa tahun lalu. Ia takjub saat melihat sepatu dan raket milik pebulu tangkis Indonesia Susy Susanti dipajang sebagai koleksi tetap. ”Ada kebanggaan yang membuncah waktu menemukannya,” ujarnya di Jakarta, Jumat (26/1).
Lelaki yang akrab disapa Yanto itu sudah sejak 2003 hijrah dari Jakarta ke Genewa, Swiss. Ia bekerja sebagai staf lokal di Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) Geneva hingga 14 tahun. Selama itu pula, hidupnya seakan jauh dari olah raga tanah air. Perbedaan waktu yang lebih lambat enam jam dari Jakarta membuatnya tertinggal.
Menurut Yanto, sekitar 200 warga negara Indonesia (WNI) tinggal di Jenewa. Satu sama lain sibuk dengan urusan masing-masing setiap hari. Namun, tidak saat perayaan hari kemerdekaan. Mereka berkumpul untuk satu kegiatan: olahraga!
“Biasanya yang kami pertandingkan itu bulu tangkis, balap karung, kegiatan-kegiatan keindonesiaan yang menyenangkan,” ucap Yanto. Lebih dari sekadar kesenangan, aktivitas tersebut menjadi sarana bagi mereka untuk berkumpul, merasakan satu identitas yang sama, meski tengah berada ribuan kilometer dari tanah air.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, keterkaitan antara aktivitas olahraga dan rasa kebangsaan atau nasionalisme telah muncul sebelum Indonesia terbentuk. Pada masa kolonialisme Belanda, di tengah penerapan politik segregasi rasial dalam segala lini hidup masyarakat, anak-anak pribumi menguatkan identitasnya melalui organisasi.
Ditopang oleh Sumpah Pemuda 1928, anak-anak pribumi kian gencar mendirikan organisasi. Salah satunya Persatoean Sepakraga Seloereoh Indonesia (PSSI) yang didirikan Soeratin Sosrosoegondo, 1930. Nama itu berubah menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia 20 tahun kemudian. Suasana perlawanan dari nama organisasi itu amat terasa dari penggunaan kata Indonesia, padahal waktu itu wilayah ini disebut Hindia Belanda.
Pengaruh politik segregasi, kata Asvi, mengakibatkan anak pribumi tidak bisa ikut serta dalam berbagai pertandingan sepak bola yang diselenggarakan orang Eropa dan Timur Asing. Diskriminasi itu yang mendorong Soeratin dan pribumi lainnya untuk melawan. Mereka tak mau dipinggirkan.
”Sejak Sumpah Pemuda, olahraga sudah menjadi bagian dari nasionalisme,” kata Asvi.
Aktivitas PSSI membuat pertandingan sepak bola di beberapa kota rupanya mempercepat penyebaran rasa kebangsaan dan integrasi bangsa. Sebab, jaringan antarpemuda di wilayah cikal bakal Indonesia semakin terbuka. Organisasi pemuda, salah satunya Jong Java, pun mengadakan turnamen bersamaan dengan kongres mereka.
Selain mendirikan organisasi, kelompok pribumi juga mendirikan stadionnya sendiri. Stadion Sriwedari, Surakarta, Jawa Tengah, adalah arena olahraga pertama yang dibangun pribumi untuk pribumi. Arena itu dibangun oleh Raja Surakarta Pakubuwana X, 1932.
Peran Stadion Sriwedari sebagai saksi bisu kebangkitan nasionalisme berlanjut hingga Indonesia merdeka. Stadion itu menjadi arena yang digunakan pada Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama, September 1948. ”Sebagai negara yang baru terbentuk, PON dilaksanakan agar masyarakat dari sejumlah daerah saling mengenal,” kata Asvi.
Sejak Sumpah Pemuda, olahraga sudah menjadi bagian dari nasionalisme.
Bung Karno dan politik olahraga
Semangat pembangunan bangsa bagi sebuah negara yang baru merdeka begitu kuat di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Termasuk semangat untuk menyelenggarakan pesta olahraga multicabang se-Asia.
Tahun 1958, Indonesia ditetapkan sebagai tuan rumah Asian Games kedua empat tahun berikutnya. Kepedulian Bung Karno untuk menyelenggarakan pesta olahraga itu juga amat tinggi. Ia meminjam sejumlah uang, yang selanjutnya dibayar lunas, dari Uni Soviet untuk mendirikan Stadion Bung Karno (sekarang Gelora Bung Karno) di Senayan, Jakarta Selatan. Selain dari pinjaman Uni Soviet, sumber dana pembangunan juga berasal dari pampasan perang Jepang.
Di wilayah itu juga, Bung Karno berniat membangun sebuah kompleks olahraga yang tidak hanya terdiri dari arena, tetapi juga segala fasilitas yang dibutuhkan antara lain hotel untuk atlet dan wartawan. Untuk keperluan itu, sekitar 50.000 warga Senayan direlokasi ke sejumlah daerah, salah satunya Tebet, Jakarta Selatan.
Selain itu, Bung Karno juga mendirikan Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia. Tugu itu disiapkan untuk menyambut olahragawan dari luar negeri. Oleh karena itu, tugu dibangun menghadap ke arah bandara Kemayoran, Jakarta Pusat.
Di balik pendirian tugu, kata Asvi, tersimpan pula kisah nasionalisme yang kuat. Bung Karno ingin patung yang berada di atas tugu dibuat oleh seniman Indonesia. Ia pun mendaulat pematung Yogyakarta, Edhi Sunarso, untuk mengerjakan. Dalam prosesnya, Bung Karno sempat memeriksa langsung pembuatan patung berbahan perunggu itu ke studio Edhi di Jalan Kaliurang, Yogyakarta.
Menurut Asvi, kompleks olahraga di Senayan dibangun berdekatan dengan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Musyawarah Perwakilan Rakyat (DPR/MPR) yang merupakan kompleks politik. Bung Karno ingin menunjukkan, olahraga dan politik tidak bisa dipisahkan.
Asian Games 1962 yang disiapkan begitu rupa oleh Bung Karno menghasilkan prestasi membanggakan. Indonesia meraih peringkat kedua perolehan medali dari total belasan negara peserta.
Akan tetapi, Asian Games itu tidak mendapat tentangan bahkan tidak diakui oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC). Indonesia menolak memberikan visa kepada atlet dari Taiwan dan Israel. Keputusan merupakan sikap politik Indonesia yang tidak setuju terhadap pendudukan Israel atas Palestina. Juga menganggap Taiwan sebagai negara boneka Inggris.
Sementara itu, IOC menganggap politik tidak bisa digabungkan dengan politik. ”Sport are sports! Don’t mix sports with politics,” tulis Muhidin M Dahlan dalam buku Ganefo Olimpiade Kiri di Indonesia.
Tidak diakuinya Asian Games oleh IOC mendorong Bung Karno menyelenggarakan olimpiade tandingan, yaitu Games of New Emerging Force (Ganefo), 1963. Ganefo diikuti oleh negara-negara yang merupakan anggota Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 yang diselenggarakan di Bandung, Jawa Barat.
Hai rakyat Indonesia, tua-muda, terutama sekali yang muda-muda, latih kau punya diri sehebat-hebatnya agar di dalam waktu 10 tahun paling banyak, 10 tahun, Indonesia, rakyat Indonesia menduduki tempat yang paling tinggi di lapangan olahraga
Ganefo yang diselenggarakan pada November 1963 hanya disiapkan selama 200 hari. Namun, persiapan singkat itu berhasil mengumpulkan 3.000 atlet dari 51 negara. Indonesia pun meraih peringkat ketiga perolehan medali.
Meski penyelenggaraan Ganefo berasal dari ide Bung Karno, dukungan masyarakat mengalir deras. Masyarakat dari sejumlah daerah menyumbangkan kain, cenderamata, kemudian diuangkan dan dimasukkan ke rekening Dana Amal Ganefo. Bahkan seperti tertulis dalam buku Ganefo Olimpiade Kiri di Indonesia, pembukuan rekening pun dicetak di semua surat kabar (Ganefo, hal. 51—54).
Dalam peringatan setahun Ganefo, 1964, Bung Karno berpidato, ”Hai rakyat Indonesia, tua-muda, terutama sekali yang muda-muda, latih kau punya diri sehebat-hebatnya agar di dalam waktu 10 tahun paling banyak, 10 tahun, Indonesia, rakyat Indonesia menduduki tempat yang paling tinggi di lapangan olahraga,” (Kompas, 10/1). Menurut Asvi, hal itu menunjukkan kehendak kuat Bung Karno untuk membangun karakter bangsa melalui olahraga.
Rentetan peristiwa itu membuktikan bahwa napas nasionalisme senantiasa menghidupi olahraga. Nasionalisme dan olahraga berdampingan menjadi syarat keberadaan satu sama lain. (DD01)